Sumber Tuhan di Surga
Aku  menyeruput kopi panas dengan nikmatnya. Seperti hari-hari  lainnya, kota  Edington di musim gugur selalu dicekam dingin yang  menusuk. Segelas  kopi panas beserta setungkup hamburger sudah menjadi  menu yang luar  biasa di Bed & Breakfast yang aku tumpangi ini.   Sekarang aku berada  di Skotlandia, wilayah utara Kerajaan Inggris Raya,  di tahun 1903.
Dari bau harumnya yang khas aku sudah yakin bahwa biji kopi ini  didatangkan dari kepulauan Nusantara. Lewat trading pedagang Inggris dan  Belanda, kopi dari tanah ibu pertiwiku di bawa sampai ke mejaku. Sial,  betapa jahatnya penjajahan. Sementara anak-anak bangsaku hidup dalam  feodalisme dan kemiskinan, kekayaan tanahnya yang terbaik malah  dinikmati orang luar.
Namun yang membuatku jauh lebih sedih adalah  bahwa sampai sekarang masih berlangsung penjajahan dalam otak anak-anak  negeriku. Sekalipun Indonesia telah merdeka 65 tahun, namun anak-anak  bangsaku masih dijajah oleh isme-sme dari luar yang tidak sesuai dengan  adab asli bangsaku. Isme-isme yang tidak berjejak pada keragaman dan  keunikan anak-anak negeri ini. Isme-isme yang hanya membuat otak  anak-anak bangsa ini berkiblat jauh ke barat, entah ke mekkah ataupun ke  yerusalem. Isme=isme yang membuat garis marka yang rigid antara mukmin  vs kafir, haram vs halal, umat yang telah diselamatkan vs umat yang  belum diselamatkan. Tidak perlu lagi disebut-sebut tentang syahwat  kekuasaan, kemunafikan, korupsi, dan ketidakjujuran yang melekat di  dalam otak para politikus dan agamawan kita yang meluluhlantakan  sendi-sendi kemanusiaan bangsa ini.  Aku menghela nafas panjang. Penat  dan perih rasanya nurani ini jika mengingat-ingatnya.
Belum juga  habis kopi ini, terdengar ada keributan di luar. Lelaki dan perempuan  berhamburan disusul dengan beberapa polisi berkuda menuju suatu tempat  tak jauh dari B&B tempat aku menginap. Aku tertarik untuk melihat  apa yang tengah terjadi.
Ternyata baru saja sesosok mayat  ditemukan. Seorang janda cantik dan kaya berumur 40 tahunan ditemukan  tergeletak di atas sofa di rumah mewahnya. Tidak ditemukan bekas tikaman  atau cekikan di tubuhnya. Begitu pula tetangga terdekatnya tidak  mendengar suatu percekcokan antara si korban dengan siapapun dari tadi  malam. Namun dari cara ia meninggal sudah jelas ia mati tidak wajar.
Polisi  berusaha menjaga-jaga agar warga tidak mendekati TKP atau menyentuh  apapun yang bisa dijadikan alat bukti. Tak lama kemudian muncullah  seorang laki-laki kurus tinggi dengan Jaket selutut, dan bertopi aneh.  Di bibirnya selalu terselip cangklong dengan asap yang mengepul tipis.  Ia adalah Sherlock Holmes, detektif terkenal di Scotland Yard. Dengan  sigap ia memakai sepasang sarung tangan karetnya, mengeluarkan buku  catatan kecil dan bolpen, serta tidak ketinggalan kaca pembesar dan  mulai meneliti si korban.
Ia memeriksa tingkat kekerasan  jasad si korban, mencari tahu sudah berapa lama sang almarhumah menjadi  jasad ini. Ia mencari tanda-tanda di tubuh si korban yang bisa  mengindikasikan apa yang sesungguhnya terjadi saat sebelum kematian  tiba. Ia melihat apakah ada yang aneh dengan letak perabotan di ruangan  itu. Adakah barang yang jatuh? Adakah barang yang terhilang?  Adakah  sidik jari tertinggal di tubuh si korban? Adakah sidik jari tertinggal  di pintu? Di jendela? Apakah ada tanda-tanda kerusakan di pintu, jendela  dsb. Adakah zat racun tersimpan di cangkir teh si korban yang belum  selesai ia minum. Ia mewawancarai dua orang pelayan dan seorang tukang  kebun yang tinggal di rumah sang korban. Ia menganalisa, mengumpulkan  hipotesa, membandingkan hasil hipotesa itu dengan catatan-catatan yang  telah ada dan menarik kesimpulan. Dengan hati-hati ia mencari  kemungkinan-kemungkinan yang ada yang bisa membawanya pada sebuah  kesimpulan.
Akhirnya setelah 2 jam investigasi berlalu,  dengan dingin dan penuh keyakinan, ia mengatakan, “Kasus terpecahkan.  Ini adalah pembunuhan ruang tertutup. Dan pelakunya adalah salah seorang  pelayan sang janda dengan motif balas dendam pribadi. Ia menaruh  sejenis racun cair di teh si korban karena si janda tersebut ternyata  memiliki asmara terlarang dengan suami si pelayan. Dan dialah  pelakunya.”  Telunjuk tangannya mengarah kepada salah seorang pelayan  itu. “Mrs. Manning, andakah pelakunya?” Perempuan berumur 30 tahun itu  menunduk malu dan takut. Ia mengangguk dan menangis. Kasus terselesaikan  sudah.
Semua orang bertepuk tangan. Begitu pula aku. Dan sang  Detektif melirik ke arahku dan mengedipkan matanya. Sementara asap dari  cangklongnya mengalun di udara. Aku tersenyum.
Aku yang hidup 100  tahun setelah Sir Arthur Conan Doyle, tokoh real pencipta Detektif  Sherlock Holmes,  merasa bahwa teknologi di jamanku hidup, yaitu  sekarang, jauh lebih canggih dan mengesankan dibanding ketika Doyle  hidup. Beruntunglah kita yang hidup di jaman post modern dimana ilmu  pengetahuan berkembang pesat, baik dari segi teknologi, analisa  psikologi, dan metoda2 penyingkapan kasus kejahatan yang dikembangkan  oleh para kriminolog. Kita memiliki kamera pemantau, tes DNA, uji  balistik jika kasus yang ditangani melibatkan peluru, deteksi ketahanan  metal jika kasus itu melibatkan kecelakaan kendaraan, autopsy mayat,  analisa kejiwaan dsb. Namun diluar perbedaan teknologi itu, pendekatan  yang dilakukan untuk menyingkap suatu kasus adalah sama yaitu deduksi  dan induksi.
Beruntunglah kita yang hidup dalam abad  ketercerahan sains, sebab ilmu pengetahuan terus menerus memperluas  cakrawala kita. Masa lalu yang dahulu nampak seperti misteri, sekarang  semakin terbuka. Bagaikan detektif Sherlock Holmes yang tidak berada  saat kejadian perkara namun ia mampu memecahkan kasus lewat investigasi  material, begitu pula para saintis. Mereka tidak pernah hadir ribuan  bahkan jutaan tahun yang lalu, namun lewat investigasi material,  pencarian materi2 yang mendukung, kemudian perumusan hipotesa dan  korespondensi antara satu materi dengan materi lainnya, satu kasus  dengan kasus lainnya, akhirnya mereka mampu menyusun suatu rangkaian  penjelasan yang memungkinkan kita untuk mendekati apa yang benar2  terjadi di masa lalu. Dan apa yang terjadi rantai evolusi dan peradaban  manusia.
Pencarianku akan makna hidup membawaku pada penelitian  sejarah agama-agama, budaya, tata nilai, evolusi, spiritualitas dan  ternyata itu semua bermuara di evolusi otak kita. 
Adakah  engkau di surga sana oh tuhan? - Tidak, aku ada dalam otakmu.
Menurut  para neurosaintis otak kita yang terdiri dari triliunan neuron ternyata  adalah hasil evolusi selama berjuta-juta tahun. Secara fungsi otak  dikelompokan menjadi 3 bagian utama, yaitu:
Lapisan  pertama dan tertua : batang otak, disebut juga otak reptilian, karena  fungsinya sama seperti otak banyak spesies reptile. Fungsi utama bagian  ini menjalankan aktivitas dasar, sederhana & otomatis, seperti  bernafas, detak jantung, sirkulasi udara, siklus metabolisme. Juga  mengontrol daya flee or fight / kabur atau tempur.  Itulah kenapa ada  sindiran ‘otak kadal’ bagi orang-orang yang cenderung suka memamerkan  kekerasan fisik tapi ngacir kalau yang dihadapinya lebih jago dan kuat  darinya.
Lapisan kedua : daerah limbik, bentuknya seperti  helm yang mengelilingi batang otak. Jalur saraf yang lebih rumit ini  memampukan otak si spesies untuk menjalankan kegiatan menyediakan  makanan, perlindungan, ketrampilan bertahan hidup. Bagian otak ini  menambahkan kesan-kesan emosi pada si spesies itu yang lebih luas dari  pada flee or fight, seperti perasaan tertekan, lapar, senang, membedakan  bebauan, membaca niat binatang lain lewat postur tubuh, gerak, tatapan  mata, ekspresi wajah. Bagian Limbik ini ada pada binatang vertebrata.  Limbik terdiri dari 2 hippocampus (kanan-kiri) yang berfungsi untuk  merekam memori, dan Amygdala yg berfungsi merasakan emosi dan ingatan2  emosional. Sekarang kita memahami mengapa binatang2 seperti gajahm,  beruang, kuda, zebra, dll mampu memperlihatkan emosi dan kasih sayang  yang mendalam ketika merawat anak-anaknya dan memperlihatkan ekspresi  bersedih manakala anak atau anggota klan nya dimakan singa atau mati.  Emosi2 sedalam itu tidak dimiliki oleh binatang2 reptil. Kenapa? Karena  otak mereka tidak memampukan mereka untuk merasakan emosi yang mendalam.
Lapisan  ketiga, neokorteks, lapisan ini hanya dimiliki oleh mamalia, berfungsi  untuk memberikan alasan, membuat perencanaan, memberikan respons emosi  yang cocok. Dan pada spesies homosapiens, neokorteks ini berkembang  menjadi system yang kompleks dan lebih besar yang memampukan mereka  untuk membayangkan, mencipta, mengerti dan memanipulasi symbol.  Kemampuan neokorteks ini yang dalam peradaban, menyediakan kita  kemampuan untuk berbahasa, menulis, melukis, mengerti matematika,  mengapresiasi seni, mengkonstelasikan konsep-konsep, merasionalisasikan  emosi, mencari makna hidup dsb.
Neokorteks ini dalam otak  manusia, yang bervolume lebih besar dari pada mamalia lainnya,  memampukan kita untuk mengabstraksikan tata nilai apa yang baik dan  tidak baik, bermoral dan tidak bermoral, jahat atau tidak , dan juga  memampukan kita membayangkan kehidupan yang ideal, abadi, tiada  kemalangan dan kematian, yang semua itu dikonsepkan berdasarkan materi  yang ada di sekitar kita.
Dari evolusi manusia keluarlah  hasrat2 untuk melakukan kebajikan, dan kemuliaan, dari evolusi manusia  sendiri hadirlah keinginan2 dan keserakahan yang menelurkan kejahatan.  Konsep2 kebaikan dan kejahatan inilah yang menciptakan agama dan tata  nilai. Dan pencarian antara misteri keterhubungan antara eksistensi  manusia secara personal dengan sesama dan alam, itulah yang menjadi  hasrat mendasar spiritualitas.
Jadi adakah engkau di surga  sana oh  tuhan ? Tidak, aku ada di dalam otakmu.
Pada  mulanya adalah bertahan hidup
Dulu…dulu… dulu sekali  pada waktu nenek moyang kita memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan hidup  lamanya yaitu bergelantungan di dahan2 pohon yang tinggi dan mulai ke  hidup di atas tanah (inipun terpaksa dilakukan karena ada suatu kejadian  alam yang membuat pasokan makanannya diatas pohon mulai menipis),  mereka menyadari kalau mereka tidak bisa lari secepat cheetah, tidak  punya tenaga sekuat gajah, tidak punya penglihatan setajam rajawali,  tidak punya cakar setajam cakar singa, maka dengan sendirinya mereka  berkelompok untuk bertahan hidup.
Dengan tumbuhan dan  daun-daunan yang mereka dapat, dan daging dari hewan2 lain yang lebih  kecil mereka bertahan hidup. Kita bisa lihat contoh nyata dari simpanze,  aktivitas mereka kebanyakan tidak diatas pohon, tapi di atas tanah, dan  kadang makan, semut, kutu, belatung bahkan memangsa monyet lain yang  jadi musuh kelompok mereka.
Dengan pola makan yang baru  dan bervariasi itu, yaitu gabungan antara tumbuhan dan daging dari hewan  buruan, maka sedikit demi sedikit dalam rantai generasi yang begitu  panjang, kebiasaan ini menambah kadar protein dalam otak mereka yang  nantinya menambah volume tubuhnya, memperkuat rangka tubuhnya, volume  otaknya, dan memperkuat jaringan2 sel di dalamnya untuk memampukan diri  mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Melalui  perjalanan evolusi yang panjang dan berliku, sel-sel dalam otak spesies  yang nantinya menjadi manusia ini, semakin diperkaya dengan pengalaman2  berburu, melarikan diri dari musuh, hubungan interpersonal dalam  komunitasnya. Kehidupan di atas tanah, dan bukannya di atas pohon,  sedikit demi sedikit merubah rangka tubuh mereka. Mereka jadi mampu  berdiri lebih tegak, mampu mengkoordinasi tangan, kaki dan bibir yang  memampukan mereka untuk berjalan lebih jauh, bergerak lebih anggun dan  memiliki kemampuan baru, berbahasa verbal. Semua kekayaan baru ini   menanamkan ‘kode genetik’ dalam gen untuk generasi-generasi mendatang  lewat cara berkelamin.
Tuhan – suatu konsep yang  terus berevolusi
Bayangkan, pada jaman purba ketika  manusia masih tinggal di gua2. Mereka merasa takut dan gentar akan alam  ini. Mereka tidak sanggup mengalahkan ganasnya alam. Hujan yg lebat,  guntur yang meraung-raung, kilat yang sabung menyabung. Dalam ketakutan,  ketidak mengertian dan ketidakberdayaan mereka menganggap ada suatu  kekuatan dibalik semua fenomena alam ini. Yang berkehendak  sendiri-sendiri, lepas dan berkuasa atas alam dan manusia.  Kita  menyebut keyakinan ini sebagai dinamisme. Keyakinan akan adanya suatu  kekuatan-kekuatan otonom yang lepas berkehendak dibalik fenomena2 alam.
Baru  sampai jaman manusia Neanderthal, manusia mulai menemukan konsep  tentang adanya keberlanjutan hidup. Mereka percaya bahwa manusia yang  mati, atau semua binatang yang mati, mempunyai kehidupan setelah  kematian dalam suatu dunia antah-berantah. Para paleontolog menemukan  situs-situs dimana manusia Neanderthal menguburkan kerabatnya yang telah  mati. Dalam kuburan ini manusia didudukan persis dengan bayi di dalam  kandungan, Karena mereka percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari fase  hidup melainkan suatu fase awal untuk suatu kehidupan berikutnya lagi.  Dan mereka yang telah mati, tinggal bersama kita dalam dimensi yang  lain. Mereka tinggal di hutan, di danau, bahkan dalam alat2 berburu dan  berperang mereka. Ada keterhubungan erat antara mereka yang telah  meninggal dan alamnya yang khusus dengan kita yang masih hidup di alam  raga ini, yaitu diantaranya untuk menjaga kita keturunannya dalam  menghadapi bahaya. Mereka menjadi karuhun, dan kita jadi cucu-cucu  kesayangannya.
Keyakinan ini disebut spiritisme dan  animisme. Sampai sekarang animisme dan spiritisme dipraktekan secara  luas dalam kebudayaan dunia. Keyakinan akan keharusan untuk membuat  sesajen sebelum membangun rumah / pabrik, berasal dari keyakinan ini.
Kemudian,  setelah manusia2 menetap dalam suatu komunitas, di tepi pantai, di  gunung, di hutan, di gurun, dsb. Manusia mulai menemukan paham baru,  yaitu politheisme. Secara tidak sadar dinamisme dan animisme  dipersonifikasikan jadi dewa-dewa lokal dimana mereka bernaung. Ada dewa  pohon, dewa hutan, dewa sungai, dewa gunung, dewa gurun, dewa lembah.  Dsb. Setiap tempat memiliki dewanya sendiri.
Semakin kompleks  suatu komunitas, semakin banyak dewa-dewa sesembahan mereka, sebagai  cermin dari pengharapan dan ketakutan mereka, ada dewi kesuburan, dewa  peperangan, dewa kesembuhan, dewi percintaan dsb. Setiap aspek  psikologis manusia yang sukar dijabarkan lewat uraian kata  dipersonifikasikan dalam citra dewa-dewi.
Ketika komunitas2  lokal ini bertumbuh menjadi kerajaan-kerajaan, begitu pula dewa-dewa itu  ditempatkan dalam suatu hierarki, dewa yang tertinggi menjadi dewa  utama / raja contoh zeus, dewa indra, sedangkan dewa yang lebih kecil /  inferior menjadi dewa2 suruhan / dewa2 perang.
Dalam pemahaman  yahudi, kristen dan islam dewa utama itu adalah yahweh / allah bapa /  allah swt dan dewa2 yang lebih rendah adalah para malaikatnya. Tidakkah  anda menemukan kesejajaran antara konsep kerajaan dengan konsep  ketuhanan?
-raja – dengan tuhan  yang bertahta di surga,
-perdana mentri dengan Gabriel /  Jibril
-kepala pasukan dengan Michael  atau Mikail.
-dayang dengan para seraphim  & kerubim?
Begitu pula surga selalu  digambarkan sebagai istana penuh dengan air mancur dan bidadari  berseliweran disana-sini. Tidakkah ini penggambaran kaum padang gurun  yang merindukan tempat teduh yang melimpah dengan air dan pepohonan  sejuk serta ekstasi ragawi?
Ketika kerajaan2 itu berperang  dengan motif-motif politis dan geografis, mereka membawa serta dewa2  mereka. Dan dewa dari suku yg menang dalam peperangan menjadi dewa  pemenang, dewa yang lebih superior dari pada dewa suku yang dikalahkan.  Dalam hal ini maka mengkerucutlah dewa-dewa ini menjadi suatu hierarki  yg lebih rigid. Itulah sejarah dari politheisme menjadi monotheisme.  Namun ada kalanya justru dewa dari suku yang kalah justru dianut oleh  suku yang menang. Namun demikian kasus seperti itu kecil. Biasanya apa  bila dewa-dewi dari suku yang kalah lebih beragam dan kaya makna, maka  dewa-dewi tersebut diasimilasi ke dalam pantheon dewa-dewi suku yang  menang.
Dari politheisme, hanya perlu selangkah lebih  lanjut menuju monotheisme, yakni dogma yang diusung oleh kekuasaan,  yaitu kehendak politik para raja yang mendukung suatu agama tertentu.  Agama sang raja haruslah jadi agama si rakyat. Bukankah ini terjadi  bahkan sampai saat ini?
Jadi jelas bahwa penggambaran  tuhan berasal dari konsep manusia sendiri tentang kehidupannya. Seberapa  jauh manusia memahami alam, hidup dan keterhubungannya dengan alam dan  sesama, maka sebegitulah pemahaman tuhan mereka. Maka dari itu tuhan  selalu digambarkan berbeda-beda. Ada tuhan yang jijik dengan perempuan,  itu karena budaya si komunitas pengusung keyakinan itu adalah budaya  male-chauvinistik, budaya yang mengagung-agungkan lelaki dan merendahkan  perempuan. Ada tuhan yang pemurka, dan menyuruh si nabinya menghabisi  lawan-lawan politiknya. Itu karena komunitas si nabi sedang terpojok,  sehingga tuhan yang dicerminkannya adalah tuhan pemurka. Ada tuhan yang  menyukai sesajian hewan tertentu, semacam kambing dan domba. Ada tuhan  yang lebih manusiawi dan senang tari-tarian, itu karena para  pengusungnya adalah komunitas yang ceria.  
Jelas bahwa  manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya. Manusia-lah  yang menyapa tuhan, bukan sebaliknya. Sebab jika kita mengandaikan ada  suatu tuhan yang berfirman ini dan itu, seharusnya firmannya itu bisa  diverifikasi. Mari kita datangi tuhan, apakah benar ia pernah berbicara  kepada nabi ini dan itu dan memfirmankan demikian dan demikian.
Jika  saya bisa gambarkan maka perspektif manusia akan konsep tuhan adalah  bagaikan segi tiga terbalik yang terbuka bagian dasarnya (yang sekarang  ada di atas).  Puncaknya, atau titik pertemuan dua garis, ada dibawah,  dan itulah manusia. Sedang bagian yang di atas itulah konsep tuhan.  Seberapa besar pengetahuan material dan kebijaksanaan si manusia  /masyarakat tsb semakin luas derajat atau spectrum bagian bawahnya yang  berarti semakin luas pula bagian atasnya. Sebaliknya, semakin kecil dan  picik, sumpek dan dangkalnya semakin mengkerucut tajam dan sempit sudut  spektrumnya dan semakin kecil pula horizon dibagian atasnya.
Selama  ini pemahaman manusia beragama, terutama agama monotheistik, telah  keliru karena menganggap pemahaman manusia akan alam bagaikan segitiga  dimana titik pertemuan di atas adalah tuhan, sedang bagian dasarnya  adalah manusia. Dan karena perspektif ini mengerucut ke atas maka  semakin ke atas semakin sempit. Maka dari itu tidaklah mengherankan kita  melihat dalam agama dogmatik, semakin ia merasa dekat kepada tuhan,  seseorang semakin ia sempit pikirannya karena ia sudah merasa di atas  dan berhak mengatur-atur orang di bawah.
Dalam terang  pemahaman di atas adalah jelas bagi kita bahwa tuhannya agama adalah  idea. Tuhan bukan sesuatu di luar sana, di atas sana yang bertitah ini  dan itu. Tuhan ada di dalam pemahaman di otak kita. Dan seberapa jauh  dan lembut pemahaman tuhan itu, tergantung dengan seberapa manusiawinya  kita, seberapa dalamnya keteduhan batin kita, seberapa luas pemahaman  kita tentang alam dan sesama mahluk.   
Jadi tuhan itu  tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana,  yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan  malaikat. Sebab kalau tuhan berpribadi macam itu ada, maka ia adalah  pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan manusia ciptaannya  sendiri, serta bertanggung jawab atas kekacauan dan kekejaman yang  terjadi dalam peradaban manusia dalam sejarah peperangan agama2.
Tuhan  yang dipahami oleh manusia adalah konsep untuk menunjukan adanya nilai2  kebaikan dan keburukan. Jika ia adalah konsep / abstraksi maka yang  terpenting bukan konsepnya itu sendiri, melainkan makna idea dibalik  itu. Anda boleh memakai konsep ini atau itu, atau tanpa konsep agama  sama sekali, yang penting anda mendapatkan makna hidup dalam kehidupan  ini.
Itulah kenapa note saya sebelumnya, saya katakan  bahwa saya merindukan Indonesia baru dengan beragam pemikiran, baik itu  dinamisme, animisme, politheisme, monotheisme, agnotisme, atheisme  dsb.  Asalkan mereka diikat dengan adab, dan nilai2 kemanusiaan yang  menghargai hidup. Biarlah setiap insan  berdialektika dalam memaknai  hidupnya. Ia memilih apa yang ia anggap layak dipercayai sepanjang itu  tidak meniadakan hak2 orang lain untuk meyakini dan tidak meyakini  sesuatu.
Konsep agama yang diusung oleh seseorang  sebenarnya merefleksikan persepsi orang tersebut akan dirinya, alam, dan  keterhubungan kesagalaan yang ada. Jikalau itu hanya refleksi atau    abstraksi dari persepsi maka tidak ada kebenaran obyektif di sana.  Sebab kebenaran obyektif memerlukan verifikasi yang didasari oleh  metode-metode keilmuan yang bersifat empiris dan  rasional. Adakah agama  yang mampu menjawab tantangan pembuktian empiris?
Pada  jaman lalu, manusia mempercayai bahwa alam semesta dibagi menjadi 3  lapisan besar, lapisan atas yaitu surga / arsy dimana tuhan bertahta,  lapisan tengah yaitu bumi dimana manusia hidup, dan lapisan bawah adalah  alam kematian di mana roh-roh orang yang telah mati dan dianggap tidak  layak masuk surga – disiksa di sana.  Sementara di antara surga dan bumi  para malaikat / dewa dan iblis sibuk berperang memperebutkan pengaruh  atas manusia.
Dalam worldview yang sesederhana itu, maka  mitos2 seperti kejatuhan adam dan hawa, pengusiran dari firdaus, bencana  air bah, rencana pembangunan menara babel oleh Namrud, pengiriman  tulah2 ke Mesir, kenaikan Musa dan Elia ke surga, kebangkitan dan  kenaikan Yesus, isra miraz Muhammad, perjalanan Zoroaster ke surga,  kunjungan Buddha dan murid2nya ke surga 33 langit bisa dipahami.
Namun  dalam pemahaman manusia modern, dimana cakrawala pengetahuan kita lebih  luas, masih bisakah kita mempercayai kisah2 ini sebagai kejadian  factual dan historis? Bukankah kejadian itu akan menimbulkan  pertentangan dari hukum2 fisika, kimia dsb karena jasad kita tidak  memungkinkan untuk melintasi langit. Apa lagi kita tahu kalau di atas  hanyalah ruang hampa luas.
Kisah-kisah diatas hanya bisa  dipahami sebagai mitos, dimana dari kisah2 itu si penutur kisah  menyampaikan tujuan dan pemahamannya berdasarkan kepentingan ideologi,  budaya, politik dsb.
Keyakinan akan adanya suatu pribadi  adikodrati yang bertahta di atas sana dan mengatur umat manusia dari  awal sampai akhir, serta mengangkat nabi2 tertentu dan memberi sabda  berbentuk kitab2 tertentu dan memuncak pada pewahyuan kitab tertentu dan  figur nabi atau juru selamat tertentu – tentu saja mengandung  kontradiksi baik secara idea maupun secara realitas. Karena pemahaman  umat manusia yang terus maju dengan cakrawala pengetahuan yang lebih  luas tidak memungkinkan adanya suatu titik kulminasi pewahyuan di  belakangnya. Mestikah kita terus menoleh kebelakang untuk mencari semua  jawaban dari pertanyaan kita sementara kompleksitas hidup dan  pengetahuan umat manusia jaman itu tidak lebih rumit jaman sekarang?
Pada  jaman2 lalu inti dari agama adalah agar kehidupan manusia dapat  tertata, terikat dengan hukum-hukum positif dalam komunitas tersebut dan  mengambil makna hidup. Dan itu wajar jika disikapi dengan dewasa.  Artinya kita sadar bahwa tidak ada yang mutlak dalam kepercayaan2 tsb.  Kenapa? Karena seiring dengan pengetahuan manusia akan alam, dirinya,  sesamanya dan keterhubungan di antara faktor2 tersebut, maka kebathinan  manusia pun akan bertambah pula.
Dari perspektif agama,  ketika pemahaman manusia berubah dan semakin maju, agama pun harus mau  membuka diri dan jujur dengan segala kelemahan dan keterbatasan dan  kenaivannya. Sebab kalau tidak, maka ia sendiri harus bersiap-siap  ditinggalkan oleh manusia2 yang cerdas.
Keyakinan yang  masih membangga-banggakan akan adanya tuhan di langit yang memberikan  tiga agama langit, yang masih mempercayai bahwa wahyu dari allah di  langit itu memuncak pada pribadi nabi tertentu, kitab tertentu dan agama  tertentu, atau juru selamat tertentu, masih layakkah kita pertahankan? 
Kita  lebih memerlukan kemanusiaan, kejujuran dan intelektualitas daripada  kepercayaaan2 buta yang dalam rekam jejak sejarah, sudah jelas-jelas  menorehkan diskriminasi, penindasan, kekerasan dan darah.
Sejarah  pemahaman konsep tuhan adalah sejarah pemahaman manusia itu sendiri  tentang alam, dirinya dan sesama. Dengan begitu maka ini mengundang  dekonstruksi, rekonstruksi, dan reinterpretasi.
Tuhan  adalah tuhan yang ber-evolusi, seiring evolusi (otak) manusia.
Apa  yang ada di balik simbol-simbol
Jikalau  idea-idea dalam kisah-kisah agama adalah symbol, seperti halnya surga,  neraka, keabadian, dsb maka sebenarnya symbol-simbol ini mengacu pada  apa?
Dalam note saya yang pertama saya tuliskan seperti  ini:
Kami para pencari kebenaran yang mempelajari banyak  ilmu secara interdisipliner, menyadari bahwa agama hanya sekumpulan  dogma dan symbol-simbol tertentu yang mengacu kepada ‘suatu makna’ di  balik itu. “sesuatu”  ini yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang  gamblang.  Namun para agamawan begitu mudahnya mem-bypass dan menjadikan  ritual, dogma sebagai kebenaran final, kebenaran dalam dirinya,  sehingga berkubang di situ dan tidak mampu menempus makna di balik itu.
Jadi  apa makna di balik symbol-simbol agama itu?  Saya telah jawab bahwa  makna di balik simbol2 itu sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata  gamblang. Itulah mengapa Buddha lebih baik berdiam diri manakala ia  ditanyai tentang adanya tuhan yang berpribadi, prima causa, asal muasal  semesta dsb. Jikalau jaman sekarangpun dengan cakrawala pengetahuan alam  yang lebih luas manusia sukar menjawabnya, apalagi manusia 2500 tahun  yang lalu?
Namun dalam note yang akan datang akan saya sedikit  paparkan pemahaman saya tentang hal ini.
Conquest  of the Universe – mungkinkah masih ada waktu bagi kita?
Pada  penghujung abad ke-15 masyarakat Eropa dikejutkan dengan ditemukannya  dunia baru oleh Christopher Columbus. Seperti kita tahu bahwa kejatuhan  kekaisaran Roma Byzantine yang kristen kepada dinasti Utsmaniah yang  islam dan pemblokiran jalur2 perdagangan eropa ke Asia memaksa para  pelaut eropa untuk mencari rute-rute perdagangan baru.  Penemuan dunia  baru ini membuktikan bahwa bumi tidak seluas yang mereka kira. Bagi  orang Eropa saat itu batas paling selatan adalah Tanjung Harapan di  Afrika selatan dan batas paling timur adalah kerajaan Cina. Segera  setelah penemuan dunia baru tersebut, maka terjadilah gelombang migrasi  bangsa eropa ke benua Amerika. Pula semakin bergejolak peperangan antara  protestan dan katolik di benua Eropa semakin banyak imigran merangsek  masuk ke benua Amerika. Dan semakin berdarah-darahlah sejarah peradaban  penghuni asli benua itu. Entah berapa banyak jiwa dan suku bangsa India  yang punah karena keberingasan tentara spanyol, Inggris dan Portugis.
Dalam  film 1492, the conquest of Paradise, Vangelis sang composer menggubah  lagu yang begitu dinamis dan penuh misteri berjudul Conquest of  Paradise. Nada-nada yang sederhana, hentakan tambur, tempo yang dinamis  dan penuh emosi menggambarkan harapan, ketakutan, tantangan, ancaman  kegagalan dan kematian para pengarung lautan.
Begitu pula  dengan sejarah evolusi dan kesadaran manusia. Penuh ketegangan dan  ancaman. Seringkali manusia melangkah yang salah dan menganggapnya  benar. Dan harga yang harus dibayar dari kebodohan itu seringkali  teramat sangat mahal, yaitu nyawa. Sejarah agamapun memperlihatkan hal  yang serupa.
Ke depan anak cucu kita akan mengarungi  wilayah2 baru dalam semesta tak terbatas ini. Pertanyaannya adalah  mampukah anak-anak manusia bertahan sampai ke jaman itu sementara apa  yang kita lihat sekarang dunia selalu berada di ujung tanduk? Dan salah  satu factor pemicunya adalah masalah agama. 
Negara-negara  Timur Tengah yang selalu dalam keadan tegang adalah negara2 yang paling  berpotensi untuk membawa ancaman kepunahan kepada dunia. Sudah jadi  rahasia umum bahwa konsentrasi senjata terbesar dunia ada di Timur  Tengah. Dengan kemampuan teknologi nuklir Iran yang ada pada saat ini,  adalah mudah bagi mereka untuk mengubah reactor nuklir untuk listrik ini  menjadi teknologi senjata penghancur massal. Demikian pula sudah bukan  rahasia umum bahwa Israel, Pakistan dan India dicurigai memiliki senjata  nuklir. Fakta ini memicu negara2 Arab untuk berlomba2 menumpuk senjata  sebagai pengimbang. Mengapa Arab Saudi, Mesir, Syria, Yordania dan Turki  begitu dekat dengan Amerika Serikat? Salah satunya karena mereka takut  dengan Iran. Persaudaraan islam yang digembar-gemborkan pada dunia  adalah persaudaraan semu. Karena pada hakekatnya mereka memiliki  kepentingan sendiri2 yang berbeda-beda. Tidak ada lawan, kawan, dan  persaudaraan keagamaan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang  abadi.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi apabila  krisis kemanusiaan dan politik Arab – Israel terus memanas dan menyulut  peperangan besar. Dan kita di Indonesia, tentu saja akan terbawa-bawa  secara emosional, karena secara budaya dan ideologi agama Indonesia  sudah jelas keberpihakannya.  Tak bisa dibayangkan chaos yang akan  terjadi di negeri ini apabila saat kehancuran itu tiba.
Saya  ingin kita melihat bahwa ada hal yang salah dengan agama2. Ada yang  irrasional dengan agama2. Semua ini saya tulis agar anak bangsa bisa  melihat akar permasalahannya yaitu keyakinan yang bertumpu pada mitos.  Dan sungguh tidak layak bagi umat manusia untuk berperang dan saling  membenci hanya demi mitos.
Padahal ke depan umat manusia  masih punya banyak tantangan untuk ditanggapi. Ada bentangan alam  semesta yang maha luas untuk dijelajahi. Ada lembaran pengetahuan baru  dalam alam semesta ini yang menunggu disibak.
Wahai kaum  islam, kristen dan yahudi, untuk apa terilusi dengan tanah Yerusalem  yang tandus, dan situs-situs keagamaan berselubung mitos yang kita sudah  tahu bahwa tidak ada kebenaran mutlak di sana? Untuk apa kita  mempertaruhkan masa depan manusia demi mitos?
Dalam benak  pemeluk 3 agama ini, mereka percaya nubuatan/ramalan akhir zaman, yaitu  peperangan besar-besaran yang memperebutkan Yerusalem. Padahal setelah  kita tahu bahwa tidak ada sesuatu entitas di atas sana yang memberikan  pengetahuan masa depan. Karena semua pengetahuan itu didapatkan oleh  manusia sendiri, maka nubuatan itu adalah self fullfiled prophecy atau  nubuatan yang dibuat sendiri, dipercayai dengan buta oleh sendiri dan  dijadikan nyata oleh sendiri. Ironisnya hampir 56% atau  hampir 4   milyar manusia di dunia ini  harus terseret-seret secara iman dan kultur  dalam mitos2 ini. Buat saya itulah malari – malapetaka yang dicari-cari  sendiri.
Tidak ada pusat alam semesta, jadi tidak ada  titik episentrum rohani dalam dunia ini, entah di Yerusalem, Mekkah,  Benares, Gangga, Vatikan, atau Himalaya.
Tidak ada puncak  pewahyuan dalam bentuk kitab atau sesosok nabi terakhir atau sesosok  juru selamat manusia.  Semua itu hanya interpretasi sekelompok orang  yang dijadikan iman mereka sendiri dan dipaksakan untuk diyakini umat  manusia di segala tempat dan disegala jaman. 
Bagi kita  yang memahami ini, apa masih mau kita dijajah oleh mitos-mitos tersebut?
Pada  saat anak2 bangsa di negeri ini terikat dengan mitos-mitos dalam kitab  ‘suci’, ingin mendirikan kilafah, ingin menggoalkan undang-undang  syariah, berlomba-lomba mendirikan islamic center, serambi medinah  atau  megachurch , justru para saintis di negeri-negeri barat mencari cara  memelihara keberlangsungan kehidupan bumi dan ras manusia. Oh betapa  konyol dan inferiornya kenaifan agama, tapi pongahnya duh gak   ketulungan.
Lihatlah alam semesta yang luas untuk  dijelajahi. Mengapa memperebutkan kebodohan hanya demi mitos yang  terbukti hanya bikinan manusia masa lalu saja?
Kapan kita  akan bertanggung jawab untuk hari esok, apabila dalam benak kita masih  digelayuti hantu2 irrasionalitas dan emosionalitas dalam berkeyakinan?
Ingat  bahwa spiritualitas sebenar-benarnya tidak memaksudkan manusia melihat  apa yang ada di seberang sana – di alam sesudah kematian, namun mencari  makna terdalam dari kehadiran kita kini dan di sini, dalam ruang dan  waktu ini, dalam kehidupan yang hanya sekali saja.
Spiritualitas  sejati bukan tentang romantisme psikologis tentang kebenaran agama2  tertentu, bukan pula suatu bentuk pelarian kekanak-kanakan dari  penderitaan hidup. Bukan pula tentang kesaksian pengalaman Out Of Body  Experience, yang bisa saja hanyalah katarsis dari si pikiran.
Spiritualitas  sejati adalah perjalanan rohani dan intelektualitas dalam memaknai  hidup ini, kini dan di sini, yang menyadarkan akan keterhubungan kita  dengan sesama, dengan alam, dengan kehidupan, dengan misteri dari  kesegalaan ini.
Silahkan membuka page ini dan rasakan lagu  Conquest of Paradise sebagai perjalanan evolusi kesadaran dan  pengetahuan manusia di hamparan semesta yang tak terbatas.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar