Minggu, 30 Oktober 2016

Siapa Penghina Alquran?

disalin-ulang dari link ini
Hendonesia.com – Terdengar santer dari kota kecil Purworejo, tentang akan adanya Demo di Jakarta pada 4 November 2016 mendatang. Jika benar, demo “mengganyang” Ahok ini yang kedua setelah 14 Oktober 2016 lalu, beberapa ormas Islam seperti FUI dan FPI menggenangi depan Balai Kota Jakarta. Tanggal 4 November 2016 depan, kata berbagai pamflet itu, isunya tetap sama: menuntut dihukumnya Ahok. Kata mereka, ia penghina Al-Qur’an. Benarkah demikian?

Sebenarnya, saya tidak ingin menulis ini. Selain karena saya bukan warga Jakarta, saya juga masih punya sederet urusan pribadi yang tak kunjung kelar, yang mestinya harus saya tangani. Namun apa daya, banyak teman-teman yang menanyakan perihal itu kepada saya. Kebetulan, saya sedikit mengikuti berita dan wacana itu: penghinaan Al-Qur’an. Untuk sedikit memberi gambaran, minimal pandangan subyektif saya, akan saya ulas melalui tulisan ini.

Ada satu kata kunci dalam tulisan ini yang perlu dipegang, yaitu kata “menghina”. Kata ini penting untuk dibahas nantinya, karena menjadi salah-satu pemantik atau pemicu timbulnya kegaduhan sosial di Jakarta yang kemudian menjadi diskursus bahkan kegaduhan nasional.

Baiklah, kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim.

Pertama, benih kegaduhan di mulai dari banyaknya serangan yang dialamatkan kepada Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan menggunakan surat Al-Maidah ayat: 51 oleh beberapa kelompok untuk berkampanye menggalang kekuatan massa. Salah satu surat dalam Al-Qur’an yang masih multi-interpretatif itu digunakan salah satu kelompok untuk kampanye: jangan memilih Ahok. Serangan ini bisa dilihat di Youtube.

Kedua, dengan adanya banyak serangan tersebut, Ahok merasa risih. Dalam suatu kunjungannya di Pulau Seribu, ia berpidato yang pada intinya: “…jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51….,” diteruskan dengan sikapnya: mau milih silakan, mau tidak milih silakan. Ahok memberi kebebasan.

Ketiga, oleh seorang yang bernama Buni Yani, video tersebut dipotong kata “dipakai”-nya lalu diunggah melalui akun fesbuknya dengan ditambahi caption yang provokatif. Babak baru dimulai. Menyebarlah video itu karena banyak di-share. Inilah era digital, dimana satu akun fesbuk, di kemudian hari, bisa menjadi “wasilah” kegaduhan nasional.

Keempat, video itu kemudian menjadi viral dan pemicu marahnya kaum muslimin. Ya, dengan hilangnya beberapa kata, tentu menghilangkan substansi dan makna. Di sini orang banyak terjebak, jika tidak tahu yang sebenarnya. Siapa yang tidak marah mendengar kalimat editan: “jangan mau dibohongi Al-Maidah ayat 51”? Saya pun tentu akan marah, dan bila perlu memimpin laskar untuk demo di Jakarta, jika kata-kata itu yang memang dia keluarkan. Setelah saya cek, ternyata video itu diedit sedemikian rupa.

Setelah gaduh, ILC, salah satu program favorit yang beberapa kali mendapat Panasonic Award, mengangkat tema itu. Nusron Wahid, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP Golkar Wilayah Jawa dan Sumatera ditunjuk menjadi juru bicara. Nusron memulai “orasi”-nya dengan kata-kata bijak: “timbulnya konflik itu disebabkan dua hal: salah paham atau pahamnya salah”. Dalam pada itu, ia juga mengecam keras isu Suku, Ras dan Agama (SARA) untuk berkampanye karena rentan konflik. Ia juga memberi data dan fakta bahwa kekhalifahan Islam terdahulu sudah ada yang mengangkat non-muslim menjadi gubernur. Ia menekankan agar kembali ke konstitusi negara kita: UUD 1945 dan Pancasila. Namun, keterangan mantan Ketum PP GP Ansor tersebut justru membikin kegaduhan baru, karena beberapa hal.

(Pertama) karena ayat tersebut multi-interpretatif (multi-tafsir). Artinya, di internal umat Islam sendiri masih ada berbagai tafsir, khususnya pada kalimat “Auliya” yang oleh mereka yang memaknainya dengan “pemimpin”, juga soal hukum bagaimana mengangkat pemimpin non-muslim. Meski demikian, ada banyak hikmah di sini. Hampir semua umat Islam Indonesia yang melek teknologi jadi tahu bahwa Al-Qur’an memiliki ayat itu, beserta arti dan tafsirnya yang beragam.

Para intelektual, mulai yang tua dan yang muda seperti Nadirsyah Hosen (Rais Syuriah PCI NU Australia), KH. M. Ishomudin (Syuriah PBNU), Zuhairi Misrawi (intelektual muda NU), Muhammad Guntur Romli (intelektual muda NU) dan banyak intelektual muda Islam lain mengkaji ayat itu lengkap dengan referensi dari ulama klasik dan konteks sosiologis turunnya ayat (asbaabul nuzul).

Juga, hasil tafsiran dari salah satu mufassir terbaik di Asia Tenggara, Prof Dr M Qurais Shihab, kembali bertebaran di media. Seakan Allah SWT ingin mengajari umat Islam untuk lebih memperdalam lagi agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Nusantara. Ingin tahu apa hasil kajiannya, silakan di searching atau googling hasil riset dan pemikiran tokoh-tokoh kita itu.

(Kedua), mengapa statemen Nusron Wahid menjadi gaduh, adalah karena pembawaannya yang dinilai “kurang sopan”, sambil melotot-melotot. Padahal pembawaan aslinya memang melotot. Dalam hal ini, seorang ustadz yang rajin menyuruh umat Islam untuk bersedekah, dinilai oleh banyak kalangan menyindir Nusron Wahid dengan meminta agar generasi muda tidak sepertinya, memulai video sambil menangis sedih. Ustadz berinisial YM ini cenderung menyalahkan sikap Nusron dan menghadap-hadapkanya dengan ulama.

Menanggapi hal ini, saya mewajarkan karena tiga hal: (1) Nusron agak marah dengan orang yang menggunakan ayat untuk berkampanye. (2) ia tidak menentang ulama yang benar-benar ulama, tetapi “ulama” yang pandai menyitir ayat untuk kepentingan politik. (3) memang seperti itulah pembawaan Nusron. Dia orangnya tidak suka basa-basi seperti politisi lain, banyak yang jaim. Namun, satu hal dari dia, sepengetahuan saya, selain memiliki nasionalisme yang tinggi, dia juga selalu konsisten dengan apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Kemudian beberapa ustadz yang dikenal di media juga memberi statement yang justru memperkeruh suasana dan membakar hati kaum muslimin.

Kelima, karena video dan berita semakin viral, dimobilisirlah beberapa kelompok Islam untuk demo. Pada Jumat, 14 Oktober 2016, mereka yang hatinya merasa terbakar berdemo di depan balai kota Jakarta. Alhamdulillah, meski dipenuhi spanduk yang profokatif, demo yang diikuti ribuan orang itu berjalan tertib dan tanpa anarki, dengan dikawal polisi dan TNI. Mereka meninta Ahok meminta maaf dan mendorong polisi untuk menyelidikinya secara hukum.

Keenam, karena banyak desakan, Ahok yang belum terbukti secara hukum bersalah itu, meminta maaf. Ia klarifikasi bahwa tidak ada maksud (niat) untuk melecehkan Al-Qur’an. Dalam hal ini juga ditegaskan oleh Nusron di ILC, bahwa yang tahu sebenarnya ayat Allah itu hanyalah Allah, adapun tafsir ulama bisa benar dan bisa kurang benar. Sama, katanya, seperti maksud puisi itu yang paling tahu adalah penulisnya. Kata ini juga diplintir oleh mereka dengan mengatakan Nusron menghina institusi ulama, padahal memang demikian adanya.

Bagi yang tahu ilmu tafsir dan metodologi pengambilan hukum, bahkan sekelas Imam Syafii pun, tidak berani mengatakan “produk ijtihadnya” paling benar atau benar-benar benar. Artinya, kalau yang bersangkutan sudah meminta maaf dan tidak bermaksud menghina Al-Qur’an, sudah selesai masalahnya.

Apalagi, kata-kata Ahok tersebut dipotong, dan potongan ayat itulah yang kemudian dijadikan dasar orang untuk marah, benci dan terbakar hatinya kepada Ahok. Tanpa klarifikasi (tabayyun), sebuah ajaran Al-Qur’an bagi kaum beriman jika mendapat kabar berita, mereka langsung menjustifikasi.

Saya khawatir jika justru yang menghina adalah sebagian dari kita – umat muslim sendiri – yang tak sempat atau tak mau memakai perintah Allah itu: tabayyun. Jika ini yang terjadi, semoga mereka atau kami lekas mendapat hidayah. Sepengetahuan saya, dalam kaidah fiqh disebutkan: maqasidullafzi ‘ala niatillafidzi, maksud perkataan ada pada orang yang berkata. Jelaslah, Ahok berbesar hati dan mengubur gengsi untuk mau meminta maaf meski belum terbukti bersalah.

Ketujuh, sikap MUI keluar. Pada intinya, karena Ahok sudah meminta maaf, sebagai umat Islam sudah seyogyanya memaafkannya. Sebagai intitusi, MUI memaafkan sikap Ahok tersebut, dan menyerahkan urusannya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini polisi. Adapun jika ada anggota MUI yang tidak setuju dengan sikap resmi MUI, KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI mengatakan bahwa itu adalah sikap pribadi. MUI menyarankan untuk tidak membesar-besarkan masalah ini.

Kedelapan, kegaduhan semakin parah, khususnya di media online. Tak bisa dibendung. Kalangan yang berkepentingan pun ikut memanfaatkan suasana ini. Secara parsial, mereka yang demo itu hanya ingin agar Ahok tidak menjadi gubernur lagi.

Orang-orang yang demo itu, setelah saya teliti, sebagian yang dulu menghina Gus Dur, membuat Gubernur Tandingan dan kelompok yang menginginkan berdirinya Khilafah dan anti-Pancasila. Isu Ahok itu mereka giring sedemikian rupa sebagai sesuatu yang marketable. Kemudian, secara komprehensif, adanya keriuhan ini semakin ditunggangi kekuatan yang lebih besar: mereka ingin kehancuran NKRI.

Di sini, entah kenapa kemudian saya treringat kata filsuf Islam, Ibnu Rusyd: “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama.”

Yah, isu agama itu mudah dan murah. Ini terbukti banyak digunakan mulai dari peristiwa 11 September, Bom Bali sampai Terorisme, semua berkedok agama. Padahal motifnya ekonomi dan politik.

Kesembilan, berdasarkan laporan Rumadi, ketua Lakpesdam PBNU, Tanggal 4 November 2016 kabarnya akan ada demo besar di Jakarta. “Bukan hanya dari Jakarta, massa dari luar Jakarta akan digerakkan. Ribuan orang mungkin akan mengepung Jakarta. Istana negara akan menjadi sasaran. Rencana sudah disusun. Pamflet sudah disebarkan ke berbagai penjuru. Petunjuk teknis demo juga sudah diberikan, mulai dari membawa perlengkapan menginap, membaca wirid, sampai membuat wasiat jika tidak bisa pulang,” tulisnya di akun fesbuk (27/10). Benar salah-nya Wallau A’lam.

Saya tidak menolak demo itu. Saya mencintai mereka semua, sebagai muslim, orang Indonesia ataupun manusia. Itu hak mereka sebagai warga negara untuk berdemo, terlepas bahwa menurut saya demo itu tergerak karena kesalahpahaman mereka akan barisan kata-kata.

Memang, di sisi lain, Ahok juga kurang pandai dalam bersikap dan berkata-kata. Tapi itulah kelemahannya, di balik kelebihannya yang tegas, jujur dan transparan. Ia suka ceplas-ceplos. Indonesia masih melihat orang dari sopan santun dan unggah-ungguh.

Tapi itu mending bagi saya, daripada politisi yang lugu, kalem, ramah, tapi tahu-tahu nggarong duit rakyat. Akhlak itu alat, dan alat bisa juga untuk menipu. Semua penipu hampir memakai akhlak untuk menjalankan misinya. Tentu, yang baik dan utama adalah berakhlak dan digunakan untuk kebaikan. Namun toh itu sulit di zaman sekarang.

Itulah kronologi yang saya tahu dan saya analisa. Jika ada yang baik dan benar, silakan di ambil syukur-syukur di-share agar orang-orang tahu. Apabila ada yang salah atau kurang baik, saya terbuka untuk di koreksi.

Niat saya menulis ini, jauh sebelum kata pertama saya tulis, adalah agar negara kita tidak terpecah belah, apalagi karena perang saudara. Jika sedikit saja ada anarki, kekerasan, lebih-lebih pertumpahan darah, pasukan Dewan Keamanan PBB kapan saja bisa turun untuk mengambil-alih keadaan dengan dalih HAM, stabilitas dan alasan tetek-bengek. Lalu kita akan bernasib sama dengan saudara-saudara kita di Timur Tengah seperti Afganistan, Libia dan Syuriah.

Semoga, kekhawatiran saya hanyalah sebuah kekhawatiran belaka. Semoga Allah memiliki cara tersendiri untuk merawat Islam dan Indonesia ini menjadi sentrum peradaban dunia, ditengah berbagai krisis moral dunia pertama, yang selalu bernafsu merebut emas, minyak, pasar dan SDA dengan berbagai cara, salah satunya merubah peraturan dan memecah-belah negara ketiga.

Ihdinas shiraatal mustaqim. Shiraatalladziina an’amta alaihim, ghairil maghdzuubi ‘alaihim waladl-dlaalliin.

Dan semoga, yang membaca tulisan ini, tidak ikut-ikutan berdemo.

Amin.


Kamis, 09 Juni 2016

Belajar Gender dan Orientasi Seksual dari Pernikahan Aming

Dicopas dari link ini.


Saya ucapkan selamat menempuh hidup baru untuk aktor Aming Supriatna Sugandhi yang menikah dengan dengan Evelyn Nada Anjani yang akrab disapa Kevin. Saya sendiri tidak kenal secara personal dengan Aming, tapi pernikahannya amat membantu saya untuk memberikan contoh yang tepat untuk memahami konsep-konsep dalam gender dan seksualitas. Khususnya hubungannya dengan negara dan masyarakat.
Tulisan ini akan membedah bagaimana masyarakat kita melihat gender dan seksualitas yang acap kali kabur dan membuat kita menyadari bahwa kita mempunyai standar norma tertentu terhadap hubungan antar manusia menyangkut seks.
Gender Sebagai Pertunjukan
Menurut Judith Butler, tak ada kondisi alamiah bagi seorang manusia selain penampakan tubuhnya. Pemikir post-strukturalis ini dikenal melalui beberapa bukunya seperti Gender Trouble dan Bodies that Matter. Dia menjelaskan bahwa gender adalah sebuah pertunjukan drag yang ditunjukkan dan diuji kepada keluarga, teman, dan masyarakat.
Masyarakat mengajarkan dan menguji agar manusia dengan penis yang dimiliki bersikap maskulin sebagai pria ataupun manusia bervagina untuk menjadi perempuan dan bersikap feminim. Dengan begitu, kita mampu melihat bahwa realitas biologis adalah sebuah “kodrat” dan peran gender adalah konstruksi.
Dalam dua foto Aming dan Kevin yang beredar di laman hiburan memperlihatkan dengan jelas bahwa gender bisa berubah dan sifatnya cair. Pada foto pernikahannya, kita dapat melihat bahwa Kevin alias Evelyn, yang sehari-harinya bersikap “tomboi”, menggunakan simbol untuk mengganti gendernya menjadi wanita, yakni dengan menggunakan pakaian wanita.
Sedangkan Aming, yang pernah berperan menjadi waria pada video clip Project Pop berjudul Jangan Ganggu Banci, terlihat menggunakan pakaian pria dan mereka terlihat bahagia. Foto kedua terlihat mereka bertukar gender: Aming menjadi wanita dan Kevin menjadi pria. Secara biologis mereka terlahir sebagai pria dan wanita, tetapi ternyata gender bisa berubah-ubah dan sifatnya cair karena memang gender adalah sebuah konstruksi sosial.
Pernikahan mereka dicatat secara resmi dan diakui negara. Hal itu terlihat dari foto buku nikah mereka berdua yang dipamerkan. Karena negara sudah disebutkan melalui representasi buku nikah tersebut, kita harus melihat bagaimana peraturan tentang menikah di Indonesia.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 dijelaskan, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.”
Hal yang bisa ditekankan dalam pernyataan tersebut adalah negara mengatur gender untuk menikah, yakni wanita dan pria bukan alat kelamin atau seksnya.
Teori tentang Queer
Pernikahan ini juga memperlihatkan bahwa jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual adalah tiga hal yang terpisah. Pria yang berpenampilan kemayu dan dianggap melambai selalu dipertanyakan orientasi seksualnya. Pria kemayu selalu diidentikkan dengan gay, anak laki-laki yang bersikap seperti perempuan juga kerap kali mengalami bullying dan diskriminasi oleh keluarga dan teman sepergaulannya. Padahal belum tentu pria bersikap kemayu itu gay.
Begitu pula wanita yang berpenampilan laki-laki sering dianggap tomboi dan dicap lesbian. Masyarakat sering meletakkan jenis kelamin, ekspresi gender, dan orientasi seksual dalam satu garis lurus. Seperti jika kamu mempunyai penis, kamu harus menjadi pria dan menyukai lawan jenisnya. Dan jika kamu memiliki vagina, kamu harus menjadi perempuan dan harus mempunyai hasrat kepada laki-laki yang memiliki penis.
Dikotomi wanita-pria, gay-lesbian, penis-vagina, feminim-maskulin juga menjerat kita pada pemahaman oposisi biner. Kenyataannya, ekspresi gender, jenis kelamin, dan orientasi seksual tidak sesederhana itu.
Pada kasus interseks misalnya, jika menyandarkan kategori wanita-pria terbatas pada konstruksi di masyarakat, maka manusia yang dilahirkan dengan dua jenis kelamin sulit mendapati dirinya cocok pada norma yang berlaku di masyarakat. Interseks dilahirkan dengan dua jenis kelamin dan “dipaksa” untuk memilih jenis kelamin berikut gendernya.
Untuk orientasi seksual tidak terbatas pada gay-lesbian dan heteroseksual, ada pula biseksual yang berhasrat pada jenis kelamin apa pun atau panseksual yang berhasrat pada beragam ekspresi gender.
Kenyataan yang ada di masyarakat tersebut melahirkan Queer Theory. Queer adalah istilah yang digunakan pada Gerakan Masyarakat Sipil di Amerika tahun 1980-an sebagai bentuk “merebut bahasa” istilah yang digunakan oleh akademisi Queer Indonesia, Hendri Yulius. Penggunaan kata Queer sebelum abad ke-20 mengandung makna peyoratif yang digunakan oleh kelompok atau individu yang homofobik dan tidak setuju dengan seksualitas non-normatif dengan tujuan menghina.
Heteronormativitas
Kurangnya pemahaman masyarakat bahwa jenis kelamin, ekspresi gender, dan orentasi seksual adalah hal yang berbeda menggiring masyarakat pada diskriminasi. Ketidaktahuan membuat kita bersikap tak adil pada orang lain yang berbeda. Pemahaman jenis kelamin, ekspresi gender, dan orientasi seksual yang berupa garis lurus dan hanya terbatas pada perempuan dan laki-laki menjebak kita pada suatu norma sosial yang diberi nama heteronormativitas.
Heteronormativitas merumuskan norma tidak hanya pada manusia yang dianggap berperilaku menyimpang terkait gender dan seksualitasnya, tapi juga norma lain yang terkait dengan pembentukan keluarga batih seperti menjadikan menikah heteroseksual sebagai suatu kewajiban. Ketakutan tidak beralasan atau fobia menjakiti masyarakat kita sehubungan dengan hetero sebagai norma utama yang tak bisa diganggu guggat.
Homophobia adalah terminologi yang digunakan untuk kelompok atau individu yang merasa ketakutan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBTQ). Sebab, mereka merasa enggan untuk mengetahui bahwa gender adalah konstruksi sosial sehingga ketakutan dan kebencian dianggap sebagai cara terbaik untuk melindungi “tatanan sosial”. Padahal dalam realitas di Indonesia saja, Indonesia jauh lebih ramah dalam menerima gender shifting yang banyak ditemukan dalam pementasan tari tradisional di Indonesia.
Homophobia adalah warisan dari peradaban imperialisme Barat yang berasal dari tradisi Katolik. Tradisi imperialisme ini juga membakukan institusi pernikahan yang harus heteroseksual dan seagama.
Heteronormativitas juga merugikan wanita dan pria yang heteroseksual. Stigma perawan tua dan perjaka ting-ting adalah bagian dari budaya heteronormativitas ini. Begitu pula dengan pertanyaan bernada cibiran “kapan kawin” atau “bapak, kok, kerjanya di rumah tapi istrinya kelayaban”.
Heteronormativitas melahirkan stigma dan diskriminasi yang merugikan tidak hanya berbentuk dalam percakapan sehari-hari, tapi juga norma seperti wanita identik dengan dapur, sumur, kasur, dan laki-laki yang harus maskulin dengan tidak harus merepresi emosi dan perasaan sensitifnya.
Cibiran heteronormatif ini muncul pada komentar-komentar netizen terhadap pernikahan Aming dan Kevin yang dianggap “pernikahan sejenis”. Padahal secara biologis pasangan ini berbeda jenis hanya memiliki gender amat cair dan bertukar-tukar. Masyarakat yang terjebak pada heteronormativitas menjadikan heteroseksual sebagai norma kaku berikut dengan ekspresi gender dan jenis kelaminnya.
Netizen yang mencibir terperangkap dalam gender sebagai identitas final tanpa melihat kemungkinan partikular yang selalu bisa terjadi pada masyarakat yang beragam ini.
Terkait:

Sabtu, 13 Februari 2016

Homoseksual adalah variasi dari alam semesta

Diambil dari link ini.

JAKARTA, Indonesia—Dokter Roslan Yusni Hasan, ahli neurologi yang mendalami struktur, fungsi, dan penyakit dan gangguan pada sistem saraf, menawarkan penjelasan tentang keberadaan kaum lesbian, gay, dan biseksual dari sudut ilmu biologi.
Menurut dokter yang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya pada 1985 ini, menentukan jenis kelamin seseorang tak semudah menuliskannya di Kartu Tanda Penduduk: Laki-laki atau perempuan.
“Sekarang menentukan seorang laki-laki atau perempuan itu sulit,” kata dokter yang akrab dipanggil Dokter Ryu ini dalam diskusi ‘LGBT: Mitos atau Fakta’ yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Selasa, 9 Februari.
Mengapa sulit? “Karena kalau kita melihat secara genetik, kromosom XY itu belum tentu laki-laki, dan XX belum tentu perempuan,” katanya. Dalam dunia kedokteran, laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX.
“Terkadang bentuk kelamin itu meragukan. Misalnya, ada bentuk klitoris perempuan tapi tidak melekuk, kita bertanya ini perempuan atau laki-laki,” katanya lagi. Jenis kelamin itu bervariasi, tak hanya dualisme laki-laki dan perempuan.
Ada berbagai kasus yang dipaparkan Dokter Ryu terkait jenis kelamin ini. Ada yang memiliki penis berukuran kecil, tapi di bawahnya menempel klitoris yang tak bisa membelah. Ada juga yang memiliki klitoris tapi tak punya uterus atau rahim sehingga tak bisa menstruasi.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Dokter Ryu menjelaskan bahwa pada awalnya semua dibentuk oleh hormon seks. “Otak seperti kita sekarang ini dipicu oleh hormon awal kehidupan kita saat menjadi janin, perilaku kita juga dikendalikan oleh hormon tersebut,” katanya.
Saat janin masih berusia 0-8 minggu, jenis kelaminnya adalah perempuan (baik yang berkromosom XX maupun yang XY). “Pada dasarnya kita semua perempuan, kemudian terjadi perubahan diferensiasi atau perbedaan yang menjadikan kita tetap menjadi perempuan atau bergeser menjadi laki-laki (pada umumnya dipicu kromosom Y),” katanya.
Apa yang memicu perubahan jenis kelamin di minggu kedelapan? “Adalah impuls (Gen SRY) pada saraf yang kemudian mengatur pembentukan organisasi di bawahnya,” katanya.
Rangsangan dari Gen SRY itulah yang memincu lonjakan hormon testosteron yang menjadikan seseorang memiliki kromosom XY atau laki-laki. Jika tidak ada hormon testosteron maka ia akan tetap menjadi perempuan. Inilah yang disebut dengan proses maskulinisasi dan defemininisasi.
“Tapi gen SRY tidak selalu memberikan dampak yang sama. Jadi kelaki-lakian seseorang itu enggak sama. Enggak ada orang yang murni 100 persen perempuan, dan 100 persen laki-laki,” katanya.
Menurut Dokter Ryu, proses tersebut disebut neural input, yang nanti akan memicu seseorang cenderung menjadi laki-laki atau perempuan.
Saat janin sudah berumur 15 minggu, maka terbentuklah struktur jenis kelamin tersebut. Ketika terbentuk, hasilnya tak selalu 100 persen laki-laki atau 100 persen perempuan. Itulah yang disebut dengan disformisme seksual.
Tapi karena masyarakat hanya menggolongkan dua jenis kelamin saja, laki-laki dan perempuan, maka khalayak umum pun bingung dengan jenis-jenis yang lain.
Apakah bisa terjadi perubahan dalam proses pembentukan jenis kelamin?
Menurut Dokter Ryu, pembentukan struktur jenis kelamin tak bisa dipengaruhi oleh variabel lain. Struktur itu sudah terbentuk di otak. Apalagi dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya karena bergaul dengan kaum homoseksual.
Dokter Ryu melanjutkan ada satu hormon yang bernama estradiol yang bertanggungjawab pada maskulinisasi. Pada saat janin berproses membentuk struktur jenis kelamin, hormon ini bisa jadi turun kinerjanya sehingga anak yang lahir maskulinisasinya tidak maksimal. “Tapi itu hanya satu dari sekian variabel, bukan satu-satunyanya yang menentukan,” katanya.
Bagaimana dengan seorang lesbian, gay, dan biseksual?
“Ya itulah variasi alam semesta. Tidak ada manusia yang identik, semua berbeda. Spektrum antara laki-laki dan perempuan itu luas, tidak ada yang sama,” katanya.
Sehingga munculkan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. Yang ditemukan justru kemiripan, tapi tak identik.
Temuan peneliti LJ Gooren dan DF Swaab pada 1995 menunjukkan sirkuit otak pria homoseksual mirip gambarnya dengan perempuan heteroseksual. Penelitian itu menyimpulkan bahwa ada interaksi antara otak yang berkembang dengan hormon seks seperti yang dijelaskan Dokter Ryu di atas. Baca laporan lengkap peneliti tersebut di sini.
Tak bisa menular
Bagaimana dengan anggapan bahwa homoseksualitas bisa menular? Dokter Ryu menegaskan bahwa bakat menjadi homoseksual ada sejak otak terbentuk, bukan karena pengaruh lingkungan atau bergaul dengan kaum LGBT.
“Kalau seseorang yang berbakat homoseksual bergaul dengan homoseksual, bisa terpicu. Tapi kalau dia tidak berbakat homoseksual, dia tidak akan terpicu. Seperti orang yang berbakat musik, jika tidak pernah dikenalkan pada alat musik, maka dia tidak akan pernah terasah bakatnya menjadi pemusik,” ujarnya.
Lalu apakah ini berarti bahwa kaum LGBT tidak normal karena bukan heteroseksual? Dalam sains, tidak dikenal normal atau tidak normal. “Begitulah semesta, ini hanyalah variasinya," katanya. —Rappler.com



BACA JUGA