Sabtu, 27 Maret 2010

Jilbab: antara Kesucian dan Resistensi


Oleh Sri Rahayu Arman

Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan.


Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.

Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).

Menurut penelitian Stern (1939a: 108), “Nabi Muhammad tak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat (1967: 71), “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an (lihat misalnya Marsot 1978: 261-276; Dengler 1978: 229-244; El Guindi 1983: 79-89). Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah Mesopotamia/Mediterania. (Fadwa el-Guindi: 1996). Al-Zarkasyi juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat (al-Zarkasyi: 1970).

Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula Alquran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.” (Mustafa Hashem Sherif: 157).
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.s al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59). Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat Q.s al-Nur: 31, khusus untuk membersihkan nama Aisyah.


Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.s al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.


Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka.” (Sharma 1978: 223-4).

Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi. Bagi perempuan bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari sutera. Sementara perempuan dari status ekonomi yang lebih rendah cenderung memakai sitara. Makhlouf menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah simbol] alat komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi bebas wanita sebagai seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi diri dan femininitas” (Makhlouf 1979: 31-32).
Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas. Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang dirancang untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya memasukkan pengalaman hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi prinsip estetik yang otonom (Cudjoe dan Harlow: 2000).

Di Aljazair, misalnya, jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol hukum Islam —perkara-perkara pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka— memberangus adat setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka sendiri. Para pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang posisi-posisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di bawahnya. Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan mencabut akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan melepaskan— untuk mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya dengan alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya tradisional Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia sosial moral itu berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan penjaga harga diri dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral. Maka, menyerang wanita Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun figuratif akar budaya mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair (El Guindi: 1996).


Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.

Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).

Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.

Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab (Lily Munir, 2002). Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya[]

Artikel ini pernah dimuat di www. Islamlib. Com pada 19/01/2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar