Sabtu, 13 Februari 2016

Homoseksual adalah variasi dari alam semesta

Diambil dari link ini.

JAKARTA, Indonesia—Dokter Roslan Yusni Hasan, ahli neurologi yang mendalami struktur, fungsi, dan penyakit dan gangguan pada sistem saraf, menawarkan penjelasan tentang keberadaan kaum lesbian, gay, dan biseksual dari sudut ilmu biologi.
Menurut dokter yang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya pada 1985 ini, menentukan jenis kelamin seseorang tak semudah menuliskannya di Kartu Tanda Penduduk: Laki-laki atau perempuan.
“Sekarang menentukan seorang laki-laki atau perempuan itu sulit,” kata dokter yang akrab dipanggil Dokter Ryu ini dalam diskusi ‘LGBT: Mitos atau Fakta’ yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Selasa, 9 Februari.
Mengapa sulit? “Karena kalau kita melihat secara genetik, kromosom XY itu belum tentu laki-laki, dan XX belum tentu perempuan,” katanya. Dalam dunia kedokteran, laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX.
“Terkadang bentuk kelamin itu meragukan. Misalnya, ada bentuk klitoris perempuan tapi tidak melekuk, kita bertanya ini perempuan atau laki-laki,” katanya lagi. Jenis kelamin itu bervariasi, tak hanya dualisme laki-laki dan perempuan.
Ada berbagai kasus yang dipaparkan Dokter Ryu terkait jenis kelamin ini. Ada yang memiliki penis berukuran kecil, tapi di bawahnya menempel klitoris yang tak bisa membelah. Ada juga yang memiliki klitoris tapi tak punya uterus atau rahim sehingga tak bisa menstruasi.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Dokter Ryu menjelaskan bahwa pada awalnya semua dibentuk oleh hormon seks. “Otak seperti kita sekarang ini dipicu oleh hormon awal kehidupan kita saat menjadi janin, perilaku kita juga dikendalikan oleh hormon tersebut,” katanya.
Saat janin masih berusia 0-8 minggu, jenis kelaminnya adalah perempuan (baik yang berkromosom XX maupun yang XY). “Pada dasarnya kita semua perempuan, kemudian terjadi perubahan diferensiasi atau perbedaan yang menjadikan kita tetap menjadi perempuan atau bergeser menjadi laki-laki (pada umumnya dipicu kromosom Y),” katanya.
Apa yang memicu perubahan jenis kelamin di minggu kedelapan? “Adalah impuls (Gen SRY) pada saraf yang kemudian mengatur pembentukan organisasi di bawahnya,” katanya.
Rangsangan dari Gen SRY itulah yang memincu lonjakan hormon testosteron yang menjadikan seseorang memiliki kromosom XY atau laki-laki. Jika tidak ada hormon testosteron maka ia akan tetap menjadi perempuan. Inilah yang disebut dengan proses maskulinisasi dan defemininisasi.
“Tapi gen SRY tidak selalu memberikan dampak yang sama. Jadi kelaki-lakian seseorang itu enggak sama. Enggak ada orang yang murni 100 persen perempuan, dan 100 persen laki-laki,” katanya.
Menurut Dokter Ryu, proses tersebut disebut neural input, yang nanti akan memicu seseorang cenderung menjadi laki-laki atau perempuan.
Saat janin sudah berumur 15 minggu, maka terbentuklah struktur jenis kelamin tersebut. Ketika terbentuk, hasilnya tak selalu 100 persen laki-laki atau 100 persen perempuan. Itulah yang disebut dengan disformisme seksual.
Tapi karena masyarakat hanya menggolongkan dua jenis kelamin saja, laki-laki dan perempuan, maka khalayak umum pun bingung dengan jenis-jenis yang lain.
Apakah bisa terjadi perubahan dalam proses pembentukan jenis kelamin?
Menurut Dokter Ryu, pembentukan struktur jenis kelamin tak bisa dipengaruhi oleh variabel lain. Struktur itu sudah terbentuk di otak. Apalagi dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya karena bergaul dengan kaum homoseksual.
Dokter Ryu melanjutkan ada satu hormon yang bernama estradiol yang bertanggungjawab pada maskulinisasi. Pada saat janin berproses membentuk struktur jenis kelamin, hormon ini bisa jadi turun kinerjanya sehingga anak yang lahir maskulinisasinya tidak maksimal. “Tapi itu hanya satu dari sekian variabel, bukan satu-satunyanya yang menentukan,” katanya.
Bagaimana dengan seorang lesbian, gay, dan biseksual?
“Ya itulah variasi alam semesta. Tidak ada manusia yang identik, semua berbeda. Spektrum antara laki-laki dan perempuan itu luas, tidak ada yang sama,” katanya.
Sehingga munculkan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. Yang ditemukan justru kemiripan, tapi tak identik.
Temuan peneliti LJ Gooren dan DF Swaab pada 1995 menunjukkan sirkuit otak pria homoseksual mirip gambarnya dengan perempuan heteroseksual. Penelitian itu menyimpulkan bahwa ada interaksi antara otak yang berkembang dengan hormon seks seperti yang dijelaskan Dokter Ryu di atas. Baca laporan lengkap peneliti tersebut di sini.
Tak bisa menular
Bagaimana dengan anggapan bahwa homoseksualitas bisa menular? Dokter Ryu menegaskan bahwa bakat menjadi homoseksual ada sejak otak terbentuk, bukan karena pengaruh lingkungan atau bergaul dengan kaum LGBT.
“Kalau seseorang yang berbakat homoseksual bergaul dengan homoseksual, bisa terpicu. Tapi kalau dia tidak berbakat homoseksual, dia tidak akan terpicu. Seperti orang yang berbakat musik, jika tidak pernah dikenalkan pada alat musik, maka dia tidak akan pernah terasah bakatnya menjadi pemusik,” ujarnya.
Lalu apakah ini berarti bahwa kaum LGBT tidak normal karena bukan heteroseksual? Dalam sains, tidak dikenal normal atau tidak normal. “Begitulah semesta, ini hanyalah variasinya," katanya. —Rappler.com



BACA JUGA