Selasa, 04 Maret 2025

"INVISIBLE AND ASYMMETRIC WAR" SUDAH DIMULAI, KENCANGKAN SABUK PENGAMAN!

 Tulisan di bawah ini, saya copy paste dari akun facebook Fadly Abu Zayyan.


 

Kita harus mencoba melihat segala sesuatu dari perspektif yang luas. Apalagi jika itu terkait dengan komoditas yang saat ini menjadi isu global, dalam hal ini adalah energi. Termasuk terkuaknya kasus korupsi yang melanda Pertamina.

 

Kasus ini lagi-lagi menimbulkan polarisasi ke arah politik domestik. Padahal perspektifnya jauh lebih luas dari itu. Publik kubu pro pemerintah seolah menyalahkan Ahok yang pernah menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, bahwa selama ini ngapain aja? Sebaliknya kubu satunya, mencoba mengarahkan seakan korupsi itu terjadi akibat ketidakmampuan Jokowi dalam mengelola negara yang kebetulan terjadi pada era pemerintahannya.

 

Dalam status singkat kemarin, sudah saya katakan bahwa kita sedang melawan Rezim Fosil. Dan yang terungkap pada kasus Korupsi Pertamina itu hanya proxy nya. Kenapa saya katakan demikian? Baiklah akan saya jelaskan pelan-pelan karena masih terkait dengan tulisan-tulisan lama saya.

 

Jika masih ingat dengan tulisan saya 5 tahun lalu pada 18/7/2020 dengan judul: "Cara Membunuh Thanos" yang intinya, Nafas Thanos adalah Uang dan Darahnya adalah Minyak (Fosil). Dengan kata lain, dalam tubuh Thanos itu terdapat Rezim Bankir dan Rezim Fosil. Maka untuk membunuhnya harus menghentikan aliran keduanya.

 

https://www.facebook.com/share/p/1646RffZUv/

 

Pendirian Danantara, Bank Emas, dan diungkapnya gunung es korupsi di Pertamina, termasuk juga Karen Agustiawan mantan Dirut Pertamina yang vonisnya juga diperberat, itu semua ada benang merahnya. Dan semuanya bermuara pada "Infinity Stone" milik Thanos. Apakah itu? Ya, BlackRock!

 

Pertama kita mulai dari Danantara. Terdapat tulisan saya tahun lalu, 22/11/2024 yang berjudul: "Danantara Adalah Penantang BlackRock".

 

https://www.facebook.com/share/p/1DDBfP2XQy

 

Intinya adalah Danantara berpotensi menggeser BlackRock sebagai lembaga investasi terbesar di dunia. Mengapa saya begitu optimis? Jika kita membaca tulisan "Cara Membunuh Thanos" 5 tahun lalu itu, sebenarnya saya sudah menyebut 3 negara di Asia yang menjadi proxy Thanos. Yaitu Saudi Arabia, Hongkong, dan Singapura. Nah, 3 negara inilah pemilik SWF (Sovereign Wealth Fund) terbesar di Asia yang terafiliasi ke BlackRock. Tak cukup di situ, dana yang dikelola oleh mereka, terutama di Singapura dan Hongkong, ternyata banyak yang berasal dari atau milik WNI. Nah lo! Dengan adanya SWF Danantara, tidak menutup kemungkinan dana yang mereka kelola akan pulang kampung ke Indonesia. Itu pointnya!

 

Selanjutnya, apa pula hubungannya dengan Bank Emas? Dalam sejarah sejak republik ini berdiri, baru pertama kali kita memiliki Bank Emas. Padahal negara ini penghasil emas terbesar ke 4 di dunia. Konyol bukan? Ya konyol lah! Wong setengah abad lebih hasil tambang emas dari Gunung Papua, hampir seluruhnya diboyong ke luar negeri! Dan selama itu pula kita dikadali melalui cara "Muslihat "Dalam Konsentrat" sebagaimana saya ulas pada tulisan 8 tahun lalu, 23/2/2017. Pada tulisan itu, saya juga menyinggung kecurangan dalam sektor pertambangan migas.

 

https://www.facebook.com/share/p/18pjvuJd6a/

 

Dengan adanya Bank Emas, maka emas di dalam negeri baik itu dari hasil tambang ataupun milik masyarakat tidak akan lari ke luar negeri lagi. Ini sangat penting, kenapa? Tatanan moneter dunia saat ini mengarah kepada revolusi dan kembali pada solid collateral atau kolateral berbasis emas. Dan itu sudah dimulai oleh Rusia di mana semua transaksi di negaranya, harus berdasarkan dengan nilai emas. Sebagaimana ulasan saya pada 3/4/2022 yang berjudul:

"Rusia telah kembali kepada Dinar dan Dirham"

 

https://www.facebook.com/share/p/1BCoYHqvpK

 

Terkait Revolusi Keuangan dan Energi Global, Indonesia memegang peran penting sekaligus sebagai tuan rumah bagi keduanya. Menjadi pemilik cadangan Solid Collateral terbesar di dunia, sekaligus pemilik cadangan mineral nikel sebagai kebutuhan bahan baku energi terbarukan. Itulah kenapa kita terus-menerus diganggu, karena jika hal ini terwujud maka tamatlah riwayat Thanos yang dalam serial Marvel disebut Endgame.

 

Pejabat Pertamina yang korup itu hanyalah proxy bagi mereka. Ini bisa kita lihat pada kasus Karen Agustiawan, yang sebenarnya juga menjadi hamba BlackRock sebagaimana tulisan saya pada 18/5/2024 yang berjudul:

 

Hamba BlackRock di Pertamina

 

https://www.facebook.com/share/p/18FWj9YexM

 

Dalam kasus Karen, ia didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone yang merupakan salah satu pemegang saham pada Cheniere Energy dengan tujuan mendapat jabatan sebagai Senior Advisor Private Equity Group Blackstone. Dan tahukah kita siapa itu Blackstone? Ia adalah perusahaan investasi yang mana pada tahun 1995, Blackstone menjual sahamnya di BlackRock kepada PNC Financial Services seharga $250 juta.

 

Sementara untuk kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga ini justru lebih parah lagi. Mencampur bahan bakar dengan oktan yang rendah itu, tak sekedar bermotif mengeruk keuntungan jika jumlahnya diakumulasi, kerugian negara mencapai hingga Rp.1.000 triliun. Dan yang dinikmati oleh para tersangka itu, meski tampak besar, tapi hanyalah sebagian kecil saja. Yang paling diuntungkan adalah para Godfather Rezim Fosil di belakang mereka. Mengingat bahan bakar dengan kadar oktan di bawah 90 sudah tidak dipakai di negara lain.

 

Namun juga ada motif lain yang jauh lebih besar dan tidak kita sadari yaitu, untuk menggagalkan komitmen Indonesia dalam hal menurunkan emisi karbon. Semakin rendah kadar oktan, maka ia akan menghasilkan emisi karbon lebih tinggi.

Sebagai tuan rumah penghasil bahan bakar hijau, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan energi terbarukan. Namun jika kita tidak mampu menekan emisi karbon, maka akan ada beberapa konsekuensi dari sisi regulasi yaitu: Peninjauan kembali komitmen Perjanjian Paris, dimana Indonesia telah menandatangani kesepakatan tentang Perubahan Iklim pada tahun 2015 itu.

 

Akibat tidak mampu menekan emisi karbon, bisa juga terjadi pengawasan lebih ketat dari PBB dan Bank Dunia, bahkan mungkin pengenaan sanksi ekonomi dari negara-negara lain atau organisasi internasional. Dan yang paling krusial adalah, kehilangan kesempatan Investasi karena ini menyangkut trust atas komitmen sebuah negara.

 

Kenapa kehilangan kesempatan investasi bisa dianggap paling krusial? Karena ini berkenaan dengan arus dana yang akan masuk. Selain untuk memperkokoh eksistensi Danantara, juga bisa memperkuat nilai tukar mata uang kita.

 

Itulah kenapa saya katakan perang sudah dimulai? Ya, perang ini memang tidak terlihat, tapi sangat bisa kita rasakan. Inilah yang dinamakan "Invisible and Asymmetric War".

 

Baru saja kita meluncurkan Danantara dan Bank Emas serta bersih-bersih para mafia dan proxy-nya, langsung diserang oleh propaganda bahwa Rupiah akan menjadi mata uang terburuk di Asia. Hal itu dilontarkan oleh Goldman Sachs. Siapakah dia? Siapa lagi kalau bukan sekutu dekat BlackRock!

 

Larry Fink, CEO BlackRock pernah bekerja di Goldman Sachs sebagai kepala departemen fixed income sebelum bergabung dengan BlackRock. Itulah kenapa Goldman Sachs telah bekerja sama dengan BlackRock dalam berbagai kesempatan.

 

BlackRock adalah "Infinity Stone"

 

https://www.facebook.com/share/v/1DHqRfqqbV/

 

Dari pemaparan ini semua, semoga kita sadar dan bersatu bahwa lawan kita bukan kaleng-kaleng. Itulah kenapa Presiden Prabowo Subianto juga menggandeng Presiden Joko Widodo termasuk Presiden SBY untuk bertarung melawan Thanos. Sementara bagi mantan presiden yang gampang tantrum, biarlah sibuk dengan urusan kandang dan sekjennya. Karena kalau diajak, istilah Orang Jawa bilang "malah nyrimpeti". Paham ya Mak?!

🫢

 

*FAZ*

 

PENGHEMATAN & RASIONALISASI: TREND GLOBAL SAAT INI

 


Bukan kebetulan, bila di Indonesia yang terpilih menjadi presiden adalah Prabowo Subianto, sedang di Amerika Serikat adalah Donald Trump. Keduanya berlatar belakang berbeda, tapi kok bisa memiliki gagasan dan kebijakan yang sama dalam mengelola anggaran negara. Mereka melakukan penghematan besar2an, dalam nyaris semua bidang. 

 

Penghematan yang harus dimaknai sebagai rasionalisasi. Keduanya harus hadir secara bersama, karena disinilah arti penting kebijakan yang harus berdasar argumentasi yang logis.

 

Padahal bila melihat latar belakang pribadi keduanya berbeda, walau ujungnya adalah sama. Prabowo bermula dari militer, sempat dianggap "rising star", kemudian dia dipecat. Lalu loncat ke sektor ekonomi untuk "memperkaya diri". Istilah yang tidak tepat, karena pada dasarnya ia sudah kaya dari lahir, karena "trah keluarga" yang memang sudah makmur-sejahtera dari sejak dari era kakeknya.

 

Hal ini yang sebenarnya membedakan ia dengan siapa pun calon presiden di Indonesia. Tak ada yang memiliki rekam jejak sepanjang, sekaligus sekontroversial Prabowo. Ia anak begawan ekonomi, cucu pendiri bank rakyat, dan mantu seorang presiden. Jadi, ketika ia ngotot mencalonkan diri tanpa lelah menjadi presiden. Keterpilihannya adalah masalah waktu. Sesuatu yang diperlancar dan dipermudah, justru oleh perilaku bodoh, konyol, dan serakah PDI-P dengan Megawati-nya.

 

Ikwal Trump, pertanyaannya adalah kenapa ia bisa terpilih lagi? Realitasnya, pada Pilpres yang lalu semestinya ia bisa menang lagi, kalah pun sangat tipis dan mengandung unsur perdebatan tak kunjung habis. Ia dicurangi justru karena ia didukung oleh intelejen Rusia. Aneh tapi nyata. Penggantinya Joe Biden terbukti kemudian memerangi Rusia dengan melibatkan sekutu Eropa-nya. Hanya untuk mendukung seorang badut bernama Zeliensky dari Ukraina.

 

Konon sampai awal tahun 2025, bantuan untuk Ukraina sudah mencapai 100 M US Dollar. Suatu jumlah yang gila untuk ukuran negara super power yang makin banyak warganya tidur di jalanan, karena terusir dari rumahnya.

 

Di titik inilah, lalu muncullah program penghematan atau tepatnya rasionalisasi anggaran nyaris di seluruh penjuru dunia. AS hanyalah faktor pembuka, disusul oleh Jepang, lalu meluas ke seluruh penjuru Eropa dan tak terkecuali Indonesia. Di AS, konon yang paling menghebohkan tentu saja adalah penutupan USAID. Saya mengikuti secara cermat, sisi positif dan negatifnya.

 

Kita mulai dari sisi negatifnya dulu, konon banyak anggaran kemanusiaan yang berdampak nyata. Seperti di bidang kesehatan terutama di negara miskin, sperti pencegahan wabah penyakit menular atau tidak dibiayai USAID. Kebutuhan air minum untuk daerah kering di seluruh penjuru dunia, juga dibiayai oleh USAID. Pun pendidikan gratis, termasuk kampanye untuk perlindungan hak kaum dan kelompok minoritas, kampanyenya juga dibiayai USAID.

 

Tak terbayangkan, berapa banyak program kemunisiaan berikut lembaga pengampu nya tutup akibat kebijakan ini.

Sedang sisi positifnya adalah berkurangnya campur tangan politik luar negeri AS melalui lembaga2 cangkangnya yang beroperasi di seluruh dunia. Apa yang mereka sebut sebagai upaya "mendestabilisasi suatu rezim dengan jalan demokrasi". Intinya tak boleh ada sebuah negara yang boleh dipimpin oleh satu rezim yang terlalu lama berkuasa. Pun jika ia sudah sangat pro-AS.

 

USAID dalam hal ini tangannya memang berlumuran darah dimana2. Jangan lupa, dalam kasus Indonesia: Peristiwa Mei 1998 di Jakarta adalah salah satu yang paling pantas dicatat. Bermula dari runtuhnya rupiah, yang lalu keuntungan yang diperoleh dari permainan valas yang dilakukan oleh George Soros digunakan untuk memicu kerusuhan dimana2. Belakangan diketahui "modal kerja" Soros diperoleh dari bantuan dari USAID.

 

Padahal kalau dipikir kurang pro bagaimana Suharto terhadap AS. Ia lah tokoh yang menjadi kunci kejatuhan Sukarno, yang lagi2 adalah permainan kotor barat di Indonesia. Hanya karena dianggap kelamaan, ia dipaksa jatuh juga.

Di titik inilah, ide Trump tiba2 "seolah" bersatu dengan Prabowo. Karena bagaimana pun, Prabowo adalah salah satu korban atau tepatnya yang dikorbankan oleh Peristiwa Mei 1998.

 

Di mata saya, agak ajaib dan saya terkejut bahwa langkah Prabowo melakukan penghematan anggaran, justru ia lakukan setelah membentuk pemerintahan yang gemuk dan jauh dari kompetensi. Dua sisi yang tidak lumrah! Mustinya, ketika ia berhemat, ia membuat tim yang ramping dan kompeten! Itu mustinya, tapi tidak!

 

Tapi demikianlah, ilmu politik murni itu sekarang sudah punah, sebagaimana ilmu ekonomi murni. Hingga kemudian yang hadir adalah ilmu ekonomi-politik. Dua sisi yang harus hadir harus selalu bersamaan. Ketika ekonomi yang ambruk akan diperbaiki, maka stabilitas politik harus dijaga tetap tenang! Dalam hal ini, ia hanya mengekor ide Sukarno ketika, menghadapi kehancuran ekonomi dengan membentuk Kabinet Seratus Menteri.

 

Trump sebagaimana juga Prabowo, sedang mencoba membaca ulang trend yang terjadi sebelumnya dan menera apa yang seharusnya dilakukan.

 

AS sesungguhnya justru sedang mengalami masa pasang politik luar negeri yang sedang bagus. Di Eropa ia bisa menunjukkan diri sebagai penguasa dan pemerintah sekaligus. Ia bisa seenaknya mengatur sekutunya untuk tunduk, walau dengan resiko menghancurkan kondisi internal masing2 negara. di Timur Tengah, ia bisa sesumbar untuk merubah Gaza sebagai real estate internasional, setelah Israel bisa memegang kendali penuh atas Palestina.

 

Rezim Assad di Suriah yang selama ini jadi "slilit" berhasil dijatuhkan, jangan heran sebentar lagi Iran juga akan takluk. Saudi sudah meninggalkan mahzab ortodok wahabi-nya, ketika minyak sudah tak lagi populer. Ia mempercatik dirinya sebagai "surga dunia" dengan berbagai tawaran mimpi kemewahan. Lihatlah bagaimana ia membangun kota supra modern Iom dan liga sepakbola yang norak tapi bergelimang uang dan bintang.

 

Ketika semua sudah Amerika pada waktunya. Hingga tak lagi perlu USAID dan sejenisnya. AS akan menjadi "great again" dengan memperbaiki dirinya menyambut abad antariksa yang butuh duit luar biasa besar. Menjelaskan kenapa Elon Musk jadi tangan kanannya, hingga disebut sebagai "the real president".

 

Kembali ke Prabowo, sisi baiknya adalah ia memahami salah satu langkah pertama mengurangi korupsi adalah dengan memangkas anggaran. Anggaran yang selama ini memang tak perlu dan mendesak2 amat. Sesuatu yang menyakiti rakyat, yang selama ini hanya dinikmati oleh jajaran birokrasi. Perjalanan dinas yang tidak perlu, biaya makan minum yang makin tak terkontrol, acara2 kedinasan yang tak ada sangkut pautnya dengan pelayanan publik, berbagai proyek yang tak jelas kebermanfatannya.

 

Itulah sesungguhnya, penghematan dan rasionalisasi yang dijalankan Prabowo. Bukan melulu karena program tolol makan bergisi gratis untuk anak2 sekolah. Yang diprogramkan, dikampanyekan, tapi gak jelas dari mana anggarannya itu. Bukan melulu karena utang menggunung dan jatuh tempo. Bukan karena realitas ekonomi global melambat. Bukan juga karena tidak lagi terobsesi oleh kemajuan China, yang anehnya diikuti kesadaran butuh kemajuan lain di seluruh muka dunia.

 

Saya berharap langkah selanjutnya adalah pemberantasan korupsi yang makin masif. Yang tentu saja harus dimulai dari "pilar korupsi" yang tak tersentuh itu! Banyak masyarakat yang tidak tahu makna kasus Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto itu apa? Dan kemana ujungnya, kok seolah2 digarap tapi digantung. Dan dijadikan mainan yang berlama-lama.

 

Sangat sederhana, sedang terjadi tawar menawar politik untuk mensahkan undang-undang perampasan aset. Kita tahu, satu2nya partai yang menolak? PDI-P. Semoga, dihukum atau tidak Hasto, UU itu segera disahkan!

 

Dunia sedang berubah, pun Indonesia. Setelah era Jokowi yang ngebut membangun infrastruktur, memang semestinyalah era Prabowo dimulai dari merekonstrukti sisi non-material. Dengan langkah pertama rehabilitasi mental birokrasi-nya. Tidak memanjakan dengan anggaran yang tak perlu2 amat. Syukur2, bila kelak dilakukan perampingan birokrasi secara besar2an dengan menyisakan manusia2 yang berintegritas. Bukannya malah memperpanjang masa dinas mereka yang bermental korup dan oportunis.

 

Trend dunia memang mengarah pada sisi anomali: mereka yang selama ini dilecehkan dan direndahkan, justru memperoleh kesempatan untuk mengkoreksi yang salah dan menguatkan hal yang sudah baik.

 

Dalam hal ini, Trump dan Prabowo memang berada pada panggung yang berbeda, tapi dengan semangat dan cara berpikir yang sama!

.

.

.

NB: Saya mengenal Prabowo, jauh waktu saat saya masih kuliah di UI. Saya termasuk angkatan pertama yang ditarik2 untuk masuk dalam lingkarannya. Bukan karena apa2, saya bekerja di lembaga, dimana direktur saya termasuk konsultan politik pertama Prabowo di sekitar awal 1990-an. Tentu saja saya tidak tertarik, walau tentu saja banyak yang terangkut di dalamnya.

 

Fadli Zon adalah salah satunya. Mengherankan bila ia bisa bertahan lebih dari 30 tahun tetap setia menemani Prabowo. Walau saya dengar tak sekali dua ia digamparin.

 

Ketika dalam beberapa kali kontestasi Pilpres, banyak teman2 dekat yang saya kenal baik menjadi pendukung Prabowo. Mereka berkali2 mendesak saya untuk mendukung Prabowo, tentu saya tolak. Karena saya melihat sisi baik Jokowi, dan saya masih tetap melihat sisi baiknya hingga saat ini. Sisi baik terakhirnya, ketika ia mengambil keputusan berat tapi rasional, untuk memberi peluang Prabowo sebagai Presiden. Dan bukan saja berhasil, tapi telak.

 

Lalu ketika saya saya menyadari bahwa salah satu masalah terbesar negeri terletak pada kekuatan yang selama ini menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas nasionalisme dan penjaga demokras. Padahal keduanya justru digunakan untuk korupsi dan sekedar memperkaya diri. Maka saya merasa, walau secara generik itu adalah rumah terakhir saya, saya memilih untuk ikut rombongan yang "menghukum" partai ini.

 

Dan sejauh yang saya lihat, upaya menjatuhkannya berhasil, tapi untuk menyadarkannya gagal total.

 

Di usia renta saya secara fisik dan mental ini, saya memilih untuk berpikiran dan berprasangka baik. Selalu sedih, ketika mereka yang merasa memperjuangkan diri melalui saluran apa pun itu, justru melakukan kampanye anarkis secara tak mereka sadari. Setelah mengudarkan slogan Darurat Indonesia, Adili Jokowi, lalu muncul Indonesia Gelap, lalu terakhir trend "kabur saja dulu". Tentu saja membuat saya sedih.

 

Pilihan "kabur" sudah jelek, teks "saja" menunjukkan ketidak jelasan pilihan, sedang "dulu" menunjukkan ketidakyakinan!

 

Generasi muda yang bilang "kabur saja dulu", selamanya akan selalu kabur dari masalah. Selamanya jadi layang2, tampak indah tapi cuma jadi remah2 ketika ia putus dan jadi rayahan. Sebagai orang tua, yang menyadari pendidikan tinggi di Indonesia seburuk2nya tempat belajar, dan memilih mengkuliahkan anak2 di luar negeri. Tentu teks kabur saja dulu itu selain bodoh, konyol, juga sangat menyesatkan.

 

Di sini arti pilihan diksi dan kecerdasan literasi, setiap patah ucapan katamu. Apalagi tulisanmu adalah doamu. Saya meyakini, untuk semakin berdamai dengan segala hal baik, seburuk apa pun kondisinya. Berprasangka poitif dan membantu untuk tetap menjadi baik.

 

Bila saya bisa menyebarkan rasa welas asih, rasa cinta, peduli secara tulus, dan hormat secara sedehana. Menurut saya masih ada alasan dan harapan hidup yang lebih baik.

 

Bersikap hemat dan bertindak rasional adalah awal langkahnya.

 

=====================

 

Tulisan saya copy paste dari wall facebook mas Andi Setiono.

 

NEKOLIM vs. KEBERLANJUTAN

 Tulisan ini berupa copas dari akun MAM di facebook, sedangkan foto kuambil dari akun mbak RRM.

 


NEKOLIM vs. KEBERLANJUTAN 
 
Katakanlah, saya bukan berpihak pada pemimpin lama. Saya bukan berpihak pada pemimpin baru. Saya bukan berpihak pada pemimpin utopis, yang pandai berkata-kata. Saya tidak juga berpihak pada oposisi.
Saya berpihak pada keberlanjutan. Saya berpihak pada oposisi yang memiliki pandangan kritis, sambil menyumbang pada keberlanjutan. Saya berpihak pada pemimpin lama yang mengambil sikap menguatkan pemimpin baru. Saya berpihak pada pemimpin baru yang menghormati dan menghargai pemimpin lama. Karena kemajuan tidak tercipta dari siklus penghancuran yang berulang, tetapi dari kesinambungan, di mana setiap generasi memperkuat apa yang telah dibangun sebelumnya.
 
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sejarah menunjukkan bahwa keberlanjutan adalah sesuatu yang sulit diwujudkan, karena rakyat terus digiring untuk percaya bahwa setiap era baru harus dimulai dengan menghancurkan era sebelumnya. Seakan-akan, bangsa ini harus selalu memulai dari nol, seakan-akan pemimpin lama adalah kegelapan mutlak yang harus dihapus, dan pemimpin baru adalah cahaya suci yang turun untuk menyelamatkan negeri.
 
1
Pada penjajahan gaya lama, penjajah mengirimkan tentara ke tanah jajahan. Divide et impera diterapkan, mengadu domba kelompok-kelompok lokal agar saling melemahkan. Para pemberontak dibasmi, yang bersikap kritis dipenjara, dan yang melawan dihukum dengan kejam. Sumber daya alam dieksploitasi secara langsung, dan masyarakat pribumi dipaksa tunduk melalui dominasi militer serta sistem kolonial yang menindas.
 
"Inggris kita linggis, Amerika kita seterika", teriak Bung Karno. Saya takjub, Bung Karno dengan jernih melihat, telah diciptakan strategi baru setelah PBB dibentuk. 
 
Sejak Indonesia merdeka, Bung Karno sudah melihat transformasi model penjajahan dari kolonialisme klasik menjadi nekolim—neokolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru. Dalam model ini, penjajah tidak perlu lagi mengirimkan pasukan ke tanah jajahan. Mereka cukup memanipulasi keadaan dari jauh. Warga asli di tanah jajahan dibenturkan satu sama lain, menciptakan konflik internal yang melemahkan bangsa itu sendiri. Kekacauan ekonomi dan sosial sengaja diciptakan agar bangsa yang baru merdeka tetap bergantung pada kekuatan luar. Proxy war menjadi strategi utama: perang dilakukan tanpa perlu intervensi langsung, cukup dengan mengendalikan elite lokal, sistem keuangan, dan aliran informasi.
 
Di era modern, penjajahan semakin canggih. Salah satu senjata utamanya adalah Firehose of Falsehood, strategi yang membanjiri publik dengan kebohongan secara terus-menerus hingga batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Media dikuasai atau diarahkan agar hanya menyajikan informasi yang menguntungkan kepentingan tertentu. Tidak perlu lagi memalsukan berita secara langsung—cukup ciptakan narasumber yang bisa berbohong, dan media massa tetap bisa menjaga klaim integritasnya dengan menuliskan “menurut narasumber.” Dengan cara ini, kebohongan tetap dapat diedarkan secara luas tanpa melanggar etika jurnalistik secara eksplisit.
 
2
Lebih jauh lagi, rakyat diarahkan untuk menjadi anti-keberlanjutan. Setiap pergantian pemimpin tidak boleh melanjutkan yang sebelumnya, tetapi justru harus menghancurkannya. Warisan pembangunan, kebijakan jangka panjang, bahkan stabilitas sosial—semuanya harus di-reset, seakan-akan pemimpin sebelumnya adalah kegelapan mutlak yang harus dihapus dari sejarah.
 
Lihatlah bagaimana Sukarno dijatuhkan dan dihapus dari narasi resmi pada era Suharto. Orde Lama digambarkan sebagai bencana, sedangkan Orde Baru hadir sebagai penyelamat. Kemudian, saat Orde Baru tumbang, Suharto dan seluruh rezimnya dicitrakan sebagai tiran mutlak, sementara reformasi dipersembahkan sebagai solusi sempurna. Pola ini terus berulang: setiap pemimpin yang baru harus mencitrakan diri sebagai sosok putih-bersih yang datang untuk menebus kesalahan pendahulunya, yang kini dicap hitam-legam bagai jelaga.
 
Dengan pola ini, bangsa ini tidak pernah benar-benar maju. Setiap periode pemerintahan hanya sibuk membongkar, mencaci, dan menghapus kebijakan sebelumnya. Pembangunan yang seharusnya berkesinambungan justru tersendat karena ego politik dan propaganda yang dimainkan oleh kepentingan luar. Akibatnya, negara terus sibuk berputar dalam lingkaran krisis yang sama, tanpa pernah memiliki momentum yang cukup untuk melompat ke tahap berikutnya.
 
Masyarakat pun terjebak dalam narasi ini. Alih-alih bersikap kritis dan membangun, mereka diajarkan untuk membenci pemimpin lama dan menggantungkan harapan buta pada pemimpin baru, seakan-akan perubahan hanya bisa datang dari sosok individu, bukan dari kesadaran kolektif dan sistem yang diperkuat. Begitu pemimpin baru gagal memenuhi ekspektasi yang terlalu tinggi, siklus kembali berulang: sang pemimpin akan dijatuhkan, lalu sosok lain yang seolah lebih suci akan dimunculkan sebagai penyelamat baru.
 
3
Sementara itu, di balik layar, penjajahan gaya baru terus berjalan. Sumber daya alam tetap dikuras, kebijakan tetap diarahkan untuk kepentingan asing, dan rakyat tetap dikendalikan melalui propaganda yang tidak pernah berhenti. Namun, yang lebih berbahaya dari itu adalah keberadaan shadow oligarchy—para elite yang sejatinya menjadi penguasa sebenarnya, bukan pemerintahan yang tampak di permukaan.
 
Mereka adalah kelompok yang selama ini merampok APBN, APBD, dan sumber daya alam (SDA) Indonesia, menguasai berbagai sektor strategis, dari energi hingga infrastruktur, dari pangan hingga keuangan. Mereka tidak bekerja secara terang-terangan, tetapi membangun jaringan yang begitu kuat di dalam sistem pemerintahan, dunia bisnis, dan institusi hukum. Dengan kekuatan ekonomi dan akses politik yang mereka miliki, mereka dapat menentukan siapa yang naik dan siapa yang jatuh.
 
Shadow oligarchy ini tidak berdiri sendiri. Mereka membentuk simbiosis mutualisme dengan neokolonialisme dan imperialisme (nekolim). Mereka menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan asing, memastikan bahwa SDA Indonesia tetap diekspor dalam bentuk mentah, bahwa industri dalam negeri tetap lemah, dan bahwa kebijakan negara tetap tunduk pada mekanisme global yang menguntungkan pihak luar. Mereka mendapatkan keuntungan dari eksploitasi bangsa sendiri, sementara rakyat kecil terus dibiarkan bertarung dalam ilusi demokrasi yang dikendalikan dari balik layar.
 
Ketika ada pemimpin yang mencoba melawan sistem ini, mereka akan menghadapi berbagai serangan, baik melalui skenario politik, tekanan ekonomi, maupun kampanye propaganda yang dirancang untuk menjatuhkan kredibilitasnya. Jika perlu, shadow oligarchy tidak segan-segan menciptakan instabilitas dengan mengadu domba kelompok masyarakat, memperkeruh situasi sosial, atau bahkan memanfaatkan jalur hukum untuk menggulingkan lawan-lawan politik mereka.
 
Selama shadow oligarchy ini masih bercokol dan rakyat masih terjebak dalam kebencian yang dikendalikan oleh propaganda mereka, maka cita-cita kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa akan tetap menjadi angan-angan semata. Perjuangan sebenarnya bukan sekadar mengganti pemimpin, tetapi meruntuhkan sistem bayangan yang selama ini membuat bangsa ini terus berada dalam lingkaran penjajahan gaya baru.
 
4
Menjadi Bangsa yang Kritis, Bukan Bangsa yang Mudah Diperdaya
 
Karena itu, penting bagi setiap individu dalam masyarakat untuk tidak terperangkap dalam narasi keburukan yang disebarkan tanpa henti. Sikap kritis bukan berarti mudah percaya pada semua yang tampak “melawan arus” atau “mengungkap kebenaran yang tersembunyi.” Sikap kritis juga tidak berarti menelan mentah-mentah kebencian yang ditanamkan terhadap pemimpin lama atau pun pemimpin baru. Sikap kritis adalah kemampuan memilah informasi, mengakui kebaikan di mana pun ia berada, dan memberi masukan konstruktif terhadap apa yang masih kurang.
 
Setiap kebaikan harus didukung. Tidak ada pemerintahan yang sempurna, tetapi bukan berarti setiap kebijakan yang dihasilkan harus dicurigai dan dijatuhkan. Jika ada yang tidak sempurna, solusinya bukanlah memperkuat kecurigaan, melainkan membangun diskusi yang sehat dan memberikan kritik yang berbasis data serta solusi yang konkret.
 
Kita harus melatih diri untuk melihat realitas secara lebih jernih—tidak terombang-ambing oleh propaganda, tidak mudah terprovokasi oleh isu yang dimainkan untuk kepentingan segelintir elite. Kita harus sadar bahwa kemajuan suatu bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh rakyatnya.
 
Sejarah hanya akan berulang jika rakyat tetap mudah diperdaya. Sebaliknya, sejarah bisa berubah jika rakyatnya memahami permainan yang sedang dimainkan, menolak menjadi pion dalam konflik yang direkayasa, dan berani membangun keberlanjutan, bukan sekadar mengganti pemimpin dan menciptakan siklus penghancuran tanpa akhir.
 
5
Menuju Indonesia Emas 2045
 
Tahun 2045 akan menjadi momentum bersejarah: 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak yang menyebutnya sebagai Indonesia Emas, sebuah visi di mana Indonesia akan menjadi negara maju, dengan ekonomi yang kuat, sumber daya manusia yang unggul, dan masyarakat yang sejahtera. Namun, semua ini tidak akan tercapai jika bangsa ini terus terperangkap dalam siklus penghancuran yang tidak berkesudahan.
 
Indonesia Emas bukan sekadar slogan. Ini adalah tantangan bagi setiap rakyat Indonesia untuk keluar dari jebakan propaganda, untuk berpikir lebih jernih, lebih konstruktif, dan lebih berorientasi pada solusi. Setiap pemerintahan yang datang harus membangun di atas fondasi yang sudah ada, bukan menghancurkan yang lama hanya demi citra politik baru. Setiap kebijakan harus dievaluasi dengan kritis dan objektif, bukan dengan kebencian atau fanatisme.
 
Bangsa ini hanya akan menjadi besar jika rakyatnya berani berpikir mandiri, berani membangun keberlanjutan, dan berani menjadi bagian dari solusi. Indonesia Emas 2045 tidak akan datang dengan sendirinya—ia harus diperjuangkan dengan kesadaran, kerja keras, dan sikap kritis yang sehat.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045, tetapi apakah kita mampu melepaskan diri dari siklus yang selama ini menghambat kemajuan bangsa ini? Jika kita berhasil keluar dari lingkaran penghancuran, propaganda, dan dominasi shadow oligarchy, maka pencapaian Indonesia Emas 2045 bukan sekadar harapan, tetapi sebuah keniscayaan yang akan terwujud secara alami sebagai hasil dari bangsa yang sadar, bersatu, dan berdaulat atas nasibnya sendiri.
 
MAM