Jumat, 08 Oktober 2010

Merenungkan Sejarah Alquran

MERENUNGKAN SERAJAH ALQURAN
Oleh Luthfi Assyaukani

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma' nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia: ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak denga percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf Uthmani," pada masa itu telah beredar puluhan --kalau buka ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An'am, tapi surahYunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah "penting" itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan "kata pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.

Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: "pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]." Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang lain, yang didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal' dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan.

Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku 'ulum al-Qur'an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu.

Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari kata a-l-m bisa dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu atau juga menjadi na'lamu, ta' lamu atau bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas'ud berulangkali menggunakan kata "arsyidna" ketimbang "ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami") yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man" sebagai ganti "alladhi" (keduanya berarti "siapa"). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata da arti yang berbeda, seperti "al-talaq" menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas), "fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud), "linuhyiya" menjadi "linunsyira" (Talhah), dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

***

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas.

Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf" dengan cara menafsirkan "huruf" sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.

Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan "banyak," ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma'nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci—selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bias diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.

aslinya di: Merenungkan Sejarah Alquran
Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.



Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya

 Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya
Oleh: Ulil Abshar Abdalla

ISLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan.

Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.

Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.

Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb.

Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana. Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran.

BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.

Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen, teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti. Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti.

Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.

SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap?

Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis, menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-fikri” atau serbuan pemikiran.

Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.

Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar.

MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.

Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan.

Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.

Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka.

Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis di Amerika, misalnya.

Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.

Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam.

Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan Quran itu.

JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum?

Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.

Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik.

Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga mempunyai pandangan yang serupa.

Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.

Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.

Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.

Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup

Senin, 27 September 2010

Agnostik

Dari Agnostik

Oleh Bertrand Russell, 1953.
Diterjemahkan oleh Setya A. Sis, 1999

Apakah orang agnostik itu Atheis?

Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Kristiani, mempercayai bahwa ia dapat mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan. Penganut Kristiani mengatakan bahwa ia dapat mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengtahui Tuhan itu tidak ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan. Pada saat bersamaan, orang agnostik mungkin mengatakan bahwa eksistensi Tuhan meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Tuhan, maka Tuhan pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal demikian, Tuhan disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno. Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai. Orang agnostik akan berpendapat bahwa Tuhan orang Kristiani sama kecil kemungkinan adanya dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia sama dengan orang atheis.

Oleh karena Anda menolak "hukum Tuhan", otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman hidup?

Orang agnostik tidak menerima "otoritas" apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang beragama. Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh "Hukum Tuhan" itu selalu berubah setiap saat. Injil mengatakan bahwa wanita tiak boleh kawin dengan saudara laki-2 dari suami yang telah meninggal, dan bahwa dalam keadaan tertentu wanita harus kawin dengannya. Jika anda kebetulan seorang janda tak beranak dan masih ada ipar yang belum kawin, maka logikanya anda tak boleh menghindari "hukum Tuhan."

Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik?

Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Kristiani terhadap apa yang disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Kristiani di masa lalu bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai theologi yang absurd harus menerima hukum mati yang menyakitkan. Hukum mati demikian ditentang, dan lebih hati-hati mengenai tuduhan moral.

Kata "dosa" dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide "dosa".

Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya?

Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda akan menjawab: "Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa." Namun dalam kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil.1 Mereka mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum, seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut "conscience": Jika anda pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saat-saat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler yang dipakai untuk menciptakan dan dan mengabadikan masyarakat demikian.

Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan keinginan in check adalah selalu merupakan meinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang dapat di kendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, tapi dapat juga dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat meluruskan orang itu.

Bagaimanaka anggapan orang agnostik terhadap Injil?

Orang agnostik menganggap Injil tepat sebagaimana yang dianggap oleh seorang administrator yg bijak. Tidak dianggapnya sebagai wahyu illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Samuel memerintahkan Saul dalam perang untuk tidak saja membunuh tiap laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, tapi sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan ternak sapi hidup, dan untuk hal ini kita disuruh mengutuknya. Saya tak pernah mampu menyenangi Elisha karena mengutuki anak-anak yang mengolok-oloknya, atau mempercayai (yang dinyatakan Injil) bahwa Dewa yang baik hati akan mengirimkan beruang jadi-jadian untuk membunuh anak-anak tersebut.

Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Jesus, Kelahiran oleh Sang Perawan, dan Trinitas yang Suci?

Karena orang agnostik tidak percaya Tuhan, tak dapat dipercayai bahwa Jesus adalah Tuhan. Kebanyakan orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Jesus sebagaimana ditulis dalam Injil, tetapi tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan Jesus sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham Lincoln. Mereka juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolut.

Orang Aganostik Menganggap Kelahiran Sang Perawan sebagai satu doktrin yang diambil dari mitologi pagan/kafir, dimana kelahiran demikian bukan hal yang aneh (Zoroaster dikatakan terlahir dari seorang perawan; Ishtar, the dewi Babylon, yang disebut sebagai the Holy Virgin/Perawan Suci). Mereka tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut, ataupun kepada doktrin Trinitas, karena keduanya tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada Tuhan.

Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Kristiani?

Kata " Kristiani" mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad sejak jama Kristus, kata itu berarti orang yang percaya apada Tuhan dan keabadian dan serta bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi kaum Unitarians menyebut diri mereka penganut Kristiani meski tidak percaya akan keIlahian Kristus, dan banyak orang saat ini menggunakan kata "Tuhan" dengan arti yang kurang pas dibandingkan dengan arti jaman sebelumnya. Banyak orang yang sekarang mempercayai Tuhan tidak lagi bermakna person/manusia, atau trinitas dari person, namun hanya berupa kecenderungan kabur atau kekuatan atau maksud dan tujuan immanent dalam evolusi. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan "Kristianitas" hanyalah sebuah sistem etika yang dibayangkan sebagai karakter penganut Kristiani saja, karena mereka tidak peduli dengan masalah kesejarahan.

Dalam buku yang baru diterbitkan, ketika saya katakan bahwa apa yang diperlukan dunia adalah "cinta, cinta Kristiani, atau kepedulian/compassion," banyak yang menyangka hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pemikiran saya, meski kenyataannya mungkin saya katakan hal yang sama kapanpun. Jika yang Anda maksudkan "Penganut Kristiani" berarti orang yang mencintai tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda mendapat justifikasi untuk menyebut saya seorang Kristiani. Dan dalam hal ini, saya kira anda akan dapat menemukan lebih banyak "penganut Kristiani" diantara orang-orang agnostik dibandingkan dalam kalangan orthodoks. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi demikian. Selain penolakan lainnya, namapaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Muslim, penganut non Kristianilainnya , yang sepanjang sejarah ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak cenderung untuk melakukan moralitas diklaim dengan arogan oleh penganut Kristiani sebagai unik milik agama mereka sediri.2

Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Kristiani di jaman-jaman awal, dan sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa kepercayaan pada Tuhan dan immortalitas adalah essensial bagi penganut Kristiani. Dengan dasar ini, saya menyebut saya sendiri sebagai penganut Kristiani, harus saya katakan bahwa orang agnostik tak dapat menjadi penganut Kristiani. Namun jika kata "Kristianitas" ternyata digunakan secara umum dulunya hanya berarti sejenis moralitas, maka jelaslah mungkin bagi seorang agnostik untuk menjadi penganut Kristiani.

Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa?

Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi dari kata "jiwa". Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat ragu pada tubuh sebagaimana ketidak tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis.

Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka?

Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai.

Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya kepercayaan bahwa hukuman pembalasan artas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah of dari tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga.

Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Tuhan karena menolak-Nya?

Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin dan Brahma, namun hal ini tidak menyebabkan kebingungan/keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari ummat manusia tidak percaya tuhan Tuhan dan tidak menderita hukuman yang nyata karenanya. dan jika memang ada Tuhan, saya kira Tuhan itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak eksistensinya.

Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam?

Saya tak tahu dimana ketemunya "keindahan" dan "harmoni". Dalam kelompok kerajaan binatang, binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada binatang lain dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan hanya ada di mata orang yang memandangnya saja.

Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Tuhan YME?

Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti "mukizat" dengan arti kejadian-kejadian yang bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman dapat terjadi dan sama sekali bukan mukjizat. Di Lourdes, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun terhadap pasien yang beriman. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Joshua yang memerintahkan Matahari agar diam, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda dan menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda yang begitu. Sama banyaknya mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya Tuhan Kristiani dalam Injil (dan Islam – sasis).

Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis?

Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa agama agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadai dalam Kristiani dibandingkan tempat lainnya. Apa yang nampak dapat membenarkan hukum mati adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan berkurangnya kepercayaan dogmatis. Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis, yakni komunisme telah muncul. Untuk itu, sebagai mana terhadap sistem dogma lainnya, orang agnostik ditenentangnya. Ciri hukum-menghukum komunisme jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Kristianitas di abad dahulu. Dengan berlangsungnya waktu, Kristianitas kurang cenderung menghukum, ini adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap menganggap benar membakar orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh penganut Kristiani modern sebagaimana Kristiani, pada kenyataannya merupakan produk moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama telah mengakibatkan penderitaan dari pada yang telag diselamatkannya.

Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik?

Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya "arti hidup" ? Saya kira itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin.

Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan?

Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia, dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa, ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali. Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan bukan berdasarkan digaan perintah keilahian.

Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya?

Bukankan logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, "hanya mengimani logika saja". Logika berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Tuhan berkaitan dengan kenyataan, dan orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan pertanyaan, "Apakah akan ada gerhana rembulan besok?" Namun kenyataan saja tidak cukup untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda ingin bepergian dengan kereta api dari New York ke Chicago; Anda akan menggunakan logika untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Chicago adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika. Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan.

Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama mana yang Anda hormati, dan mengapa?

Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak mengandung dogma, tetapi "agama" adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh Confucianism dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.

Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam bentunya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim.

Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu komunis?

Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristiani saja, sebagaimana yang ditentang oleh agama Islam (Mohammedanism sic.). Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma baru yang maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti menentangnya.

Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat?

Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan "agama". Jika hanya berarti sistem etika, agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai mutlak benar, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai.

Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Tuhan itu ada?

Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak terhadap adanya intelegensia superhuman. Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian.

Ryan Breedon untuk Philosophy for Everyone/ Filsafat untuk Siapapun,
24 Agustus 1997.

Diterjemahkan oleh Setya A. Sis, 1999

Tujuan Hidup

Sumber dari Tujuan Hidup

1.Tanggapan dari pembaca Nasrani

Segera setelah 2 notes terdahulu saya publish, akun FB saya dibanjiri oleh pembaca dari latar belakang nasrani yang meminta di-addfriend, terlebih ketika note yang terakhir, Tuhan Itu Ada Sebanyak Mereka Yang Memikirkannya, dimana saya telanjangi mitos-mitos agama yahudi dan nasrani, justru mereka memberikan apresiasi positif terhadap tulisan saya. Surprise. Biasanya caci maki dan hujatan sudah jadi diet saya tiap hari. Sukurlah.
 

Kejujuran inilah yang mereka cari selama ini dan tidak didapat di khotbah2 pendeta mereka. Intelektualitas yang menghempaskan candu agama seperti inilah yang mereka rindukan selama ini dan tidak di dapat di gereja.
Mungkinkah ini tanda bahwa manusia terdidik, sudah nyata-nyata tidak bisa menerima lagi pembodohan dari para rohaniwannya?

Mungkinkah ini saatnya telah tiba bagi manusia Indonesia untuk bangkit dan belenggu-belenggu mitos yang selama ini menjadikan kita the other terhadap sesama kita sendiri? Saya harap demikian.

Namun apabila prasangka baik ini tidak terjadi, berarti itu tanda bahwa manusia Indonesia lebih suka menghisap candu-candu agama, lebih senang menyalibkan intelektualitas mereka sendiri kesekian kalinya, lebih senang menyunat intelektualitas kita sampai ke ‘bongol-bonggolnya’ dan menutup mata kita rapat-rapat dari realitas hidup yang terus berubah secara dinamis dan menuntut perubahan paradigm kita dalam memaknai hidup ini.

Demikian pula saya janjikan bahwa saya akan terus menyulut api kemanusiaan, integritas dan intelektualitas manusia Indonesia with one way or another tanpa pungutan apa-apa alias gratis.  Para pembaca nasrani tidak perlu takut dipungut perpuluhan oleh saya, seperti halnya para pendeta anda lakukan demi untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka yg borjuis di Singapur, Australia dan Amerika.
Kalau anda merasa tercerahkan dari tulisan saya, silahkan bagi kepada yang lain. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak jadi korban dogma2 agama lagi. Kita manusia bebas. Karena kita adalah tuhan atas aturan2 agama.

2 . Tentang Tujuan dan Makna Hidup.

Seorang menulis sur-el kepada saya yang intinya demikian:

DR. Lutfi, saya tercerahkan dengan tulisan bapak tentang evolusi perjalanan manusia itu sendiri yang merentang masa hampir 7 juta tahun
adalah mu’jizat dan hidup menjadi manusia itu sendiri adalah mu’jizat. Pertanyaan saya:
Adakah tujuan dari penciptaan alam semesta ini? Adakah tujuan penciptaan manusia di bumi ini?
Sedari kecil saya diajarkan bahwa tujuan menjadi manusia adalah agar menjadi hamba allah, menjadi kalifah allah di muka bumi ini.
Dengan runtuhnya mitos2 tuhan / allah ala agama2, maka saya tidak menemukan kembali pegangan itu. Memang  sich saya sudah ragu sama agama saya sejak lama, namun stlh  membaca  tulisan2 dari DR, Lutfi, saya menemukan 2 hal ini:

-Keraguan saya akan kebenaran agama mendapatkan bentuk yang solid. Saya jadi berani berkata tidak pada mitos2 agama.
-Pencarian hidup saya jadi kembali ke titik nol. Seakan-akan seluruh bangunan konsep kebaikan dan keburukan itu runtuh. Saya mencoba
membangun kembali kepingan2 dari reruntuhan itu dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Demikian permasalahan saya. Semoga DR.Lutfi bisa menjawabnya.

Wasallam.


Berikut jawaban saya:

Trima kasih untuk suratnya, saya sangat apresiatif dengan tulisan anda. Inilah pencarian yang tertinggi dalam hidup, yakni mencari makna dan tujuan hidup. Bertahun-tahun saya bergumul dalam tema yang sama, mencari titik pijak yang seimbang antara intelektualitas dan spiritualitas.  Dan itu merupakan momen-momen yang menegangkan dan mengharu- biru. Penuh dengan lekukan tajam dan ketidak- seimbangan.

Seorang yang terbiasa dengan berpikir kritis, mana mungkin mau menyerah untuk mempercayai cerita2 agama yang tidak berdasar ttg surga dan neraka. Namun dalam realitas dunia, semua faktor dimensi hidup saling terjalin, begitu sukar untuk diurai satu persatu.  Ada institusi agama yg berusia ribuan tahun yang mencatat sejarah tidak hanya sisi gelap, namun juga sisi baiknya untuk masyarakat. Dan kita hidup dalam komunitas dimana agama 2 ini begitu berakar kuat dalam tradisi dan benak kita, (yang juga sebenarnya dipolitisasi oleh pihak2 tertentu demi kekuasaan). Namun sekali anda memutuskan untuk tidak menyerah dan terus maju, saya percaya, anda akan mendapatkan jawabannya.

Ada satu cerita dalam agama buddha yang berkaitan erat dengan pertanyaan anda.  Demikian inti ceritanya.
Tersebutlah seorang murid yang meminta Gautama untuk menjawab pertanyaan2nya. Jika Gautama bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka ia akan tetap menjadi muridnya. Demikianlah kira2 pertanyaannya:
-Apakah alam semesta ini diciptakan atau tidak, terbatas atau tidak, abadi atau tidak?
-Apakah ada sang pencipta atau tidak, apakah ia juga dicipta atau tidak ?
-Apakah penciptaan ini bersifat linear atau siklikal?
-Apakah jiwa itu ada atau tidak, kekal atau tidak?


Jawaban Gautama  sederhana: apabila ada seorang serdadu yang terluka di medan perang, dan ada seorang tabib yang berinisiatif untuk menolongnya, perlukah si pasien ini bertanya : siapakah yang tadi memanahku? Dari manakah asalnya? Dari kasta apakah dia? Dari manakah ia belajar memanah? Memakai kayu apakah busur dan anak panahnya? Dengan metoda apakah ia menarik busurnya? Berapa lamakah ia telah beratih memanah? Dsb.dsb.

Nah, manakah yang lebih penting, menjawab pertanyaan si pasien atau membopongnya keluar arena perang dan melakukan P3K?
Kemudian Gautama  katakan bahwa ia tidak akan pernah mengajar apapun hanya untuk mencari tahu ini dan itu yang hanya akan terus menerus memancing pendekatan dualistic. Ia hanya akan mengajar bagaimana menjalani hidup dengan suatu perspektif subyektif dari pengalaman hidupnya, yang disebut cara melenyapkan dukha.
                                              ----------- +      ----------

Demi mencoba memahami maksud jawaban Gautama  saya bertanya pada rekan2 umat buddhis, namun jawabannya begitu dogmatis. Ada yang mengatakan bahwa cerita tsb belum selesai, sebab dikemudian waktu Gautama bercerita bahwa leluhur manusia berasal dari mahluk hidup yang tinggal di suatu surga yang non material dsb. Wah mitos lagi, candu lagi. Saya katakan padanya bahwa fakta Gautama tidak mau menjawab, berarti memang dia tidak mau jawab.

Kenapa ada cerita ttg Buddha menceritakan leluhur manusia dari surga tertentu? Harap pembaca ingat tentang Teologi Cerita- Mitos Kontra Mitos , bahwa adalah hal lumrah bagi agama baru untuk menumbangkan mitos 2 agama lama dengan menggunakan mitos2 baru yang memihak kepercayaannya. Dalam hal ini mitos agama hindu diganti oleh mitos agama Buddha. Inti dari ajaran Gautama yang etis filosofis sungguh sukar untuk dipahami umat awam, sehingga dijembatani dengan cerita2 dan legenda.

Saya juga katakan bahwa kitab tripitaka bukanlah perkataan dari mulut Buddha langsung, tapi dari para penulis dan penghafal tipitaka yang hidup sekitar 300-400 tahun stlh Buddha wafat. Dan dalam pembentukan kitab itu, ajaran Buddha yang sederhana telah dikooptasi oleh para biksu dari selatan atau hinayana, itulah kenapa ada tradisi yang melawantradsis selatan, yaitu  tradisi mahayana. Sangat mungkin bahwa manusia Gautama tidak berbicara baik dalam bahasa pali atau pun bahasa sansekerta, tapi bahasa daerahnya sendiri di Nepal. Hmmmm payah deh… kalau orang beragama hanya menekankan pada pemahaman literal biblical semacam itu. Selalu naïf.
Saya mencoba memahaminya cukup lama, kemudian sampai pada satu refleksi bahwa ada yang harus dibedakan, yakni Tujuan Hidup

(Purpose of Life) dan Tujuan Dalam Hidup  (Purspose in Life).

Purpose of Life adalah pertanyaan yang bersifat obyektif dan memerlukan pembuktian material, yang darinya kita mentheorimakan suatu kebenaran empiris.

Pertanyaan2  ontologis yg diajukan si serdadu seperti diatas TIDAK masuk dalam ranah agama atau spiritualitas. Dari manakah adanya kehidupan ini, apa yang terjadi sebelum big bang, adakah jiwa atau tidak, bukan domain dari agama.
Biarkan para saintis dengan jernih mencari jawaban2 dari pertanyaan ontologis semacam ini. Fakta bahwa cerita2 agama tentang penciptaan alam semesta, penciptaan manusia telah terbukti gugur, seharusnya membawa kita pada pemahaman bahwa pertanyaan semacam itu bukanlah domain agama / spiritualitas.

Sedangkan tujuan dalam hidup ini (purpose in life) adalah pengalaman subyektif dan unik dari si individu yang mana ia harus putuskan dan tempuh dalam meniti momen2 hidup ini. Dari perjalanan hidup inilah dia mengambil makna hidup.
Tujuan hidup dan makna hidup itu sendiri tidak pernah ada yang menentukan, anda sendiri yang menentukan hidup anda mau dibawa kemana. Anda mau jadi apa, berkarir di bidang apa, mau jadi manusia dgn tabiat apa, andalah yang menentukan berdasarkan modal dan kapabilitas anda.

Dahulu agama memonopoli kehidupan manusia karena para rohaniwan berpikir umat terlalu bodoh untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik, mana yang berarti dan tidak berarti, dan sebagai hukum bersama yang mengikat suatu komunitas maka lahirlah agama-agama hukum.

Kita mesti pahami ini dalam perjalanan peradaban manusia. Dan sejalan dengan dialektika masyarakat yang makin terdidik, manusia  mulai mempertanyakan otoritas dari institusi dan dogma2 agama dan mencari realitas kebenaran yang lebih utuh, jernih dan bebas dari segala motivasi politik dan agama.

Tidak ada agama, dogma dan kitab yang jatuh dari langit, semua hasil dari pemikiran manusia dalam upaya mencari jawaban tentang purpose of life & purpose in life. Tentu saja pemikiran manusia ini dibentuk oleh lengkungan kebathinan, kultur, worldview yang terkait dengan ruang dan waktu saat itu. Begitu pemikiran ini dikonsepkan dalam bahasa, maka jadilah sebuah isme  atau ideology.

Apakah tujuan dari alam semesta ini? Bahkan para saintis saja tidak tahu, apalagi rohaniwan.
Tetapi apakah anda merasa layak menghabiskan energy untuk mencari jawaban semacam itu sementara dalam keseharian hidup anda, ada masalah2 praktis yang perlu disikapi secara dewasa.

Dalam note2 terdahulu, saya selalu tuliskan bahwa :

Hidup ini bernilai / bermakna (pemahaman subyektif) bukan karena mempercayai dogma ini dan itu, namun dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan nilai2 kemanusiaan dalam jangkauan praksis yang terdekat.

Apakah jangkauan praksis yang terdekat yang kita bisa ikut ambil bagian?
Ambilah sikap dan tindakan nyata untuk meruntuhkan raksasa-raksasa penghancur kemanusiaan, yakni:  kemiskinan, korupsi, pembodohan massal dari kekuasaan dan otoritas keagamaan, pemaksaan syariat islam di negara kita, tindakan kekerasan oleh mereka yang menjadi candu agama dsb.

Kepada para pembaca nasrani , ada satu hal lagi yang anda bisa lakukan:

Dari pada anda memberikan perpuluhan kepada gereja, yang nyata2 tujuannya hanya untuk memperkaya si pendeta agar bisa menyekolahkan anaknya ke luar negri, dan membangun tembok2 pembeda di antara manusia lebih baik anda berikan pada orang / lembaga kemanusiaan yang lebih membutuhkan, tanpa melihat latar belakang agama dan etnis.

Demikianlah perenungan dari saya, sebagai Doktor lulusan universitas Australia terkenal dalam Kajian Islam Mutokhir alias Advance Islam Study, akhirul kata saya himbau:

Mari ummah manusia, jalanilah hidup ini dengan penuh semangat, sukacita, dan integritas yang luhur, seraya gigih menolak segala bentuk pembodohan yang membuat manusia terkotak2 oleh dogma agama yang sudah lancung, cacat logika, dan basi. Mari kita wujudkan kemanusiaan universal yang mengedepankan kelembutan, rasionalitas dan kesetaraan. Seru sekalian alam.   

Tuhan itu ada sebanyak mereka yang memikirkannya

Sumber  Tuhan 
Seorang Nasrani menulis su-rel pada saya dengan nada kesal :

Bung Lutfi, kalau anda memang seorang doctor dalam kajian islam yang bla..bla.. bla.. , please deh seharusnya anda stick to your own business, jangan sok tahu ttg agama orang lain. Bukti bahwa bangsa Israel tetap ada sampai sekarang berarti memang Tuhan menyertai mereka seperti yang tertulis dalam Alkitab.



Saya jawab saja:
Ahhhh... saya tahu apa yang ada dibenak anda dan orang-orang sejenis anda. Kalian kecewa pada saya. Titik. Banyak orang non-muslim minta di add-friend karena merasa senang melihat islam ditelanjangi, padahal waktu mereka baca tulisan saya, ternyata yg ditelanjangi itu bukan hanya islam, tapi Kristen dan yahudi juga.

Untuk diketahui oleh anda, saya tidak anti agama manapun. Dan saya tidak membenci siapapun. Saya hanya tidak suka ketidakjujuran dan irrasionalitas. Saya hanya ingin kita jujur dengan intelektualitas kita. Kita menempatkan mitos sebagai mitos, pesan moral sebagai pesan moral.

Bahwa saya katakan kejadian dari adam sampai musa atau sampai yosua itu mitos alias sahibul ngibul hikayat, sebenarnya sudah lama dikibar-kibarkan oleh para ahli kalam di agama anda. Anda saja yang kekeh dengan romantisme agama sendiri.

Tidak kurang dari seorang teolog protestan yang bernama Rudolph Bultmann, yang gigih memperjuangkan bahwa menjadi seorang beriman, dalam hal ini Kristen, tidak berarti musti menelan mentah2 tentang adanya surga dan neraka, kelahiran dari perawan, kebangkitan dan kenaikan ke surga. Semua itu cuman bingkai cerita.

Bultmann bilang bahwa tugas teologi itu bukan membeo apa yang dikatakan orang terdahulu ttg cerita2 di sekitar api unggun yang dilakukan oleh nenek moyang iman di padang gurun sana. Tugas teologia adalah memisahkan susu dari buih, yang artinya membedah cerita2 tersebut dan mencari tahu apa pesan inti dari cerita2 tersebut, bukannya membabi buta mempercayai adanya adam – hawa, kejatuhan dalam dosa, dibelahnya laut teberau, yusuf ditelan ikan besar, yesus naik ke surga dsb.

Kalau seorang yang rasional, demi mengikuti agamanya musti tetep mempercayai kejadian2 itu sebagai historis berarti, berarti dia harus menyalibkan intelektualitasnya untuk kesekian kalinya. Begitulah kata Bultmann. Kalau di islam saya bilang demi dogma kita harus menyunat intelektualitas kita untuk kesekian kalinya….sampai bonggol-bonggolnya.

Coba saya tanya anda, apa keuntungannya bagi anda kalau yesus itu lahir dari perawan mariam? Apa keuntungannya kalau yesus membuat mukjizat dari 5 roti dan 2 ikan menjadi berlipat2 sampai bisa mengenyangkan 5000 laki2 saja, belum termasuk perempuan dan anak2?

Apakah dengan percaya hal2 demikian memberi perbedaan bagi dunia ini?

Ingat bahwa kelaparan dan kemiskinan di afrika juga terjadi di daerah2 yang mayoritasnya Kristen, dan tidak pernah ada mujizat penambahan roti di sana. Yang mati, ya mati saja.

Percaya bahwa bani Israel pernah diselamatkan dari mesir dan allah menulahkan kematian pada anak sulung di mesir, tidak menghapus fakta bahwa jutaan bangsa yahudi dibunuh oleh Hitler dalam kejadian Holocaust. Kemanakah yehowah tuhan bangsa Israel sang pengirim tulah?

Tuhan yang membangkitkan yesus, ternyata tidak membangkitkan satu juta orang Kristen ortodoks Armenia yang digenoside oleh tentara islam Turki.

Bukan karena percaya ini dan itu yang membuat hidup ini bernilai, mas, tapi bagaimana menjalani hidup ini dengan mengisinya lewat hal2 positif untuk diri kita, keluarga, sesama dan semesta alam, disitulah hidup kita ini bernilai.

Percaya yesus pernah begini dan begitu atau Muhammad pernah begini dan begitu, tidak memberi nilai apa2 bagi manusia selain menambah keegoan saja.

Teologi Cerita , Mitos kontra Mitos

Ketika anda, dan semua pembaca SK yang budiman, membaca dan memahamai kitab ‘suci’ , saya ingin anda sekalian diterangi pemahaman ini; bahwa bible itu, dan semua kitab suci termasuk alquran, bukan catatan jurnalistik yang menceritakan suatu kejadian secara obyektif,cepat, tajam, dan terpercaya – langsung dari TKP. Namun pandangan sepihak dari pihak-pihak tertentu yang tengah mencoba mengkomunikasikan kepercayaannya lewat cerita2 tertentu dalam perspektif tertentu.

Cerita-cerita tsb dibuat sedemikian rupa sebagai bingkai untuk memuat isi dan pesan2 dari keyakinanan mereka. Tujuan mereka bukanlah agar si pembaca mempercayai bingkai ceritanya, melainkan pesan terdalam dari suatu paham menurut versi mereka sendiri. Coba anda perhatikan kata2 yang sy garis bawahi.

Sama seperti kapsul yang diisi obat. Kapsul itu sendiri bisa diganti-ganti warnanya, bentuknya dan bahan pembuatannya, yang membuat kapsul itu bernilai adalah isi di dalam kapsul itu.

Nah kapsul itu adalah cerita2, dan isi kapsul itu adalah pesan 2 tertentu dari si pembuat kapsul.

Metoda inilah yang dalam kalamullah Kristen disebut teologi cerita. Kenapa lewat cerita?

Lha emang lewat apaan lagi kalau bukan cerita? Apa anda pikir orang jaman dulu tahu tentang metodologi penulisan berstandar akademis? Apa mereka musti pake risalah, bibligraphi, refleksi teologis, riset2 rumit buat orang2 yang kurang terdidik? Please deh be realistic.

Lewat cerita2 yang bisa ditambah dan dikurangi, dibentuk ulang dan direinterpretasi, mereka memasukan pesan2 kemanusian dan harapan2 kepada generasi sejaman dan generasi2 mendatang.

Kebathinan manusia yang resah dan selalu mencari, merasa terasing dalam alam semesta yang tak bertuan, merasa terancam dan ketakutan, merindukan kelepasan dan pembebasan dari masalah2 ekonomi, politik adalah tema2 umum yang kita dapati dalam cerita2 itu.
Coba anda benar2 perhatikan bahwa cerita2 tentang yesus sebenarnya diambil dari cerita2 kitab terdahulu dimana manusia yesus itu dijadikan sama dengan pengalaman kemanusiaan para tokoh iman bangsa yahudi.

  • - Adam tidak berayah – yesus bukan anak biologis dari yusuf, tapi dari ruh kudus.
  • - Kelahiran bayi Musa berada di bawah ancaman firaun – begitu pula dgn kelahiran yesus.
  • - Bangsa israil di bawa ke mesir sebelum dikembalikan ke kanaan – begitu pula yesus dilarikan ke mesir sebelum kembali ke galilea.
  • - Semuil dibawa ke baitullah dan tuhan mulai berbicara kepadanya ketika masih berumur 12 tahun – begitu pula yesus dibawa kebaitulah dan berdebat dgn para ahli2 torat ketika berumur 12 tahun.
  • - Nabi elias membangkitkan anak seorang janda yang mati – begitu pula yesus membangkitkan anak jendral rumawi yang mati.
  • - Nabi elias menyembuhkan seorang yang kusta – begitu pula yesus menyembuhkan orang kusta.
  • - Musa menurunkan roti dan daging burung puyuh dari langit – yesus membuat membuat muzizat roti dan ikan untuk 5000 orang.
  • - Musa mengeluarkan air dari batu – Yesus melakukan mujizat air anggur dari air biasa.
  • - Musa membelah laut – Yesus berjalan di atas air.
  • - Musa dan elia ketika mati diangkat ke surga – begitu pula yesus naik ke surga.

Dan yang terakhir ini ditiru dalam cerita2 islam sebagai isra dan miraj. Eksodusnya bani Israel adalah hijrahnya nabi Muhammad dan kaumnya, tafakurnya di gua hira adalah kisah parallel dari cerita bertemunya musa dengan tuhan di padang gurun. Semua kisah ini tidak akan anda pahami sampai anda keluar dari cangkang (eksoteris) dan masuk menuju esensinya (esitoris).

Can’t you see the point? Apa anda pikir Yesus benar2 melakukan ini dan itu? Tidak.

Kehidupan kebatinan manusia yesus itu dijadikan bingkai cerita dimana mitos2 lama ditumbangkan oleh mitos2 baru.
Inti dari kisah2 tersebut bukan percaya pada kejadian ini dan itu sebagai kejadian factual, namun sebagai bahan2 perenungan dimana si perenung dibawa pada suatu keyakinan bahwa ada jawaban dari setiap kegundahan bathin manusia, ada suatu jawaban dibalik segala kepelikan dan penderitaan manusia. Bahwa orang baik diharapkan akan mampu melewati semua permasalahan hidup, lengkap dengan kegagalan dan kemenangannya. Dalam yesus bentukan cerita2 itu, anda, saya dan seluruh manusia ikut ambil bagian. Itulah pesan inti mistis dari kisah kehidupan yesus.

Ada banyak hal yang luar biasa dari manusia historis yesus, yang bisa kita tiru.
  • - Dalam kungkungan budaya yahudi yang patriakal Yesus malah memilih maryam jadi sokoguru di padepokannya. Kelak, atas pengaruh petrus, yakobus dan paulus yang male chauvinistik, maryam malah dikerdilkan perannya, distigmatisasi sebagai pelacur yang bertobat. Sehingga nama maryam Magdalena sukar untuk dipulihkan lagi dan kepemimpinan gereja berada dalam genggaman laki-laki. Ini bener2 keterlaluan.
  • -Dulu di baitullah sulaiman, orang buta dan orang pincang tidak boleh masuk. Justru oleh yesus orang buta dan orang pincang di bawa ke baitullah untuk disembuhkan (terlepas dari benar atau tidaknya mereka jadi sembuh). Inilah pemberontakan yesus terhadap institusi dan dogma agama yang tidak manusiawi.

Dan masih banyak perjuangan yesus yang luar biasa yang bs kita ambil semangatnya dalam komunitas kita sehari2 terlepas dari kekurangan dan kelebihan manusia yesus sbg seorang yahudi galilea abad 1 masehi.

Namun manusia yesus yang berkarisma luar biasa itu dikerdilkan oleh orang2 seperti anda sendiri. Anda senang yesus itu disalib terus menerus untuk bisa dikenang dan dipuja. Diisap-isap kayak candu tiap hari hanya untuk mempertebal dinding romantisme agama anda sendiri. Entar kalau anda ketemu orang yang jujur kayak saya, neurosis deh anda jadinya, sambil bilang ‘back to bible. Back to bible’. Padahal intinya – gua gak mau tau, gua takut apa yang gua dulu percayai sebenarnya nggak terbukti benar.

Seharusnya ‘ yesus ’ itu dibebaskan berkreasi dalam pikiran anda, untuk memberi nilai luhur atas kemanusiaan dalam jangkauan praksis kehidupan anda sehari-hari.

Keselamatan itu tidak datang dari mempercayai ini dan itu, tapi mengambil bagian dalam sebuah kegerakan untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan.

Pasti anda tahu bahwa isa pernah mengatakan, ‘anak manusia adalah tuhan atas hari sabbat’. Itu artinya manusia itu tuhan, gusti, master atas aturan2 agama. Agama dibuat oleh manusia dan untuk manusia (kalau anda mau mempercayainya agama tsb loh), bukan sebaliknya manusia jadi budak untuk agamanya.

Karena dogma agamalah kita menjadi buruk sangka terhadap orang lain. Kegerakan agama2 di Indonesia hanya mempertebal dinding2 pemisah yang menciptakan bipolar yang ekstrim:

               -  Mayoritas vs. minoritas, Mukmin vs. kafir, Saya vs. kamu,Kami vs. kalian, Kita vs mereka.

Padahal dalam note saya yang lalu saya sdh jelaskan, sumber dari agama yahudi, Kristen dan islam itu ternyata mitos yang dibuat oleh bangsa-bangsa kanaan. Kenapa tidak ada nabi2 yang sadar bahwa cerita2 itu ternyata hanya mitos? Bukankah katanya nabi2 ini memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, yang hubungannya dengan tuhan begitu dekat? Kenapa tuhan atau jibril tidak pernah bilang bahwa cerita2 itu palsu?

Jawabanya karena tuhan, jibril, dsb hanyalah agen mitologis dari suatu kesadaran intuitif manusia itu sendiri yang dibentuk oleh worldview suatu budaya tertentu. Dan yang namanya kesadaran - juga berada dalam kawasan intelektualitas ketika kita mencoba untuk mengkomunikasikannya. Spectrum dialektika anda dan saya berbeda, sehingga apa yang bagi saya mudah untuk diterima oleh akal budi, mungkin bagi anda masih sukar. Ya tidak apa-apa, semua orang sedang dalam tahap berkesadaran yang berkelanjutan, on going process.

Atau sederhananya gini saja…

- Kenapa ada ribuan sekte dalam agama Kristen dan mereka tidak sepakat satu dan lain hal?
- Kenapa sunni dan syiah tidak pernah akur?

Seharusnya kalau memang ada tuhan yang satu, kita berharap tuhan itu bersabda kepada setiap orang begini dan begitu, bahwa yang benar ini dan itu, sehingga tuntaslah kebenaran itu dan manusia tidak perlu berdebat. Kenapa hal ini tidak pernah terjadi?
Jawabannya : karena tuhan itu cuman konsep, suatu idea ttg yang benar dan salah, abstraksi dari rasa takut dan pengharapan akan rasa aman dan keterjaminan. Dan wadah dimana idea itu dipelihara , yaitu agama hanyalah ideology. Dus , yang namanya ideology, anda bisa menambahkan, mengurangkan, menafsirkan ulang seturut dengan kapasitas berpikir anda, berdasarkan dialektika material yang mengelilingi anda. Itulah kenapa agama itu banyak.

Ada yg bilang tuhan itu tidak ada, ada yang bilang tuhan itu cuman satu, sendirian kayak lone ranger, ada yang bilang tuhan itu tiga pribadi dan satu hakekat. Ah itu semua lucu. Gak logis. Buat saya yang bener:
Tuhan itu ada sebanyak mereka yang memikirkannya,
Mengertikah anda, mas?

Oh ya, saya bukan pro Israel, saya bukan pro palestina,

Saya pro pada kehidupan dan pro pada perdamaian.

Dengan menelanjangi sumber ketiga agama besar ini, saya ingin kita di Indonesia, tidak terbawa-bawa secara emosi mendukung ataupun membenci suatu kaum. Karena ternyata klaim2 semangat ‘persaudaraan’ dalam keagamaan itu begitu rapuh,irrasional, dan hanya berdiri di atas mitos alias sahibul ngibul hikayat.

Satu nyawa orang yahudi sama berharganya dengan satu nyawa orang palestina, orang sudan, orang rusia, amerika dsb.
Akhirul kata, sebagai hadiah untuk anda, saya ingin kembali pada topic ‘kesadaran’.

Kalau tuhan itu masuk dalam kawasan kesadaran,dan kesadaran itu ketika dikomunikasikan membutuhkan intelektualitas, jadi bagaimana kesadaran itu bisa dijelaskan?

Kesadaran itu tidak perlu dijelaskan, cukup anda rasakan dalam diam dalam hening.

Dalam keheningan -rasakan dan hayati bahwa kita semua sama, segala bentuk kehidupan, berasal dari sumber yang sama, telanjang dari semua label pembeda yang dibebankan kepada kita sejak lahir, entah itu ras, agama, status social, dsb.

Dalam keheningan ini rasakan masuk dan keluarnya nafas, sadari betapa berartinya momen kini dan disini.

Sadari bahwa anda itu tuhan atas hari sabath, tuhan atas segala aturan agama.

Jika yesus yang adalah manusia biasa itu tuhan, maka semua manusia, termasuk anda dan saya dan para pembaca fb lainnya, berpotensi menjadi tuhan.

Dalam kesadaran yang sedemikian- suatu saat - maka terrealisasilah ‘tidak ada anda, tidak ada saya, tidak ada yesus, tidak ada tuhan, tidak ada diri lain lagi selain kesadaran yang tak berbatas. Kesadaran yg hanya bisa dirasa. Dirasa oleh siapa? Oleh sang kesadaran itu sendiri. Seru sekalian alam.