Selasa, 04 November 2025

NEGERI YANG LAGI MERIANG DAN KEDANAN PALESTINA

 Copas dari wall Andi Setiono, di FB

 


NEGERI YANG LAGI MERIANG DAN KEDANAN PALESTINA I 
 
Disclaimernya adalah saya tidak pernah menentang kemerdekaan Palestina, tapi juga kalau tetap menjadi bagian dari Israel, atau Yordania atau bahkan dibuatkan koloni di Indonesia sekali pun saya baik-baik saja. Bagi saya kedamaian itu tak bersyarat: damai ya damai. Kalau mau perang terus ya gak apa-apa. Bukankah perang adalah hobi paling purba dari makhluk yang bernama Homo sapiens. 
 
Bagi saya, sejarah panjang Israel dan Palestina itu berimpitan kuat, sebagaimana dulu kota kelahiran saya Yogyakarta. Ketika masih bernama Mataram, tak jelas benar kenapa generasi orang kemudian mesti menambahkan Hindu. Padahal ada Budha-nya segala. Menunjukkan bahwa sejarah selalu dicatat secara ngawur oleh generasi yang lebih muda. Jadi ketika, Islam mulai berkuasa lalu dilabeli Mataram-Islam. 
 
Bagi saya semisal, kalau orang Bali tiba2 jadi sedemikian kuat, orang-orang jenius dan pada kaya raya. Dan itu bukan mustahil, mereka tiba2 pindah ke Jogja, ya gak papa. Wong itu juga tanah nenek moyang mereka. Intinya, masalah tanah yang diaku sebagai bagian sejarah suatu etnis itu selamanya debatable. Apalagi di zaman medsos ini, dimana orang akan menunggangi segala isu untuk sekedar "nunut kondang", ikut populer. 
 
Persoalannya menjadi pelik, justru ketika ia sudah jadi isue, apalagi kalau itu "tumpuk undung", bertumpuk2. Isu agama (yang ini selamanya manipulatif), sosial (ini masalah superioritas etnis dan kelas), ekonomi (yang menyangkut penguasaan sumberdaya), atau malah budaya (nah... ini dia, mereka yang merasa selamanya eksportir akan merasa dirinya lagi2 superior. Sementara yang importir selamnya inferior). 
 
Akan sempurna peliknya, jika banyak kepentingan negara (baca: rezim) untuk ikut campur hanya sekedar cari teman dan sekutu.
 
Sesungguhnya, persoalan Palestina ini akan lebih mudah diselesaikan seandainya tidak banyak ikut campur tangan pihak2 yang justru menjadikannya kendaraan politik. Dalam kasus Palestina, saya merasa figur seperti Gus Dur adalah sosok yang mungkin bisa menjadi tokoh penyelesai. Ia memiliki semua syarat untuk itu. Bukan malah berlarut2 seperti hari ini. Sehingga orang2 lokal lebih suka mengibarkan bendera Palestina, dibandingkan Merah Putih sebagai bendera nasional bangsa ini.
 
Bagi saya, persoalan Palestina itu hanya menarik untuk orang2 yang pikirannya rumit dan narsistik. Tepatnya suka merumit2kan keadaan dan butuh selalu didengar pendapatnya. Orang yang bacaannya adalah status sosial media, alih2 membaca buku sejarah dalam sumber aslinya. Apalagi bersedia mendengar dari sisi pihak sebelah yang biasanya 180 derajat berbeda. Menjelaskan kenapa bukannya persoalan ini akan selesai, justru membawa kita semakin jauh dari penemuan solusi.
 
Faktanya di Indonesia, perkara Palestina ini sudah mewabah jadi isue yang seksi ditunggangi. Sekedar untuk menunjukkan identitas masing2 kelompok. Dengan buzzer dengan atau tanpa bayaran yang entah kenapa, jika menyangkut isu ini berubah jadi telengas. Coba cek sesekali, siapa yang berada titik sebaliknya bisa bicara bebas. Pasti akan dirajam habis, dianggap tidak berperikemanusiaan. Tidak ada...
Lagi2 Gus Dur adalah orang terakhir yang berani melakukannya. Setelahnya, orang lebih suka membiarkan persoalannya dibaca sebagai isu politik tanpa bacaan yang kritis. Gus Dur adalah figur yang berusaha menyederhanakan persoalan melalui dialog bilateral, bukan seperti sekarang yang ditarik menjadi isu multilateral. Menjelaskan kenapa persoalan yang sesungguhnya "latah" dalam sejarah dunia ini makin jauh panggang daripada api. 
 
Kenapa bahkan ketika kita bersikap secara berimbang saja, jatuhnya tetap salah. Kita tahu apa yang terjadi pada Gus Dur? Ia difitnah sedemikian rupa, diperumit posisi politiknya, dan akhirnya dijatuhkan. Sesuatu yang kemudian selamanya kita sesalkan!
 
Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan Palestina itu? Kenapa tanah yang secuil ini bisa sedemikian mengharu biru masyarakat dunia, bahkan tak kurang di Indonesia?
 
Faktanya Palestina sebenarnya udah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1988 yang dibacakan oleh pemimpin Fatah (PLO) Yaser Arafat di Aljazair. Bahkan setelah deklarasi kemerdekaan 1988 ini, lebih dari 80 negara langsung mengakui Palestina (ada yg menyebut 100 negara). Untuk melengkapi syarat sebuah negara melalui Perjanjian Oslo 1993, Israel mengakui Otoritas Palestina (OP) sebagai pemerintahan Palestina yg sah dan mengembalikan wilayah Tepi-Barat zona A dan B, untuk dikelola Palestina sendiri. 
 
Di tahun 2005 Israel kembali mengembalikan Jalur-Gaza ke Palestina juga untuk membentuk negara yg utuh. Dengan syarat utama pihak Palestina mengakui Israel juga dan berhenti bermusuhan dengan Israel (two state solution). Masalahnya Otoritas Palestina dibawah kendali Fatah (PLO) kemudian bertikai dan baku hantam dengan Hamas yang kemudian berhasil mengkudeta Otoritas Palestina dan menguasai Gaza sepenuhnya di tahun 2007. 
 
Kita tahu semua, siapa yang di belakang Hamas? Iran! Ia yang selama ini dengan semangat mengekspor Revolusi Islam mengirim senjata dan roket untuk menyerang Israel. Dan mencapai puncaknya pada 7 Oktober 2023, saat kelompok militan Palestina yang dipimpin oleh Hamas melancarkan invasi dan serangan terhadap Israel dari Jalur Gaza, menerobos tembok pembatas Gaza-Israel dan memaksa masuk melalui penyeberangan perbatasan Gaza, ke pemukiman terdekat dan instalasi militer Israel.
 
Hal ini membuat Israel membatalkan pengakuan negara Palestina dan menolak melepas wilayah yg mereka kuasai di Tepi-Barat terutama zona C, karena beranggapan pihak Palestina tidak menepati perjanjian Oslo terutama bagian berhenti bermusuhan dengan Israel. Di sinilah tiba2 seolah Israel sendirian dan diganyang hampir semua negara di dunia, kecuali tentu saja pendukung utama yaitu Amerika Serikat. 
 
Artinya apa? Palestina ini adalah kuda tunggang dari sedemikian banyak kepentingan. Terutama, negara2 yang merasa dirinya bisa jadi "eksportir", yah eksportir apa saja. Ideologi, pengaruh, dan tentu saja senjata. Intinya Palestina sudah berubah jadi subyek yang seharusnya merdeka berubah menjadi obyek yang selamanya dibonsai sebagai isu dan masalah. 
 
Indonesia dalam hal ini kecipratan tuah isu Palestina. Para politikus bersorak sorai, kelompok2 yang selama ini berposisi sebagai pembenci pemerintah menjadikannya punya eksistensi lagi. Bahkan di kota saya, stadion milik pemerintah atapnya diwarnai dengan bendera Palestina. Di acara apa pun, membawa bendera Palestina dianggap simbol pembebasan. Saya memahaminya sebagai kesumpegan di jalanan di rumah di komunitas. Dari tekanan ekonomi dan ketidakberdayaan terhadap represi hukum. 
 
Banyak kegiatan pengumpulan dana dilakukan, sebagian memang sampai. Sebagian sebagaimana biasa jadi ajang cari turahan, atau malah dikerakap semua. Seorang artis yang telah layu dari dunia film dan panggung politik. Tiba2 menyewa kapal judulnya membawa bantuan kemanusiaan hanya untuk ditolak masuk. Sebuah eksibisionis politik yang gagal. Apa yah dumeh mbake kae sing ayu njuk boleh? Bolehlah ia tampak ayu di sini, di Arab sana yang lebih ayu darinya banyak. 
 
Dan yang terakhir, seorang Menteri tiba2 menyediakan 15.000 ha lahan untuk tanaman pangan. Bagi saya ini sudah keterlaluan! 
 
Pertama, apa yang dilakukannya pasti dengan membabat hutan. Artinya sekedar pembenaran merusak hutan yang setengah mati oleh para pemangku adat pemiliknya dijaga. Atas nama negara, ia merusak hutan hanya demi kepentingan politik sesaat.
 
Kedua, kalau pun bisa ditanami yang itu pasti butuh waktu tahunan. Karena sebuah tanah gambut untuk dirubah tanah pertanian, paling cepat baru berproduksi normal butuh lima tahun setelah ia dibabat bersih. 
 
Ketiga, ini bukti lain betapa bangsa ini "semugih", sok kaya. Di tengah rakyatnya yang kesulitan pangan dan terkadang masih import. Ia lebih peduli pada yang jauh, abai pada yang dekat. 
 
Mereka ini lupa, bahwa nyaris setiap negara lain juga memberi bantuan besar. Jangan lupa, AS sebagai negara yang paling dibenci oleh Hamas dan Iran adalah donatur dana kemanusiaan bagi Palestina. Persoalannya tampak hiperbolis, lebih karena perilaku mereka yang selama ini memiliki sikap hedonis dan hobby pada perang, sekaligus menjadi penjarah bantuan kemanusiaan. Sesuatu yang tampak lumrah di medan perang manapun.
 
Kasus Palestina membuktikan, di hari ini Indonesia itu dibentuk oleh isue politik yang sialnya selalu jatuhnya dipolitisr, dan bukan pada kebutuhan mengejar kesejahteraan bersama untuk bisa bergerak maju. Sehingga setiap gerak maju justru selalu dicurigai, sedangkan nyaris semua isu politik dianggap sebagai obat mujarab untuk menyambung umur dan memanipulasi keadaan.
 
Silahkan terus atau diteruskan deman dan kedanan Palestina. Saya tak jadi penonton saja. Terlalu banyak yang bisa dikerjakan, selain mengurus urusan negara lain.
Negara yang sesungguhnya tak butuh2 amat kita urus.
.
.
.
NB: Sebagai orang yang pernah dididik berpikir secara geopolitis. Bila ukurannya hari ini, sampai kiamat pun kondisi bangsa Palestina akan tetap seperti ini. Dulu sekali, kita ingat Perjanjian Camp David diselenggarakan justru untuk mendamaikan Israel dan Mesir. Sebuah perdamaian yang efektif sampai hari ini, karena keduanya tak pernah lagi bersengketa. Sementara titik tengahnya, Palestina, negara yang jadi obyek sengketanya malah terabaikan.
 
Demikian pula, negara2 di sekitarnya. Makin tak peduli urusan Palestina. Bukan karena tak peduli, tapi selain melelahkan juga tak melihat titik untungnya. Arab Saudi contohnya, kalau pun mereka harus membakar uang, mending membeli pemain2 sepakbola mahal. Atau membuat kota raksasa baru bernama Neom. Karena mereka tahu, tanpa itu mereka tak pernah menarik dan disebut. Mereka boleh kaya raya, tapi tanpa publisitas yang baik, budaya pop yang digandrungi dunia: mereka adalah nothing.
Hanya Iran yang masih membela secara sporadis Palestina. Dalam hal ini pun harus dipersempit sebagai Hamas. Karena demikianlah watak kaum Syiah, mereka akan selamanya jadi eksportir ideologi mahiwal. Menjelaskan mengapa mereka sulit diterima dalam pergaulan i di tingkat apa pun. Iran pun setelah beberapa kali konflik terbuka dengan Israel, mereka mbleret, memudar. Tentu mereka juga makin sadar bahwa infiltrasi intelejen yang dilakukan Israel sudah masuk terlalu dalam. 
 
Dalam dunia politik, gerak intelejen itu lebih menakutkan daripada gerak pasukan tempur di atas medan laga. Apalagi itu kalau sifatnya menyangkut perang berbasis elektronik.
 
Saya bukan fans club Israel, walau saya seorang Katolik. Meski setiap kali misa didengungkan bahwa Yesus adalah Raja Israel. Bahwa setiap kali membicarakan Israel selalu harus mau membedakan antara Yahudi dan Zionisme. Ajaran yang menurut saya justru makin memperumit keadaan. Saya hanya menjadi bagian dari penikmat kabar baik, bagaimana Ethiopia bisa lepas dari jaring kemiskinannya. Karena kestabilitan negara ini yang berhasil diciptakan berkat dukungan Israel.
 
Hal2 seperti ini tampaknya tak akan pernah ada dalam bacaan orang yang sedang mengalami meriang dan kedanan isu Palestina. Gak apa, kalau Israel saja gak butuh pengakuan untuk itu. Untuk apa kita ikut membesar-besarkannya.
 
Di situ beda visioner dengan reaksioner.

 

Senin, 03 November 2025

Yeats

 Copied from one page on Facebook.



He proposed four times over thirty years—she said no every time, yet she inspired his greatest poetry and a Nobel Prize.

Dublin, 1889. William Butler Yeats, a 23-year-old aspiring poet, attended a gathering where he met a woman who would haunt his imagination for the rest of his life.

Maud Gonne was 22, startlingly beautiful, and unlike anyone Yeats had ever encountered. She was passionate about Irish independence, politically active, intellectually formidable, and possessed a charisma that made rooms fall silent when she spoke.

Yeats was immediately, utterly, devastatingly captivated.

Within days, he knew. Within weeks, he was writing poetry. Within months, he'd proposed marriage.

She said no.

She would say no three more times over the next fourteen years.

But she would inspire some of the greatest poetry in the English language.

Yeats came from an artistic family—his father was a painter—and spent his childhood between Dublin and County Sligo in the west of Ireland. Sligo's rugged landscapes, ancient ruins, and folklore-saturated culture seeped into his consciousness, shaping his poetic sensibility.

By the time he met Maud, he was already committed to poetry and to the Irish Literary Revival—a movement to reclaim and celebrate Irish culture through literature, pushing back against centuries of English cultural dominance.

But Maud Gonne gave his poetry new dimension, new intensity, new pain.

She was everything Yeats idealized: beautiful, politically committed, passionate about Ireland's freedom. She embodied the Ireland he wanted to celebrate in verse—fierce, independent, unattainable.

That last quality would prove prophetic.

Maud admired Yeats. She valued his intelligence, his poetry, his dedication to Irish culture. They worked together on various nationalist causes. They corresponded regularly. She inspired him, encouraged him, collaborated with him.

But she didn't love him. Not the way he loved her.

Over the next decade, Yeats proposed repeatedly. Each time, Maud declined. She had political work to do. She couldn't be tied down. Marriage would interfere with her activism. She valued their friendship too much to risk it.

All of which might have been true. But the deeper truth was simpler: she didn't feel for him what he felt for her.

Then, in 1903, Maud Gonne married John MacBride—an Irish revolutionary who'd fought against the British in the Boer War.

Yeats was devastated.

The woman who'd refused him for over a decade—who'd said she couldn't marry because of her political work—had married a fellow revolutionary instead.

The message was clear: it wasn't that Maud couldn't marry. It was that she wouldn't marry him.

Many men would have walked away at that point. Would have moved on, found someone else, nursed their wounds in private and let the relationship fade.

Yeats did something different: he transformed his pain into art.

Some of his most powerful poems emerged from his unrequited love for Maud Gonne:

"When You Are Old" (1893)—a haunting meditation on aging and lost love, imagining Maud as an old woman looking back and regretting not choosing him:

"But one man loved the pilgrim soul in you,

And loved the sorrows of your changing face."

"No Second Troy" (1910)—comparing Maud to Helen of Troy, questioning why she had to be born in the wrong time:

"Why, what could she have done, being what she is?

Was there another Troy for her to burn?"

These weren't just love poems. They were explorations of beauty, violence, politics, history—all filtered through his feelings for one woman who wouldn't love him back.

Heartbreak became his muse.

But Yeats refused to let unrequited love define his entire existence. While Maud remained his emotional obsession, he continued building his literary and cultural legacy.

He became a central figure in the Irish Literary Revival, working alongside other writers to create a distinctly Irish literary tradition. In 1904, he co-founded the Abbey Theatre in Dublin, which became the national theater of Ireland and launched the careers of numerous Irish playwrights.

He wrote plays, essays, manifestos. He developed complex theories about history, mysticism, and art. He became one of the most important literary figures of the early 20th century.

And in 1923, he won the Nobel Prize for Literature—the first Irish person ever to receive that honor.

The Nobel committee cited his "inspired poetry, which in a highly artistic form gives expression to the spirit of a whole nation."

The spirit of Ireland. The Ireland Maud Gonne had embodied for him decades earlier.

Even winning literature's highest honor couldn't erase his feelings for Maud. They remained friends—complicated, intense, emotionally fraught friends. Even after her marriage to MacBride ended badly (he was abusive; they separated), even after MacBride was executed for his role in the 1916 Easter Rising, Maud still wouldn't marry Yeats.

He proposed again. She refused again.

At that point, Yeats was in his fifties, one of the most celebrated poets in the world, and still being rejected by the woman who'd inspired so much of his work.

Finally, in 1917, at age 52, Yeats married Georgie Hyde-Lees, a woman 27 years his junior who admired his work and shared his interest in mysticism and the occult.

Many viewed it as a practical arrangement—a famous older poet marrying a younger admirer. But something unexpected happened: the marriage worked.

Georgie wasn't intimidated by Yeats's fame or his lingering obsession with Maud Gonne. She was intelligent, patient, and brought her own interests to the relationship. Four days after their marriage, she began practicing automatic writing—a spiritualist technique where the writer allows unconscious thoughts to flow onto paper.

Yeats was fascinated. Together, they conducted years of automatic writing sessions that influenced his later poetry and his book A Vision, a complex mystical system of historical cycles and personality types.

Georgie gave Yeats something Maud never could have: partnership, stability, creative collaboration, and surprisingly, genuine happiness.

They had two children. They traveled. They worked on his poetry together. The marriage that seemed like a consolation prize became one of the most important relationships of his life.

But he never completely stopped writing about Maud.

Even in his final years, poems referencing their complicated relationship appeared. She remained his eternal muse, his impossible love, his poetic inspiration.

Yeats died in France in 1939, age 73, one of the 20th century's most influential poets.

His body was initially buried in France, but in 1948, his remains were brought back to Ireland and reinterred in Drumcliff churchyard, County Sligo—the landscape that had shaped his childhood imagination.

His epitaph, chosen by Yeats himself, reads:

"Cast a cold eye

On life, on death.

Horseman, pass by!"

Characteristically dramatic, mysterious, defiant.

Maud Gonne outlived him by fourteen years, dying in 1953 at age 86. She never remarried after MacBride's execution. She continued her political activism until her death.

Did she regret not marrying Yeats? She never said so publicly. She maintained they had been better as friends and collaborators than they would have been as husband and wife.

Perhaps she was right. Perhaps the tension of unrequited love created better poetry than fulfilled love would have produced.

Or perhaps that's just what we tell ourselves to make sense of tragedy.

What's certain is this: Yeats's greatest poetry emerged from wanting something he couldn't have. From loving someone who couldn't love him back the same way. From transforming personal pain into universal art.

His life teaches uncomfortable lessons about creativity and suffering.

Would we have his magnificent poetry if Maud Gonne had said yes? Would his work have the same intensity, the same longing, the same transcendent quality if he'd been happily married to her from age 23?

We can't know. But we do know that some of literature's most powerful expressions of love, loss, and longing came from a man whose heart broke repeatedly for thirty years.

And we know that he eventually found happiness anyway—not with the woman he'd always wanted, but with someone who wanted him back, who collaborated with him, who gave him peace.

That's not the romantic ending the story seemed to promise. But perhaps it's a better one.

The impossible love inspired the poetry. The possible love provided the life.

Remember his name: William Butler Yeats.

Remember that he proposed four times over thirty years to a woman who inspired his greatest work but never loved him back.

Remember that he won the Nobel Prize, co-founded a national theater, and helped define Irish cultural identity—all while carrying unrequited love like a wound that never quite healed.

Remember that he eventually married someone else and found happiness—proving that consolation prizes sometimes turn out to be the real gift.

Remember that creativity often emerges from suffering, but suffering alone isn't enough—you have to transform it into something beautiful.

And remember that loving someone who doesn't love you back isn't romantic. It's painful. But if you're a poet, it might become something lasting:

"When you are old and grey and full of sleep,

And nodding by the fire, take down this book,

And slowly read, and dream of the soft look

Your eyes had once, and of their shadows deep."

Those lines will outlive everyone who inspired them, rejected them, and read them.

That's not consolation. That's immortality.


{PS}