Selasa, 17 Agustus 2021

Puan: Dulu, Kini, Nanti 3

 Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi

CERITA TENTANG PUAN: DULU, KINI, NANTI (Bagian 3/3)


Saya butuh waktu yang cukup untuk membuat penelaahan, kenapa safari baliho itu muncul dimana2. Tentu saya bersimpati pada teman2 atau publik yang mengkritiknya. Karena menganggapnya tidak tepat waktu di saat pandemik makin menjadi. Saya sama sekali tak keberatan ia dituduh sekedar pencitraan, atau mencuri start. Bagi saya sendiri dalam konteks waktu, bila sejarah itu selalu berulang maka idiom adakah waktu yang tepat itu omong kosong. Waktu tak pernah tepat, tapi waktu selalu akan berulang...

Tapi benarkah demikian? Jawaban paling gampang yang muncul dari para pembelanya (yang rata-rata bodonya minta ampun itu) adalah yang lain juga begitu, kenapa ketika Puan ikut jadi masalah. Gugatan lainnya, kalau juga ikutan, kenapa tiba2 sedemikian masif. Ya memang sangat masif, kalau tidak mau dianggap sebagai sampah visual model baru. Tak usahlah kita menelisik biayanya, karena toh juga bukan duit kita dan tak membebani uang negara...
Setelah saya menelusur, setidaknya saya menemukan jawaban pokok bahwa apa yang terjadi adalah melulu masalah internal PDI-P. Alasan2 yang saya sebut di atas semua bernada eksternal, dalam arti apa yang disebut "rebranding". Pakai (re), karena suka atau tidak, diakui atau tidak, Puan Maharani tentu jauh lebih dikenal dibanding "rival"-nya para pemasang baliho lainnya itu. Jika konteksnya rebranding itu jadi salah besar.
Beradu diri atau bertanding kok di masa yang salah, dengan rival yang tidak selevel. Reputasinya Puan bagaimana pun dapat dikatakan jauh lebih baik. Apalagi bila pembandingnya Airlangga Hartarto yang memang sedang "makmur-makmurnya" beroleh rejeki pandemi. Atau Muhamin (is) Kandar yang memang hobinya menghias jalanan dengan foto jeleknya. Apalagi dibanding anak kemarin AHY yang sebentar lagi kehilangan rumah itu. Persoalan Puan itu kan, terutama karena publik gagal menemukan jejak Puan bangun jalan tol, waduk, masuk got, atau blusukan ke pasar. Sehingga ia dianggap perlu melakukan rebranding lebih agresif. Yaelah....
Situasi kondisinya sebenarnya adalah PDI-P itu sebagaimana partai pemenang Pileg dan Pilpres (kalau dalam sepakbola ini disebut brace, dua kemanangan sekaligus). Pada periode keduanya ia mengalami apa yang disebut kerapuhan internal. Apa yang dalam teori organisasi dan bahasa politik dianggap "pembusukan dari dalam". Atau kalau dalam bahasa Jawa "kerah dewe nang njero omah, bergelut sendiri secara internal". Kondisinya, tak berbeda jauh dengan Partai Demokrat di masa kedua kepemimpinan SBY sebagai presiden. Dan itu parah sekali!
Di sinilah, kemudian PDI-P butuh konsolidasi ke dalam, apa yang disebut "kembali merapatkan barisan". Pemasangan baliho itu adalah bentuk kepatuhan terhadap instruksi Pengurus Pusat!
Dan sejauh yang saya lihat, hal tersebut sedikit banyak berhasil. Inilah yang sebut dalam tulisan awal saya sebagai strategi anti-marketing. Sebelum melakukan marketing, siapkanlah sisi inetrnal-mu terlebih dahulu. Menejelaskan kenapa, walau diejek sedemikian rupa oleh publik, yang diejek terutama Puan dan PDI-P bisa2 saja. Jangan lupa difitnah, dihina, dicaci maki di hari ini adalah berkah!
Tapi baiklah, tak lengkap bila saya tidak menyajikan data tentang pra-kondisi yang terjadi di internal PDI-P, yang mendorong keputusan pemasangan serentak baliho bergambar PM, yang menurut catatan saya: variannya sangat beragam. Minimal dari jenis pakaian dan statement pendek yang ada di dalamnya. Menunjukkan bahwa hal tersebut memang dirancang sedemikian rupa dan sangat serius, oleh tim komunikasi internal PDI-P.
Sepenelaahan saya terdapat tiga pra-kondisi, yakni:
Pertama, tak banyak yang memahami betapa "kasus kecil" penyuapan oleh Harun Masiku (HM) sebenarnya adalah sebuah design besar awal penghancuran PDI-P. Bagian yang tak banyak orang mau tahu, siapa sebenarnya HM! Orang hanya mendramatisir ia adalah saudara jauh dari alm Taufik Kiemas, suami Megawati. Sesungguhnya, HM sebelumnya adalah kader dari Partai Demokrat yang gagal nyalon, lalu sebagai kutu loncat ia pindah ke PDI-P. Kembali kalah. Tapi kemudian, karena ngebet banget jadi Anggota DPR RI. Ia lalu menyuap salah seorang Komisioner KPU. Polanya terlalu telanjang gampang dibaca, bahwa ia orang yang disusupkan!
Di PDI-P atau siapa pun partai pemenang, jenis orang begini banyak sekali! Mereka lah benalu, yang membuat partai sering dianggap tak berideologi. Atau dalam konteks PDI-P jadi tak lebih partai nasionalis lainnya, yang jadi kuda tunggang para bandar!
Persoalannya, ia dianggap membawa2 nama Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto (HK). Padahal, informasi valid saya miliki, HK sama sekali tidak tahu. Ia tercatut namanya, karena ulah dari makelar2 jabatan yang memang banyak terdapat di lingkaran partai mana pun, tak terkecuali PDI-P. Logikanya, kenapa kalau akan dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW), harus ke KPU. Bukankah itu adalah kewenangan dari Pengurus Pusat (PP). Situasinya, jadi pelik karena HM kabur dan di-hoaks-kan disembunyikan oleh orang partai. Nah ini juga persoalan serius!
Dari informasi yang saya miliki, KPK sudah lama tahu dimana HM bersembunyi (atau malah justru dimana ia disembunyikan). Pertanyaannya, KPK faksi yang mana? Ya, yang mana lagi kalau bukan KPK Faksi Kadrun yang dikomandani NB, yang sekarang masih berjuang untuk diluluskan sebagai PNS itu. Kerumitan2 internal seperti ini pulalah, yang juga membuat KPK jadi semakin mandul. Karena upaya pembersihan dari dalam sangat sulit dilakukan. Dan dalam konteks inilah, Pengurus Pusat PDI-P berusaha keras merapatkan barisan.
Momentum ini digunakan untuk menilai kader mana yang patuh dan loyal, mana yang numpang dan ngeyelan....
Kedua, apa yang dianggap sebagai "Ganjar mulai jalan sendiri dan kemajon". Diakui atau tidak, popularitas Ganjar Pranowo memang cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena secara fisik ia sangat eye-chatching, tapi terutama aktivitasnya secara sosial media sangat efektif. Mungkin, ia belajar dati Roy Suryo ketika menjadi Menpora. Orang boleh tidak suka kepada kepribadiannya, tapi Roy adalah figur menteri yang paling accesable bagi media. Media sangat mudah menghubunginya, saat mencari jawaban atas sebuah pertanyaan. Bahwa kemudian ia dibenci karena ketika tak lagi menjadi menteri, karena pulang membawa panci. Itu lain soal...
Keberhasilan Ganjar juga tak sampai di situ, ia dianggap berhasil dalam banyak hal. Menarik investasi ke Jawa Tengah, yang tercermin dari pemindahan banyak pabrik dari Jawa bagian barat ke bagian Tengah. Dukungannya terhadap penataan kembali Kota Lama Semarang, saya pikir adalah juga keberhasilan yang patut diapresiasi. Sikapnya yang keras terhadap para guru dan pendidk beraroma kadrun di banyak Sekolah Negeri, membuatnya memiliki impresi yang yahud. Apalagi bila pembandingnya adalah Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, yang tidak sekedar membiarkan tapi jadi sponsor bagi gerakan pro-khilafah itu.
Akibat, sebagaimana kita tahu Gerakan "Ganjar The Next-President" di akar rumput semakin kuat. Didukung hasil kerjaan para lembaga survai baik yang bayaran atau tidak itu, yang menempatkannya memiliki elektabilitas tinggi. Kondisi inilah, yang menyebabkan Ganjar memperoleh reaksi negatif justru dari internal partainya sendiri. Dan tamparan paling keras itu, justru muncul dari Bambang Pacul yang tak lain adalah Ketua DPW PDI-P Jawa Tengah. Hukuman pertama telah dilayangkan, ia tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P di Semarang.
Karena itu fokus pemasangan baliho ini terlihat sangat masif dan mencolok di Jawa Tengah sebagai kandang banteng yang utama. Sejak itu saya lihat, Ganjar mulai mengkoreksi diri, untuk tahu diri "ora nggenge mangsa". Dan menyatakan patuh dan loyal terhadap partainya. Bukankah itu sinyal dan presentasi yang baik!
Ketiga, dan barangkali ini sekaligus menjawab pertanyaan kok akhir2 ini PDI-P jadi rajin mengkritik Presiden yang tak lain "petugas partai"nya sendiri? Suka tidak suka, penanganan Pandemic Covid-19 ini berjalan ke arah yang tidak menentu. Tak ada satu kajian akademis atau teoritis yang mampu menjawab kapan berakhirnya. Di sisi seberangnya, tidak sebagaimana biasa tak ada satu pun paranormal yang tepat menunjukkan ramalannya. Kenapa? Karena memang, alam semesta menghendaki kita tidak untuk terus menerus memusuhinya, tapi perlahan untuk berdamai hidup dengannya. Terlalu klenik? Ya tidak, bukankah selama ribuan tahun sejarah, manusia juga menjalaninya seperti itu....
Hanya manusia modern saja, yang hidupnya kadung terlalu rumit, menghargai dirinya terlalu tinggi dibanding alam semesta tempatnya berpijak! Belum paham, yo wis...
Secara teknis, Jokowi juga terjebak dalam sengkarut bisnis farmasi yang mencekik tidak hanya rakyat tetapi terutama anggaran negara. Ia dianggap membiarkan penanganan pandemi ini mengikuti selera dan kemauan pasar medis dan obat-obatan. Bagaimana mungkin, kita terlambat tahu bahwa biaya Test PCR di negeri ini nyaris 10 kali lipat dibanding biaya di India. Kenapa setelah dipilihnya Budi Gunawan Sadikin yang dianggap lebih bermental pedagang dibanding kedokteran itu bisa sedemikian kecolongan? Ini bukan persoalan sederhana, berapa juta kali sudah test PCR yang dibiayai negara? Berapa selisihnya? Yang bila itu bisa ditekan, akan sangat menghemat anggaran negara...
Dalam konteks ini, PDI-P menganggap Jokowi terlalu "dikrukubi", dikangkangi oleh lingkaran kekuasaan yang membuatnya tak mau mendengar lagi suara partainya sendiri. Di sinilah arti penting baliho-baliho itu. Mungkin baliho itu ingin berkata:
"Wahai Jokowi, jangan lupa kamu bisa ada di sana. Karena kami ada di sini. Kalau kamu masih ingin di sana, mulai tengoklah kami di sini".
Menjelaskan kenapa yang dipasang adalah foto Puan Maharani, bukan foto Megawati. Puan Maharani adalah representasi paling sahih dari kekuatan legilatif, karena ia adalah Ketua DPR RI. Ia adalah sekedar pengingat, bahwa DPR bisa me-recall Jokowi setiap saat. Apa yang sudah sangat gencar dilakukan secara laten oleh para rival PDI-P. Kalau PDI-P mau bergabung, selesai sudah....
Bagi saya, Jokowi itu selamanya tetap orang baik. Justru karena ia orang baik, ia tampak jadi sangat lemah di saat pandemi semakin kuat mencengkeram. Pandemi ini, sudah dengan mudah mengubah segalanya. Semuanya tiba-tiba tampak hancur berantakan, bagi para fatalist inilah saat terbaik untuk semakin dan sekalian menghancurkannya berkeping-keping. Hal-hal seperti inilah, yang gagal ditangkap atau dibaca oleh media yang bagi saya di luar berwatak pemalas, menganggap dirinya terlalu penting sebagai pemegang otoritas kebenaran informasi.
Padahal bekalnya sekedar kemampuan pasang kuping kanan kiri lalu copy-paste ....
Kita secara bersama-sama memasuki fase kehidupan baru! Masyarakat manusia akhirnya juga tak lebih hamparan padi, yang bisa setiap saat terserang hama. Tak lebih peternakan ayam ras, yang hanya bisa jadi diambil telurnya tanpa pernah dikasih kenikmatan berjalan2 di luar kandangnya. Kita terlalu bnayak berhutang, menghina kebaikan alam. Sampai kapan?
Sampai kita berhenti mengutuki pandemi, dan mulai belajar berdamai untuk lebih mengenali diri sendiri....
.
.
.
NB: Sebagai penutup, fenomena baliho ini justru menunjukkan gaya berkomunikasi Puan Maharani yang unik, original, dan kekinian. Ketika ia dianggap "tidak ada, nothing". Karena ia tidak pernah banyak berbicara, ia dianggap tak terlalu bernafus jadi "media darling". Dalam konteks media podcast-an, dianggap susah diundang ke media untuk diwawancarai. Bagi saya, justru karena ia anak jurusan komunikasi massa. Ia sangat paham menempatkan dirinya.
Dalam kaitannya secara internal, sebagai petugas partai yang lainnya. Ia merasa perlu harus tetap patuh, tunduk, dan terutama memberi ruang yang lebih lebar kepada ibunya. Karena bagimanapun secra de facto dan de jure, ibunya masih mbebeggeg ada di situ. dalam falsafah Jawa, ia bisa dianggap "mikul duwur, mendem jero". Ini cermin kerendahgan hati dan kebersahajaan, yang selalu gagal ditangkap manusia milenial yang selalu lebih rumour, glamour, dan kehebohan.
Dan yang terakhir, apa juga salahnya to? Kalau akhirnya Puan Maharani dicalonkan jadi Presiden? Bukankan ia hanya sekedar copy paste Indira Gandhi dalam konteks Jawaharlal Nehru di India. Tak ada yang baru, dan tidak ada yang istimewa. Dinasti politik bukan hal yang tabu dalam peta politik modern. Bagi saya satu-satunya yang istimewa ya, inilah kesempatan terbaik anak UI untuk menjajal kursi kepresidenan. Bukankah juga ini abad perempuan.
Mosok orang militer terus, bosen dan gak jaman! ITB sudah dua kali, orang Pesantren juga pernah. Bahkan sekedar Drop-out-an Unpad sudah ada. Mosok harus anak UGM lagi. Cie cie....
.

Puan: Dulu, Kini, Nanti 2

 Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi

CERITA TENTANG PUAN: DULU, KINI, NANTI (Bagian 2/3)

Nasehat baik dari sahabat saya Nana Padmosaputro, sang manusia multitalentis itu. Seorang psikolog, tarotis, motivator, bla bla bla yang tulisannya selalu original, meski kadang sangat tengil, nakal, dan ndagel. Tampak sangat milenialist, walau ternyata realitanya justru menunjukkan spirit dasarnya sebagai penganut Kejawen. Bahwa untuk menilai sesuatu harus menggunakan alat ukur yang tepat. Contohnya, bila ingin mengukur suhu badan ya pakai termometer, jangan pakai mistar penggaris. Atau kalau menimbang badan, jangan sekali2 pakai speedometer. Hal sederhana seperti ini, kita mudah abai dan sering tidak cermat. Jadi gampang marah, reaktif, dan akhirnya menghasilkan penilaian yang salah.
Menilai Puan di hari ini pun harusnya demikian. Minimal dari dua aspek pokok. Mustinya dalam ruang dan waktu yang juga kekinian....
Coba kita tengok, dengan siapa sesungguhnya Puan head to head berhadapan sebagai sesama "anak mantan presiden". Bagaimana ia membangun prestasi dan reputasi. Bandingkan dengan anak2 Suharto yang konon tajir melintir tujuh turunan itu? Setelah ayahnya tak lagi berkuasa, hidupnya hanya terpaku bagaimana mempertahankan hasil rampokan bapak-ibunya. Apa hal baik yang mereka lakukan selama lebih dari dua dekade terakhir ini. Kerusakan, kerusakan, kerusakan. Mereka merubah total era dimana Islam sebagai musuh di masa bapaknya, menjadi Islam sebagai alat perusuh. Mereka menjadi sponsor demo, teror dan kerusuhan yang nyaris tanpa henti. Tak lebih keluarga oportunis, destruktif, teroris....
Lalu, kita geser kita bandingkan dengan dua putra mahkota Cikeas itu? Tapi maaf, gak jadi ding, saya sudah terlalu malas bercerita tentang mereka. Keluarga yang hidup dengan hantu-hantu, yang tanpa sadar diciptakannya sendiri....
Atau kita pilih yang lebih bernilai positif: anak2 Gus Dur. Yang lebih fair dan berimbang karena sama2 tokoh wanita. Setelah kejatuhan ayahnya, lalu seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Partai besutan bapaknya dirampok oleh keponakannya sendiri. Mereka nyaris bernasib sama, mengalami trauma politik yang sangat akut. Mereka tak mau lagi bermain dia area politik praktis. Dan memilih menjadi Social Justice Warrior (SJW) yang berada di pinggiran, dengan melakukan pendidikan politik. Bagus, tapi pengaruhnya sangat lambat, meleset sedikit pengaruhnya hilang. Apa pasal...
Ruang dan waktunya bergeser terlalu cepat!
Di masa damai tapi gersang seperti ini. Dimana ekonomi sudah berubah jadi panglima, politik sebagai alat dan agama menjadi kendaraan.



Sebuah data riset internasional terbaru, menunjukkan Indonesia adalah negara dengan skala kepercayaan tertinggi di dunia terhadap agama. Angkanya 93 dari maksimum 100. Fenomena ini sesungguhnya trend yang aneh bila melihat pembanding negara lain, yang memiliki kecenderungan yang sama: Tiongkok, Brazil pun Amerika Serikat mengalaminya. Walau tak setinggi Indonesia. Negara2 yang dapat dikategorikan (meminjam istilah bahasa Jawa) "negara sing isih nggrangsang". Negara yang nafsu dan libido untuk sekedar jadi kaya dan kuat, dengan cara kemaruk, serakah, dan saling mengalahkan itu masih sangat kuat.
Tapi cobalah tengok, negara2 Eropa dan Asia Timur yang jauh lebih mapan, yang memiliki keberimbangan antara demokrasi dan sosialisme. Seperti Jerman dan Perancis atau Jepang dan Korea Selatan. Tingkat fanatisme beragamanya sangat rendah.
Apa efek dari rendahnya nilai tersebut: toleransi yang tinggi, rasisme yang rendah, dan kesejahteraan yang lebih merata. Kondisi yang menghasilkan tingkat ketergantungan yang rendah dari warga terhadap pemerintahannya. Menjelaskan kenapa ketika tingkat beragamanya tinggi, justru warga gampang menimpakan segala kesalahan kepada pemerintah. Dan ini riil terjadi di Indonesia....
Di ruang dan waktu seperti inilah Puan hadir.
Ketika saya berencana menuliskan serial ini, dan saya menggoda teman2 saya dengan memposisikan diri sebagai kakak kelasnya. Seorang teman bertanya: Puan itu bodoh ya mas?
Untuk menjawabnya, tentu saya harus bertanya pada teman2 saya. Pada titik yang paling ekstrem, sahabat saya Sri Wahyuni. Seorang aktivist LSM Perempuan yang bergerak di kesetaraan gender. Ia memberikan kesaksian bahwa ia pun semula salah menilai Puan Maharani. Hingga dalam Forum Indonesian Women's Forum 2018, ia terperangah! Saat memberikan keynote speech., tanpa menggunkan teks. Puan bisa dengan fasih bercerita dan memaparkan tentang bagaimana perempuan bisa memberikan makna dan kesejahteraan. Bukan hanya untuk diri sendir dan keluarga, tapi juga untuk lingkungan. Ia tampak sangat paham era industri 4.0 dengan pemanfaatan gadget dan teknologi digital untuk memberi manfaat ekonomi.



Pidato yang konon sedemikian memukau itu, dilakukannya di hadapan 1000 tokoh wanita terpenting Indonesia. Menjadi sangat menyentuh, karena ia sebagaimana wanita Indonesia mileneal hari ini, ia tetap untuk memilih jalan ber-gotong royong. Gawan orok ideologis yang berasal dari kakeknya!
Ada peristiwa lain, yang saya pikir juga gagal ditangkap publik dengan baik.
Peristiwa ketika pada tahun 2020 lalu, ia bersedia menerima gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dari Universitas Diponegoro. Bagi sesama anak UI, tentu saya kecewa. Buat apa? Gelar Doktor itu sejak SBY memilikinya dengan cara absurd, sudah jatuh harga. Para pejabat lain, baik di lingkaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif berlomba2 memilikinya dengan cara sama anehnya. Aneh, karena tanpa pernah kedengaran kuliah tiba2 sudah diwisuda. Kasus terakhir, yang menyangkut anaknya Akidi Tio, menguatkan bagaimana mungkin seorang Kapolda tiba2 punya gelar Prof. Dr. MSc. Sampai titik ini saya tidak mengerti bagaimana kita sedemikian mudah terkena prank!
Dalam ruang kegilaan itulah, Puan berdamai. Dengan menerima gelar tersebut? Tidak membeli, tapi menerima. Untuk memperoleh gelar Doktor cukup meyakinkan 4-5 guru besar, tapi untuk dapat DR. HC harus beroleh izin mayoritas yang puluhan guru besar di sebuah perguruan tinggi. Walau kalau ditilik dari alasannya tentu jadi juga lucu? Ia dianggap sebagai figur yang memperoleh persentase suara tertinggi dalam Pileg di Indonesia. Ya wajar karena, ia ditempatkan di kandang banteng. Di kawasan Solo, Sukoharjo, dan Klaten.
Demikianlah ia harus selalu selalu mengadaptasi dirinya. Tidak selalu baik, tapi harus berada jalan yang lebih benar. ia harus mendayung dan berselancar, ikut arus gila, liar, dan curam. Tapi tidak ikut jadi gila beneran! Dalam istilah Jawa: ngeli ning ora melu ngeli....
Dan terakhir, dan barangkali ini yang terpenting!
Beberapa waktu yang lalu, saya kedatangan seorang fungsionaris PDI-P, yang saya nilai dia salah satu ideolog partai ini. Dia bercerita dan mengeluhkan bagaimana sulitnya menjaga loyalitas anggota partai di hari ini. Di lingkungan partai ini, setiap hari mereka dihadapkan pada pilihan "kreweng atau banteng". Istilah kreweng sendiri itu unik, lucu, sekaligus mengundang haru. Arti harafiah "Kreweng" adalah pecahan genteng, tapi dalam tradisi perkawinan Jawa. Ia adalah uang logam yang terbuat dari tanah liat, yang digunakan pada acara siraman yang kemudian dilanjutkan acara adol dawet. Nah, orang yang ingin minum dawet itu harus membeli dengan duit kreweng itu...
Hari ini berbicara politik adalah uang, bukan lagi ideologi. Tanpa uang, politik adalah omong kosong. Ukuran yang sangat menyedihkan, bikin prihatin dan mengelus dada. Mbuh dadane sapa!
Dalam konteks ini pulalah, kita harus memahami. Protes yang dilakukan orang warga PDI-P, saat Ganjar Pranowo dihukum tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P justru ketika moment itu justru dilakukan di Semarang. Ia dianggap jalan sendiri, dan tak memberi ruang yang jembar bagi para konstituennya. Sesuatu yang berulang juga di hari2 ini, ketika Puan melontarkan kritik pada bagaimana Jokowi menangani pandemi. Yang seharusnya justru dibaca, semakin dekatnya atau lebih percayanya Jokowi kepada Airlangga Hartarto sebagai Ketua Golkar. Dibanding pada para tokoh lain yang berasal dari fungsionaris PDI-P.
Puan berada di ruang dan waktu, dimana "punya rasa malu" itu harus ditunjukkan dengan "cara tidak punya rasa malu". Ia harus cepat memahami bahwa celaan, kecaman, dan hinaan adalah menu santapan yang justru paling rutin hadir di meja makan dirinya. Dimana hukum adalah arena jual-beli yang paling vulgar, tak memiliki etika dan tata-krama. Asal apa? Asal semua dibungkus dengan agama: ya pakaiannya, ya ayat-ayatnya, ya pengikutnya....
Sebuah ruang dan waktu apa yang disebut "era anti-marketing", dimana merusak sebuah brand adalah cara tercepat melakukan pencitraan. Dan itulah yang kita lihat hari ini!
(BERSAMBUNG)
.
.
.
NB: Saya mencatat salah satu teladan baik dari Megawati adalah bagaimana ia mendidik anak kesayangannya ini dalam berpolitik. Ia mengajari anaknya, meniti karir politik dari bawah sekali. Dari sekedar panitia dari acara2 informal. formal, dan kemudian acara munas atau kongres partai. Ia tak pernah diberi jabatan dengan cek kosong, apalagi ditempatkan sebagai sebagai "putri mahkota".
Di sini, kita seharusnya apple to apple. Bila ingin fair bandingkanlah Puan dengan anak2 SBY itu? Yang bukan saja merampok partai, tapi secara sepihak menjadikannya sebagai rumah pribadi keluarga mereka. Media, akan terus mencari sisi buruk dari Puan, mungkin sebagian akan berhasil. Tapi pertanyaannnya, kalau itu berhasil lalu mau apa? Buat apa.
Tanpa kita sadari, kita ini setiap hari melakukan "pembunuhan", terhadap karakter, reputasi atau prestasi. Sebagian benar, tapi sebagian besar sangat ngawur. Tanpa perasaan bersalah dan tanpa berbekal data yang benar. Dalam politik, mengenali dan menilai figur pribadi itu penting.
Tapi membandingkan misalnya Puan Maharani dengan Mulan Jamella itu? Come on, cerdaslah sedikit....

Puan: Dulu, Kini, Nanti 1

Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi


 CERITA TENTANG PUAN: DULU, KINI, NANTI (BAGIAN 1/3)

Mencari data tentang Puan Maharani di internet itu gampang-gampang sulit. Datanya standar banget, dan dimana-mana isinya sama. Nyaris datar, walau tak tampak ada pengendalian informasi di dalamnya. Tapi sekaligus tak ada upaya untuk "memblow-up" dirinya. Mangkanya, beredarnya banyak baliho dianggap "salah mangsa", tak tepat waktu. Dan karena tak tepat waktu, implikasinya panjang dianggap kurang punya empati, terlalu narsis, mencuri start, dst, dst.

Benarkah begitu? Ada apa sebenarnya di balik fenomena tak umum ini?
Karena itu, perkenankan saya berbagi cerita sedikit tentang dirinya. Kebetulan saja, karena saya se-kampus dengan dirinya. Tentu saya jauh lebih tua darinya. Saya pilihkan tiga cerita sederhana saja, dari barangkali puluhan cerita lain yang saya punya. Sebuah kisah hal-hal biasa yang bagi saya justru lebih mudah menjelaskan suatu fenomena besar. Yang terkadang tak terjelaskan oleh suatu teori politik mana pun. Dalam ilmu politik yang saya pelajari, sebenarnya tak ada teori tertentu yang spesifik.
Politik itu adalah melulu pandangan, sikap, dan perilaku individu. Yang jika diperlebar menjadi komunitas, organisasi, masyarakat, hingga jika berhasil jadi patokan sebuah bangsa. Politik itu bukan ilmu murni, di dalamnya campur aduk berbagai ilmu lain saling-silang tidak karuan. Filsafat, psikologi, sosiologi, historis, marketing. Menjelaskan kenapa akan makin kacau bila agama dimasukkan ke dalamnya....
Sebagai awal saya ajukan tiga cerita. Kebetulan ketiganya terkait dengan masa lalu Puan, ketika ia masih kuliah di Kampus FISIP UI. Bagi saya pribadi, kampus ini adalah yang paling asyik sak-Endonesah. Ya pergaulannya, suasananya, kuliahnya, cari duitnya, dosennya. Bagi anak laki2, pergi ke kampus adalah "never ending story of cuci mata". Tersebab lebih sulit cari perempuan kurang cantik, daripada yang cantiknya. Weleh weleh....
Pertama, ini kesaksian saya sendiri. Sependek ingatan saya, dan setelah saya konfirmasi juga dengan teman2 sekampus. Puan Maharani adalah anak Jurusan Komunikasi Angkatan 1990 (saya koreksi yang bener anak 92). Pada masa yang sama, kok yang ndilalah dua cucu Sukarno ada di angkatan itu. Satu yang lainnya, adalah Puti yang anaknya Guntur Sukarno. Puti baru lalu kalah dalam pecalonan Cawagub di Jawa Timur. Puan menjadi sangat menonjol karena pilihan berpakaiannya yang "sangat Indonesia". Di tengah gaya berpakaian anak Jakarte, paduan blue jeans dan T-Shirt atau kaus Polo. Puan sering saya lihat menggunakan paduan rok batik dengan blouse putih berenda, sejenis kebaya ala Bali.
Saya pas melihatnya pertama kali, berseloroh pada sahabat saya sesama "anak daerah": "Kuwi sapa to, kok beda dewe?". Dijawab oleh sobat saya, yang baru setahun lalu meninggal (juga) karena Covid-19: "Kuwi putune Sukarno, anake Megawati." Semasa itu, Puan belumlah se-chubbi sekarang, dengan potongan rambut sasak dan pipi tembem. Ia malah tampak seperti putri Keraton yang kesasar. Saya menduga figur seperti dialah, yang kemudian menginspirasi anak FISIP lainnya yaitu Nugie (adiknya Katon Bhagaskara, yang pernah jadi iparnya iparnya Ira Wibowo) itu menciptakan lagu skate-rock berjudul "Tertipu".
Alim tak bertingkah /
Layaknya seorang putri dari keraton /
Manis tutur kata /
Dari mulut yang terbungkus norma norma /
Intinya, Puan yang memiliki kepribadian pendiam dan anteng itu, telah menunjukkan karakter unik "berani beda". Dalam arti ia memiliki benang merah nasionalisme yang kuat. Ia paham dengan apa itu "personal character branding". Ia tidaklah seseorang yang tiba-tiba. Persoalannya, kenapa tiba2 ia tampak berubah? Kita jawab dalam tulisan selanjutnya.



Kedua, ini cerita seorang teman seangkatan yang karena kebiasaannya genjrang-genjreng di kampus tak kenal waktu. Memang di FISIP UI terdapat beberapa kelompok idola musik, yang kebetulan memang lahir di kampus ini. Ada PSP (Pancaran Sinar Petromaks) yang terkenal dengan lagunya Gaya Mahasiswa dan Fatimah. Lagu ini, nyaris tiap hari terdengar di kampus. Belum lagi lagu2 plesetannya anak2 Warkop, yang sering dilantunkan Kasino macam Andeca-Andeci atau Chinese Song yang ngasal berbau bahasa China itu. Keasyikan seperti ini, yang pada awal tahun 1990-an mudah ditemukan di kampus ini. Kegembiraan yang murah, merakyat, dan menjelaskan kenapa ia malah berjejak panjang.
Mungkin karena terkesima dengan suasana itu, dan kayaknya anak2 itu gak kunjung "naik kelas". Puan berinisiatif baik, untuk mengundang mereka latihan nge-band di rumahnya. Dan terbitlah suatu cerita lucu yang legendaris. Tiba-tiba, saat sedang berlatih (tentu itu saat pertama kali). Sang ibu, si tuan rumah, muncul dari balik pintu: marah-marah, karena merasa terganggu, dianggap terlalu berisik. Saya bisa bayangkan "cengok"-nya anak2 pada saat itu. Biasa nyanyi di ruang terbuka, sekeras-kerasnya agar didengar sampai ke seluruh sudut kampus. Tiba2 main di rumah gedongan yang steril, hening, sunyi, senyap. Yang jarum jatuh saja, bisa terdengar. Ini tiba2 kedatangan "para pengamen urakan..."
Bagian ironisnya. Tak lama kemudian si ibu, yang kita tahu tentu saja ia adalah Megawati, dengan segera menyadari kesalahannya. Lalu segera menyiapkan makanan, mengundang dan menyuruh anak2 itu makan bersama. Puluhan tahun, kemudian peristiwa seperti ini berulang. Setelah selesai Pilpres 2019, terjadi peristiwa brutal, penolakan koalisi Prabowo hingga menelan belasan korban. Tak lama kemudian, Megawati mengundang Prabowo ke rumahnya. Membuatkan nasi goreng, lalu mengundang masuk "rival politiknya" itu ke dalam Kabinet Jokowi Kedua. Sampai hari ini saya tak bisa kunjung paham, kok bisa ya.
Rakyat biasa seperti kita akan mudah terjebak pada pertanyaan: "Atine ki loh nang ngendi, perasaanne ki piye". Kelas rakyat itu memaafkan hal kecil saja sulit, apalagi dalam persoalan berbangsa...
Ketiga, ini sebuah cerita dari seorang sahabat di Jogja. Sebuah komentar di tulisan saya terdahulu. Bahwa pada saat KKN di Klaten, Puan adalah satu2nya anak yang hanya turun dari loteng ketika makan. Selebihnya ia menyendiri dan gak gaul dengan teman-temannya. Belakangan masyarakat desa itu tahu, bahwa ia adalah cucunya Sukarno. Mereka maido, mempertanyakan: kok beda dengan kakeknya yang merakyat. Sependek yang saya tahu, di FISIP itu tidak ada KKN, tapi sebuah mata kuliah khas fakultas ini yang namanya Metode Penelitian Masyarakat (MPM). Itu terbagi MPM 1 dan MPM 2.
Di tengah2nya ada suatu kuliah lapangan sekira dua minggu, ke suatu desa yang pilihannya selalu jauh dari Jakarta. Biasanya dipilih kalau tidak Jogja, ya Jawa Tengah. Pokoknya kota2 yang terlewati jalur kereta api ekonomi..
Karena di FISIP, sebagaimana trend yang mulai berlaku umum. Menggunakan sistem SKS, dimungkinkan seorang tidak selalu mengambil mata kuliah yang terus barengan dengan teman2 seangkatannya. Entah apa alasannya, ketika tiba waktunya turun lapangan, Puan tidak berbarengan dengan teman2 seangkatannya. Saya bisa bayangkan, cucu presiden di usia mudanya, berusia dua puluhan terjebak ke sebuah desa yang tak dikenalnya. Tak pernah tahu, bahwa kakeknya adalah "sejenis nabi". Seorang messiah yang membebaskan negaranya dari penjajahan akut di desa yang terkenal sebagai penghasil beras terbaik dan terenak di Pulau Jawa itu. Tapi, kemudian saat cucunya mampir, warga merasa tak disapa.
Padahal jangankan dengan situasi lingkungan desa itu, hawong dengan teman2 sepe-berangkat-annya pun ia asing. Ia tak kenal, karena beda jurusan, beda angkatan. tak pernah sekelas. Watak "gawan bayi, bawaan orok" bahwa ia sangat mudah terstigma sebagai cucu presiden, yang kemudian bertambah sebagai anak presiden inilah. Ia harus memanggul beban harapan yang terlalu tinggi di pundaknya.
Puan adalah figur unik di panggung politik Indonesia: ia cucu presiden, anak presiden. Yang kemudian jadi menteri, dan kemudian jadi Ketua DPR-RI. Menjelaskan kenapa nama tengah yang paling tepat bagi dirinya adalah "fitnah". Salah sangka, penyangkalan, merendahkannya barangkali sudah biasa ia terima. Tidak saja di hari-hari ini, tapi jauh hari sebelumnya.
Sejak dulu, ketika ia masih jadi anak macan, ketika ia belum lagi jadi apa-apa. Apalagi sekarang ketika, ia sudah berubah Harimau Jawa. Dianggap sekedar mitos, tapi kemudian ternyata balihonya ada dimana-mana....
(BERSAMBUNG)
.
.
.
NB: Puan dan Mega itu adalah satu muka keping mata uang. Muka keping lainnya bisa siapa saja. Kita boleh tidak suka pada sepak terjang dan kehadirannya. Tapi kita harus akui bahwa keduanya adalah potret terbaik dari kontinuitas dinasti politik yang konsisten. Bukan pada persoalan estafet kekuasannya, tapi terutama juga menyangkut ideologi, nilai-nilai dan sejarah perjuangannya.
Sesuatu yang selalu kita salah pahami sebagai suatu yang buruk, kuno, dan usang. Tapi sebuah bangsa tak lagi punya harga dan masa depan, tanpa ideologi dan nilai yang diwariskan oleh pendahulu dan para bapak bangsa. Di sinilah arti penting kedua perempuan itu. Keduanya bisa saja salah langkah, tapi bukan berarti kita berhenti mencari pemahaman persoalan daripadanya.

Untuk apa? Untuk membantu mengkoreksi dan memperbaikinya. Demi apa? Demi kelangsungan masa depan bangsa ini sendiri...

SEJARAH KELAM TIMOR TIMUR DAN BAPAK SAYA

Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi


SEJARAH KELAM TIMOR TIMUR DAN BAPAK SAYA

Entah kenapa setiap kali Agustusan tiba, selalu saja ada momentum negara kita ini dihinakan sedemikian rupa justru sebagai "negara penjajah".

Entah itu karena persoalan HAM yang selalu diungkit2 di Papua, atau yang paling sering kasus Timor Timur yang sebenarnya telah lama selesai. Tapi selalu saja ada alasan mengungkit2 luka lama itu kembali. Baru lalu ini, pemberian penghargaan kepada Eurico Gutteres dipermasalahkan, karena ia dianggap penjahat perang oleh warga Timtim. Dan seseorang menuliskan surat terbuka, yang mengingatkan betapa kejamnya dia dalam masa kekacauan saat peralihan Timtim dari sebuah provinsi bagian dari NKRI menjadi negara merdeka...
Halow, bukankah itu masa chaos dan rusuh. Dimana kondisi terburuk sangat mungkin terjadi, dimana kesalahan dan kejahatan bisa jadi ada pada dua pihak. Kenapa kita tak bisa saling memaafkan dan melupakan masa lalu yang sungguh brengsek itu. Seolah yang menjadi korban melulu masyarakat Timtim, sedangkan warga Indonesia hanya jatuh harga sebagai agresor, aneksator, penjajah, bla bla bla yang serba hitam, laknat, dan hina!
Padahal realitanya tidaklah seperti itu. Perkenakan saya sedikit berkisah, bahwa keluarga besar kami adalah salah satu dari sedikit warga yang juga berkorban cukup banyak untuk daerah tersebut. Bukan sebagai apa2, tapi melulu sebagai "manusia untuk manusia". Atas dasar nilai-nilai kebajikan kemanusiaan. Tak lebih!
Pada tahun 1975, bapak saya selulus dari Fakultas Farmasi UGM, kemudian mendapat kesempatan "double rejeki". Bekerja di perusahaan farmasi di Australia, sekaligus menempuh pendidikan Pasca Sarjana di negeri kanguru tersebut. Bagi orang desa dari latar belakang "wong tani utun", yang berasal dari kota yang tidak populer seperti Magetan. Tentu kabar baik itu langsung terdengar ke seluruh desa. Kakek saya yang miskin, pun bapak saya yang sekedar bisa selesai kuliah. Karena ibu mau banting tulang kerja pagi, siang, malam untuk membiayai bapak. Tentu tak punya cukup uang untuk sekedar membuat syukuran mangayubagya dan sekedar pamitan.
Entah bagaimana caranya, mbah kakung saya bisa melakukannya. Bahkan saking bangganya membiayai kami sekeluarga pulang ke Magetan dari Jogja. Sebuah pesta yang cukup meriah untuk ukuran kami saat itu. Menyembelih kambing dan acara terbangan ala Santri-Kejawen waktu itu. Bagi saya kakung saya ini manusia paling asyik sedunia, kalau waktunya shalat ia tak pernah alpa pergi ke masjid. Tapi setiap malam tak pernah absen cakrukan, main kartu selepas Isya hingga Shubuh menjelang. Orang kampung menyebutnya main ceki. Belakangan kami tahu, komunitas inilah yang membiayai perayaan tersebut....
Singkat cerita, Bapak berangkat duluan ke Australia. Rencananya beberapa bulan kemudian kami akan menyusul, sambil ibu bersiap2 mengurus pengunduran dirinya dari PNS di Dinkes DIY. Puluhan tahun kemudian, baru saya tahu ibu terhambat tidak boleh keluar dari Jogja, karena ialah penanggung jawab penyaluran bantuan pangan untuk anak-anak kurang gizi dari UNICEF untuk Provinsi DIY. Di tengah keribetan itulah, kemudian keluar kabar yang benar2 buruk. Bapak mendapat panggilan Wajib Militer (WAMIL) untuk turut berjuang dalam masalah Timtim.
Tentu bagi keluarga saya hal ini cukup aneh. Bapak saya ini perawakannya kecil, badannya kerempeng seolah kurang gizi. Sama sekali tidak pantas untuk menjadi tentara. Dan bagian terburuknya, posisi Bapak sudah di luar negeri dan terikat kerja dengan perusahaan asing. Pertanyaan bodohnya, apa gak ada orang lain?
Kasus yang menimpa bapak cukup pelik, karena menyangkut hubungan antar-negara. Tentu perusahaan tempat bapak bekerja tak semudah itu melepaskan, karena sudah keluar biaya ini itu. Hingga akhirnya Atase Pertahanan dari Kedubes RI di Canberra turun tangan, dan entah bagaimana prosesnya. Bapak akhirnya berhasil diseret pulang ke Indonesia. Tentu saja dengan perasaan malu, jengkel, dan hati hancur. Karena berarti segenap harapannya tiba-tiba menguap begitu saja....
Setiba di Indonesia, Bapak baru tahu bahwa ia merupakan salah satu orang yang dipilih untuk mendirikan Pabrik Obat Militer di Bandung. Di sebuah bekas gudang senjata yang tak jauh dari Stasiun Andir. Lembaga yang mula2 dinamai Pobekkesau (Pusat Perbekalan Kesehatan AU), kemudian saat bapak jadi direktur berubah nama Lembaga Farmasi Angkatan Udara (Lafiau). Kenapa di Bandung? Karena di kota inilah menjadi salah satu pangkalan udara yang memiliki hanggar untuk Pesawat Hercules. Dan dari sinilah seluruh kebutuhan obat-obatan dan medis untuk perjuangan Timor-Timur dikirimkan.
Karena rasa malunya, Bapak nyaris 10 tahun tak pernah pulang kampung ke Magetan. Syukurlah Mbah Kakung dan Mbah Putri kersa ngalahi menengok ke Bandung, bila kangen pada anak dan cucu-cunya...
Hal tersebut berlangsung nyaris selama 25 tahun, hingga terjadi huru-hara yang berujung pada Referendum dan lepasnya Timtim menjadi negara merdeka. Peristiwa ini tentu saja memukul perasaan Bapak, yang menghabiskan nyaris separuh hidupnya untuk melayani kebutuhan kesehatan tidak hanya bagi keperluan militer dan pegawai sipil. Namun terutama juga apa dan siapa yang selalu disebutnya dengan bangga sebagai "Sedulur2 Timor Timur".
Lepasnya Timor Timur, bagi bapak, teman-temannya sekantor dan barangkali warga TNI-AU se-Lanuma Husein Sastranegara merupakan pukulan ganda yang telak. Seolah2 hidup mereka dihancurkan dua kali oleh BJ Habibie yang dianggap Bapak Teknologi Indonesia itu. Setelah sebelumnya pangkalan ini seolah direbut, dijajah dan dianeksasi oleh IPTN. Hingga warga AURI malah kayak numpang di rumahnya sendiri. Eh kemudian Timor Timur malah dilepaskan begitu saja....
Terlalu banyak bukti ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan warga Indonesia juga pernah berkorban dengan tulus untuk Timor Timur. Bagi saya, yang kebetulan warga Jogja. Guru-guru saat saya sekolah di Marsudirini, tiba-tiba juga di-Timor-Timurkan. Banyak PNS di nyaris semua instansi juga demikian. Semua rata-rata karena beragama Katolik. Dengan harapan proses kemajuan di Timor Timur bisa diakselerasikan dengan cepat. Bahkan bus kota Tata yang semula menjadi kendaraan transportasi perkotaan pun di kota kami pun, juga dialihkan untuk memenuhi kebutuhan warga Timor Timur.
Dan apa balasannya: Indonesia justru dikenang sebagai penjajah yang laknat!
Semua tak lepas dari politik luar negeri double-standar dari Amerika Serikat. Negara inilah yang mula2 mendorong Indonesia untuk membantu Timor Timur agar tidak jatuh menjadi negara komunis. Tapi ketika persoalan itu bisa diatasi, dan kemudian peta politik global berubah dan komunisme Rusia dan Eropa Timur jatuh. AS berubah haluan berbicara tentang penegakan HAM. Indonesia berubah dari hero menjadi zero. Makanya di Jogja ada idiom abadi bahwa "USA KUWI ASU!"
Apakah Timor Timur menjadi lebih baik selepas dari Indonesia? Saya tak berhak menjawabnya. Tapi bapak saya selalu masih suka bercerita pada saya bagaimana kemudian kekayaan minyak Timtim yang sebenarnya tidak seberapa itu telah habis dirampok Ostrali. bagaimana sampai hari ini, Timor Lorosae tidak kunjung memiliki mata uang sendiri yang kuat dan kredible, hingga ia masih tetap pakai US Dollar. Bagaimana ini, bagaimana itu.
Mungkin demikianlah cara orang tua, seperti bapak saya, harus menghibur diri atas kepahitan masa lalunya....
Kemerdekaan yang sangat mahal! Tentu Timor Lorosae tak akan pernah bergabung lagi menjadi bagian dari Indonesia, juga buat apa! Tapi setidaknya, tak perlulah saling mengejek dan mencela yang seolah tak ada habisnya. Biarkan saling mengurus negara masing-masing. Toh keduanya punya kepahitan, kegetiran, dan penyesalannya masing-masing...
Tidak di tingkat negara, dan bangsa. Tapi terutama dari dan bagi masing-masing kepala yang sebenarnya tak ada urusannya dengan politik atau kekuasaan. Urusan yang sekedar manusia ke manusia: antar manusia....
Selamat Hari Kemerdekaan, ingatlah setelah 1999 itu Indonesia bergerak jauh lebih baik berlipat-lipat dari negara yang menganggap kita sebagai sekedar penjajah itu...
.
.
.
NB: Perkenankan saya menyimpan sedikit foto-foto memori, saat perayaaan keberangkatan Bapak ke Australia. Suka cita dan kebanggaan yang pendek, karena kemudian bapak ditarik paksa untuk masuk camp militer di Sala.
Barangkali perasaan bapak waktu itu, nyaris menjadi manusia merdeka. Ditarik balik untuk jadi... Ah sudahlah!
Sungkem kagem bapak di Bandung.