Copas dari wall Andi Setiono, di FB
NEGERI YANG LAGI MERIANG DAN KEDANAN PALESTINA I
Disclaimernya adalah saya tidak pernah menentang kemerdekaan Palestina, tapi juga kalau tetap menjadi bagian dari Israel, atau Yordania atau bahkan dibuatkan koloni di Indonesia sekali pun saya baik-baik saja. Bagi saya kedamaian itu tak bersyarat: damai ya damai. Kalau mau perang terus ya gak apa-apa. Bukankah perang adalah hobi paling purba dari makhluk yang bernama Homo sapiens.
Bagi saya, sejarah panjang Israel dan Palestina itu berimpitan kuat, sebagaimana dulu kota kelahiran saya Yogyakarta. Ketika masih bernama Mataram, tak jelas benar kenapa generasi orang kemudian mesti menambahkan Hindu. Padahal ada Budha-nya segala. Menunjukkan bahwa sejarah selalu dicatat secara ngawur oleh generasi yang lebih muda. Jadi ketika, Islam mulai berkuasa lalu dilabeli Mataram-Islam.
Bagi saya semisal, kalau orang Bali tiba2 jadi sedemikian kuat, orang-orang jenius dan pada kaya raya. Dan itu bukan mustahil, mereka tiba2 pindah ke Jogja, ya gak papa. Wong itu juga tanah nenek moyang mereka. Intinya, masalah tanah yang diaku sebagai bagian sejarah suatu etnis itu selamanya debatable. Apalagi di zaman medsos ini, dimana orang akan menunggangi segala isu untuk sekedar "nunut kondang", ikut populer.
Persoalannya menjadi pelik, justru ketika ia sudah jadi isue, apalagi kalau itu "tumpuk undung", bertumpuk2. Isu agama (yang ini selamanya manipulatif), sosial (ini masalah superioritas etnis dan kelas), ekonomi (yang menyangkut penguasaan sumberdaya), atau malah budaya (nah... ini dia, mereka yang merasa selamanya eksportir akan merasa dirinya lagi2 superior. Sementara yang importir selamnya inferior).
Akan sempurna peliknya, jika banyak kepentingan negara (baca: rezim) untuk ikut campur hanya sekedar cari teman dan sekutu.
Sesungguhnya, persoalan Palestina ini akan lebih mudah diselesaikan seandainya tidak banyak ikut campur tangan pihak2 yang justru menjadikannya kendaraan politik. Dalam kasus Palestina, saya merasa figur seperti Gus Dur adalah sosok yang mungkin bisa menjadi tokoh penyelesai. Ia memiliki semua syarat untuk itu. Bukan malah berlarut2 seperti hari ini. Sehingga orang2 lokal lebih suka mengibarkan bendera Palestina, dibandingkan Merah Putih sebagai bendera nasional bangsa ini.
Bagi saya, persoalan Palestina itu hanya menarik untuk orang2 yang pikirannya rumit dan narsistik. Tepatnya suka merumit2kan keadaan dan butuh selalu didengar pendapatnya. Orang yang bacaannya adalah status sosial media, alih2 membaca buku sejarah dalam sumber aslinya. Apalagi bersedia mendengar dari sisi pihak sebelah yang biasanya 180 derajat berbeda. Menjelaskan kenapa bukannya persoalan ini akan selesai, justru membawa kita semakin jauh dari penemuan solusi.
Faktanya di Indonesia, perkara Palestina ini sudah mewabah jadi isue yang seksi ditunggangi. Sekedar untuk menunjukkan identitas masing2 kelompok. Dengan buzzer dengan atau tanpa bayaran yang entah kenapa, jika menyangkut isu ini berubah jadi telengas. Coba cek sesekali, siapa yang berada titik sebaliknya bisa bicara bebas. Pasti akan dirajam habis, dianggap tidak berperikemanusiaan. Tidak ada...
Lagi2 Gus Dur adalah orang terakhir yang berani melakukannya. Setelahnya, orang lebih suka membiarkan persoalannya dibaca sebagai isu politik tanpa bacaan yang kritis. Gus Dur adalah figur yang berusaha menyederhanakan persoalan melalui dialog bilateral, bukan seperti sekarang yang ditarik menjadi isu multilateral. Menjelaskan kenapa persoalan yang sesungguhnya "latah" dalam sejarah dunia ini makin jauh panggang daripada api.
Kenapa bahkan ketika kita bersikap secara berimbang saja, jatuhnya tetap salah. Kita tahu apa yang terjadi pada Gus Dur? Ia difitnah sedemikian rupa, diperumit posisi politiknya, dan akhirnya dijatuhkan. Sesuatu yang kemudian selamanya kita sesalkan!
Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan Palestina itu? Kenapa tanah yang secuil ini bisa sedemikian mengharu biru masyarakat dunia, bahkan tak kurang di Indonesia?
Faktanya Palestina sebenarnya udah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1988 yang dibacakan oleh pemimpin Fatah (PLO) Yaser Arafat di Aljazair. Bahkan setelah deklarasi kemerdekaan 1988 ini, lebih dari 80 negara langsung mengakui Palestina (ada yg menyebut 100 negara). Untuk melengkapi syarat sebuah negara melalui Perjanjian Oslo 1993, Israel mengakui Otoritas Palestina (OP) sebagai pemerintahan Palestina yg sah dan mengembalikan wilayah Tepi-Barat zona A dan B, untuk dikelola Palestina sendiri.
Di tahun 2005 Israel kembali mengembalikan Jalur-Gaza ke Palestina juga untuk membentuk negara yg utuh. Dengan syarat utama pihak Palestina mengakui Israel juga dan berhenti bermusuhan dengan Israel (two state solution). Masalahnya Otoritas Palestina dibawah kendali Fatah (PLO) kemudian bertikai dan baku hantam dengan Hamas yang kemudian berhasil mengkudeta Otoritas Palestina dan menguasai Gaza sepenuhnya di tahun 2007.
Kita tahu semua, siapa yang di belakang Hamas? Iran! Ia yang selama ini dengan semangat mengekspor Revolusi Islam mengirim senjata dan roket untuk menyerang Israel. Dan mencapai puncaknya pada 7 Oktober 2023, saat kelompok militan Palestina yang dipimpin oleh Hamas melancarkan invasi dan serangan terhadap Israel dari Jalur Gaza, menerobos tembok pembatas Gaza-Israel dan memaksa masuk melalui penyeberangan perbatasan Gaza, ke pemukiman terdekat dan instalasi militer Israel.
Hal ini membuat Israel membatalkan pengakuan negara Palestina dan menolak melepas wilayah yg mereka kuasai di Tepi-Barat terutama zona C, karena beranggapan pihak Palestina tidak menepati perjanjian Oslo terutama bagian berhenti bermusuhan dengan Israel. Di sinilah tiba2 seolah Israel sendirian dan diganyang hampir semua negara di dunia, kecuali tentu saja pendukung utama yaitu Amerika Serikat.
Artinya apa? Palestina ini adalah kuda tunggang dari sedemikian banyak kepentingan. Terutama, negara2 yang merasa dirinya bisa jadi "eksportir", yah eksportir apa saja. Ideologi, pengaruh, dan tentu saja senjata. Intinya Palestina sudah berubah jadi subyek yang seharusnya merdeka berubah menjadi obyek yang selamanya dibonsai sebagai isu dan masalah.
Indonesia dalam hal ini kecipratan tuah isu Palestina. Para politikus bersorak sorai, kelompok2 yang selama ini berposisi sebagai pembenci pemerintah menjadikannya punya eksistensi lagi. Bahkan di kota saya, stadion milik pemerintah atapnya diwarnai dengan bendera Palestina. Di acara apa pun, membawa bendera Palestina dianggap simbol pembebasan. Saya memahaminya sebagai kesumpegan di jalanan di rumah di komunitas. Dari tekanan ekonomi dan ketidakberdayaan terhadap represi hukum.
Banyak kegiatan pengumpulan dana dilakukan, sebagian memang sampai. Sebagian sebagaimana biasa jadi ajang cari turahan, atau malah dikerakap semua. Seorang artis yang telah layu dari dunia film dan panggung politik. Tiba2 menyewa kapal judulnya membawa bantuan kemanusiaan hanya untuk ditolak masuk. Sebuah eksibisionis politik yang gagal. Apa yah dumeh mbake kae sing ayu njuk boleh? Bolehlah ia tampak ayu di sini, di Arab sana yang lebih ayu darinya banyak.
Dan yang terakhir, seorang Menteri tiba2 menyediakan 15.000 ha lahan untuk tanaman pangan. Bagi saya ini sudah keterlaluan!
Pertama, apa yang dilakukannya pasti dengan membabat hutan. Artinya sekedar pembenaran merusak hutan yang setengah mati oleh para pemangku adat pemiliknya dijaga. Atas nama negara, ia merusak hutan hanya demi kepentingan politik sesaat.
Kedua, kalau pun bisa ditanami yang itu pasti butuh waktu tahunan. Karena sebuah tanah gambut untuk dirubah tanah pertanian, paling cepat baru berproduksi normal butuh lima tahun setelah ia dibabat bersih.
Ketiga, ini bukti lain betapa bangsa ini "semugih", sok kaya. Di tengah rakyatnya yang kesulitan pangan dan terkadang masih import. Ia lebih peduli pada yang jauh, abai pada yang dekat.
Mereka ini lupa, bahwa nyaris setiap negara lain juga memberi bantuan besar. Jangan lupa, AS sebagai negara yang paling dibenci oleh Hamas dan Iran adalah donatur dana kemanusiaan bagi Palestina. Persoalannya tampak hiperbolis, lebih karena perilaku mereka yang selama ini memiliki sikap hedonis dan hobby pada perang, sekaligus menjadi penjarah bantuan kemanusiaan. Sesuatu yang tampak lumrah di medan perang manapun.
Kasus Palestina membuktikan, di hari ini Indonesia itu dibentuk oleh isue politik yang sialnya selalu jatuhnya dipolitisr, dan bukan pada kebutuhan mengejar kesejahteraan bersama untuk bisa bergerak maju. Sehingga setiap gerak maju justru selalu dicurigai, sedangkan nyaris semua isu politik dianggap sebagai obat mujarab untuk menyambung umur dan memanipulasi keadaan.
Silahkan terus atau diteruskan deman dan kedanan Palestina. Saya tak jadi penonton saja. Terlalu banyak yang bisa dikerjakan, selain mengurus urusan negara lain.
Negara yang sesungguhnya tak butuh2 amat kita urus.
.
.
.
NB: Sebagai orang yang pernah dididik berpikir secara geopolitis. Bila ukurannya hari ini, sampai kiamat pun kondisi bangsa Palestina akan tetap seperti ini. Dulu sekali, kita ingat Perjanjian Camp David diselenggarakan justru untuk mendamaikan Israel dan Mesir. Sebuah perdamaian yang efektif sampai hari ini, karena keduanya tak pernah lagi bersengketa. Sementara titik tengahnya, Palestina, negara yang jadi obyek sengketanya malah terabaikan.
Demikian pula, negara2 di sekitarnya. Makin tak peduli urusan Palestina. Bukan karena tak peduli, tapi selain melelahkan juga tak melihat titik untungnya. Arab Saudi contohnya, kalau pun mereka harus membakar uang, mending membeli pemain2 sepakbola mahal. Atau membuat kota raksasa baru bernama Neom. Karena mereka tahu, tanpa itu mereka tak pernah menarik dan disebut. Mereka boleh kaya raya, tapi tanpa publisitas yang baik, budaya pop yang digandrungi dunia: mereka adalah nothing.
Hanya Iran yang masih membela secara sporadis Palestina. Dalam hal ini pun harus dipersempit sebagai Hamas. Karena demikianlah watak kaum Syiah, mereka akan selamanya jadi eksportir ideologi mahiwal. Menjelaskan mengapa mereka sulit diterima dalam pergaulan i di tingkat apa pun. Iran pun setelah beberapa kali konflik terbuka dengan Israel, mereka mbleret, memudar. Tentu mereka juga makin sadar bahwa infiltrasi intelejen yang dilakukan Israel sudah masuk terlalu dalam.
Dalam dunia politik, gerak intelejen itu lebih menakutkan daripada gerak pasukan tempur di atas medan laga. Apalagi itu kalau sifatnya menyangkut perang berbasis elektronik.
Saya bukan fans club Israel, walau saya seorang Katolik. Meski setiap kali misa didengungkan bahwa Yesus adalah Raja Israel. Bahwa setiap kali membicarakan Israel selalu harus mau membedakan antara Yahudi dan Zionisme. Ajaran yang menurut saya justru makin memperumit keadaan. Saya hanya menjadi bagian dari penikmat kabar baik, bagaimana Ethiopia bisa lepas dari jaring kemiskinannya. Karena kestabilitan negara ini yang berhasil diciptakan berkat dukungan Israel.
Hal2 seperti ini tampaknya tak akan pernah ada dalam bacaan orang yang sedang mengalami meriang dan kedanan isu Palestina. Gak apa, kalau Israel saja gak butuh pengakuan untuk itu. Untuk apa kita ikut membesar-besarkannya.
Di situ beda visioner dengan reaksioner.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar