Sabtu, 27 Maret 2010

Jangan Gampang Bilang Sesat


oleh Arief Rahman

Sesat! Sebuah kata yang kini teramat gampang untuk diucapkan. Semacam serapah yang kerap ditudingkan kepada siapa saja yang dianggap menyimpang dalam mendefinisikan ajaran agama. Demikian, kata ini menjadi semakin sakti manakala dirapalkan oleh mereka yang ditokohkan atau difatwakan oleh suatu lembaga agama. Sakti, sebab ia mampu menggerakkan orang untuk melenyapkan yang lain tanpa tedeng aling-aling.



Allah dalam Islam, disebut dengan beragam Nama dalam agama lain. Yahwe, Hyang Widhi, Adi Buddha, Tao dan seterusnya adalah Nama Dia Yang Esa Itu, Tuhan segala agama. Apakah Allah dalam agama Islam lebih Ilahi daripada Allah yang disebut dengan pelbagai Nama dalam agama-agama lain?


Begitulah dalam memandang dunia, otak umat beragama, khususnya umat Islam dewasa ini sangat terpatri dengan dikotomi Ilahi dan non-Ilahi, Islami dan non-Islami. Segala sesuatu yang tidak ada dalam agama (tentunya lain orang lain pemahaman), maka serta merta difatwai non-Ilahi atau non-Islam, haram, sesat, bid’ah. Allah pun menjadi sempit ruang lingkupnya, karena pemahaman sempit semacam ini. Alhasil Allah yang ada di masjid, mushala, surau dan langgar “tampak berbeda” dengan Allah “yang sama” yang berada di gereja, pura, wihara, sinagog, kelenteng dan tempat-tempat ibadah umat lain. Ritual ibadah pun sudah dianggap tujuan, sementara ritual ibadah umat lain dipandang sebagai penyembahan terhadap berhala, thaghut, non-ilahi.


Renungkan, jika orang beranggapan bahwa Allah yang ada di masjid lantas berbeda dengan Allah yang ada di sinagog, lalu dengan dingin tangan dia membakar tempat ibadah itu, dimanakah Tauhid orang itu? Apakah ia beranggapan bahwa si Setan Kafir-lah yang ada di sinagog itu? Apakah ia tidak merasakan kehadiran Allah di tempat-tempat ibadah agama lain? Apakah gereja, sinagog, pura, wihara dan tempat-tempat ibadah lain itu non-Ilahi,non-Islami, alias setani ? Dimanakah keyakinan Tauhid kita bahwa Allah itu Esa, Wajah-Nya di Timur dan di Barat, di mana-mana itu?

Kebiasaan berpikir dualitas, membeda-bedakan ini Ilahi dan itu non-Ilahi, ini Islami dan itu non-Islami adalah akar syirik (menyekutukan Allah). Waspadalah dengan pikiran kita yang liar itu. Salah satu hadis mengatakan “syirik bekerja seperti semut hitam yang merayap di bebatuan di malam yang gulita”, tidak terasa tetapi berbahaya. Sebuah dosa besar dimana Yang Maha Pengampun pun sulit mengampuni.

Cara pandang dualisme mengingkari nilai-nilai agama yang sejatinya mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam surah al-Maidah (5:66) tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru.” Dari ayat ini jelas bahwa ukuran derajat seseorang dengan orang lain adalah “melakoni” ajaran agamanya masing-masing dengan sungguh-sungguh, bukan formalisme agama apa yang dianut. Melakoni ajaran agama berarti mewujudkan kesalehan sosial dalam pelayanan terhadap sesama dengan penuh kasih tanpa embel-embel, tanpa membeda-bedakan, tanpa dualisme.


Sesat! Sebuah kata yang kini teramat gampang untuk diucapkan. Semacam serapah yang kerap ditudingkan kepada siapa saja yang dianggap menyimpang dalam mendefinisikan ajaran agama. Demikian, kata ini menjadi semakin sakti manakala dirapalkan oleh mereka yang ditokohkan atau difatwakan oleh suatu lembaga agama. Sakti, sebab ia mampu menggerakkan orang untuk melenyapkan yang lain tanpa tedeng aling-aling.

Masih segar dalam ingatan, Lia Aminuddin yang divonis bui dua tahun dan perlakuan anarkis kelompok tertentu atas pengikut Ahmadiyah, dan belakangan ini begitu maraknya perusakan tempat ibadah di pelbagai daerah telah memberikan suatu pelajaran penting bagi kita semua. Betapa negara benar-benar tidak berdaya dalam menjamin kebebasan beragama. Negara seolah-olah melakukan pembiaran terhadap membuncahnya kultur takfir (pengkafiran) di dalam masyarakat.Bahkan seakan negara menempatkan dirinya untuk menjadi penilai terhadap keyakinan agama dan sistem kepercayaan tertentu. Menilai keyakinan agama tertentu, bukanlah wewenang negara atau lembaga manapun. Itu tidak sah sama seperti tidak sahnya kita memvonis salahnya selera orang lain.

Dalam soal agama, tugas pemimpin dan kewajiban negara sebagai organisasi in optima forma bukanlah menilai, melainkan memfasilitasi tempat seluas-luas dan seadil-adilnya bagi segala bentuk ekspresi keberagamaan yang berbeda-beda sehingga setiap warga negara dapat melakoni kehidupan keberagamannya dengan tenang dan aman.

Bergulirnya demokrasi di negeri ini, berdampak ramainya lalu lintas ide-ide baru dan pemikiran yang segar. Yang baru dan segar itu tidak saja merambahi sains, tetapi juga ranah agama. Ajaran agama mulai ditafsirkan dan didefinisikan kembali dengan semangat jaman bagi kemaslahatan umat manusia. Kenyataan ini tak bisa ditampik, sebab ia mesti dilihat sebagai buah dari pasar bebas ide yang berkembang di dalam masyarakat.

Nanti kita akan melihat bahwa bertahan atau tidaknya sebuah produk tafsiran baru atau redefinisi ajaran agama sebagai hasil pengerahan akal budi, kesadaran, dan pencerahan pada gilirannya akan sangat bergantung pada seberapa besar manfaatnya dalam memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan kemampuannya dalam menjawab tantangan jaman.

Artinya, tanpa harus dilarang-larang, sistem perdagangan ide dalam kerangka pasar agama itu sendirilah yang akan menentukan apakah mereka akan bertahan atau justru akan punah. Kesadaran seperti itu sangat penting bagi kita agar sikap toleran dan ruang ekspresi pelbagai corak keberagamaan tetap terjamin. Kemudian berkembang menjadi sikap apresiatif terhadap keyakinan agama dan kepercayaan yang berbeda. Maka sepanjang keyakinan agama dan kepercayaan tersebut tidak menimbulkan penganutnya berperilaku tidak terpuji dan kriminal yang mengacaukan tatanan sosial, tidak ada yang perlu diresahkan, melainkan mesti dirayakan.

Tidak dipungkiri, tafsiran atas agama yang beragam ini secara teologis acapkali mencuatkan perdebatan. Tapi, persoalan teologis bukanlah urusan negara. Pun pengalaman spiritual seseorang atau sekumpulan orang-orang tertentu yang melahirkan tafsir baru atas agama tidak bisa dinilai sebagai kegiatan melecehkan, menghina, dan menodai agama. Dalam aras ini, setiap individu memiliki keunikan tersendiri yang khas, dan alangkah anehnya jika kekhasan ini dipaksa diseragamkan mengikuti selera lembaga tertentu, lebih parah lagi jika dianggap sesat hanya karena tidak selaras dengan pemahaman mainstream.

Keadaan yang tidak sehat ini harus segera dibenahi. Mestinya Negara yang berlandaskan Pancasila ini tidak berpihak pada paham agama dan kepercayaan tertentu, ia bisa tetap menjaga netralitas dan menjamin terbukanya ruang berekspresi bagi tiap-tiap warga negara, dari segala agama dan aliran. Falsafah bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika menyadarkan kita bahwa apa yang kelihatannya berbeda ini, sesungguhnya satu dan sama. Tan hana dharma mangrwa, tidak ada dualitas dalam Kebenaran.


Sangat disayangkan, cara berpikir dualitas yang senantiasa membedakan ini Ilahi dan itu non-Ilahi, yang membeda-bedakan Tuhan agama yang satu dengan lainnya telah merasuki beberapa petinggi dan tokoh lembaga agama di negeri ini. Jika seorang rakyat jelata berwawasan cupet seperti itu, mungkin akibatnya tidak terlampau signifikan. Mungkin hanya merugikan dirinya sendiri. Tetapi jika seorang petinggi negara sudah dualisme dalam cara pandangnya, maka yang celaka bukan saja dia sendiri, bahkan segenap rakyat yang dipimpinnya.


Sebagai penutup, berikut ini saya sajikan sepenggal contoh dalam hidup sehari-hari tentang beberapa petinggi negara, tokoh agama dan warga masyarakat kita yang terperangkap cara pandang dualitas itu, sebuah “delusi” yang tidak mereka sadari. Saya kembalikan kepada pembaca untuk mencermati dan menemukan dimana letak kekacauan cara pandang mereka. Saya berharap, semoga cara pandang demikian tidak menulari kita segenap anak-anak bangsa yang di dadanya masih memiliki cinta terhadap Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya.

(1) Ketika memberikan pendapatnya soal Ahmadiyah, Fulan, seorang petinggi negara kita mengatakan,"Jika menghendaki menjadi bagian dari komunitas Muslim, sebaiknya mengakui nabinya adalah Muhammad dan bukan Mirza Ghulam Ahmad. Jika Mirza tetap menjadi nabi mereka, Ahmadiyah bisa mendeklarasikan keluar dari Islam. Jika keluar dari Islam, maka umat Islam harus mendukung keberadaan mereka. Umat yang lain yang BERBEDA TUHAN dengan umat Islam kan tidak ada masalah."

(2) Fulan, seorang tokoh agama yang terkenal, memandang bahwa demokrasi sebagai kafir, tidak Islami, tidak sesuai dengan sunnah Nabi. (Catatan saya: paradoksnya yang menggelikan adalah di negeri yang demokratis seperti Indonesia ini justru dia bisa mendirikan organisasinya dengan bebas yang tak pernah bisa ia dapatkan di “negeri impian yang menganut Allah-krasi yang konon islami” itu)

(3) Fulan, tokoh agama yang sama beranggapan bahwa masalah kepemimpinan bukan soal duniawi, tetapi masalah keagamaan. Di sisi lain ia mengatakan sistem pendidikan ala madrasah yang mengenal kelas-kelas itu tidak bisa dikatakan bertentangan dengan sunnah Nabi, sebab sistem itu menyangkut urusan duniawi, bukan masalah ibadah.

(4) Pada suatu kesempatan, gerombolan radikal menunjukkan arogansinya dengan bersepeda motor keliling kota tanpa mengenakan helm. Para Fulan menantang aparat keamanan atas nama hak manusia atau agama mereka, dengan mengatakan “kopiah kami ialah identitas keagamaan kami”.

(5) Dalam sebuah seminar, Fulan, seorang cendekiawan ternama menolak terminologi hukum karma ketika seorang pembicara lain mengaitkannya dengan problem bangsa ini. Fulan membantah “Itu adalah Hukum menurut Teologi Hindu dan Buddhis, tidak bersifat universal. Janganlah dikaitkan dengan perkara non Hindu dan non Buddhis!”

(6) Fulan, pejabat daerah menolak memberikan izin pembangunan Gereja dan Pura walau mereka telah mengumpulkan tanda tangan sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, komunitas masyarakat Hindu tak bisa membangun Pura di kota tertentu walau mereka sudah memenuhi kuota jumlah tanda tangan yang dibutuhkan. (Catatan saya: berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dua Menteri yang dikeluarkan pada 21 Maret 2006 silam, kelompok agama yang hendak membangun tempat ibadah wajib membubuhkan minimal 90 tanda tangan dari umatnya dan 60 tanda tangan dukungan pembangunan dari pemeluk agama yang berbeda di lingkungan tersebut, serta menyertakan surat persetujuan dari kantor urusan agama setempat)

Bandingkan contoh di atas dengan lakon nyata berikut ini yang bisa menjadi sumber inspiratif bagi kita untuk beringsut dari cara pandang dualisme menuju Tauhid dalam pengertian yang sesungguhnya.

(1) Dalam Tarikh Ibn Khaldun dijelaskan, ‘Umar ibn Khathtab datang ke Syam guna mengikat perjanjian damai dengan penduduk Ramalla. Umar datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan yang (sebagian) berbunyi: “Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Umar ibn Khaththab kepada penduduk Ailea (Baytul Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.”

Umar ibn Khaththab masuk Baytul Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah), berhenti di plazanya. Waktu sembahyang datang, ia katakan pada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak: “Sembahyanglah di tempat Anda.” Umar menolak, lalu sembahyang di anak tangga yang ada pada gerbang Gereja, sendirian. Umar yang hidup pada masa Rasullullah, melakukan lompatan-lompatan intelektual yang melampaui zamannya. Dan banyak contoh kasus di mana Umar menimbulkan kontroversi pada masanya.

(2) Saking intensifnya mengikuti dialog lintas iman, K.H.Abdul Muhaimin, Pengasuh PP Nurul Ummahat, Kota Gede, Yogyakarta ini kerap shalat di Katedral. “Kalau saya nginep di Katedral, shalatnya yo di Katedral,” kata mantan aktivis GP Ansor ini. “Di Yogya sudah tahu semua, kalau waktu shalat, saya akan shalat. Ju’ilat al-ardhu masjidan. Bumi seluruhnya dijadikan sebagai tempat shalat,” katanya mengutip sabda Nabi Saw. “Tapi saya tidak shalat di altar gereja,” jelas Anggota Dewan Kebudayaan DIY ini.

Pandangan-pandangan keagamaan yang memberikan ruang kepada toleransi dan apresiasi tampaknya semakin penting disosialisasikan. Hambatan teologis seyogianya bisa diatasi dalam upaya silaturahim antar umat beragama. Dalam surah Ali Imran (Q.S. 3:64), Al-Qur’an jelas-jelas menganjurkan kita mencari titik temu (kalimat-un sawa’). Bukan membesar-besarkan perbedaan yang ada. Selaras dengan ini, Begawan Naradha, seorang resi yang hidup ribuan tahun yang lalu menganjurkan agar orang harus “cuek” (indifferent) terhadap perbedaan yang ada, sehingga melampaui dualitas. Itulah Tauhid yang sesungguhnya.[]

arief rahman
Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar