oleh Bima
Satria Putra
Waktu baca: 25 menit.
Bagian I
Sebuah ajaran dari perkumpulan radikal pernah tersebar
menghantui kekuasaan tuan tanah dan gereja pada abad pertengahan. Salah satu
hal yang menjadi ciri khas dari perkumpulan ini adalah kebiasaan mereka memakai
pakaian lusuh, atau terkadang malah bertelanjang, sebab menurut mereka,
seseorang seharusnya tak perlu malu terhadap sesuatu yang alami. Mereka
mengatakan bahwa, “orang yang bebas berhak melakukan apapun untuk menyenangkan
mereka. Aku berasal dari kemerdekaan yang alami, dan apa yang dinginkan oleh kealamianku
harus kupuaskan… seks adalah berkah dari surga; dan berkah dari surga tidak
akan menjadi dosa.[1]” Mereka menyebut ajarannya jiwa bebas (free
spirit).
Kelompok free
spirit memang tidak
menyebut dirinya anarkis, sebab anarkisme sendiri menjadi mapan secara teoritik
dan istilahnya mulai dikenal paling tidak sejak abad 18. Namun kita bisa dengan
mudah untuk mengenali bagaimana mereka berada di jalur yang sama dengan
anarkisme. Mereka mengajarkan ketidakpatuhan terhadap kerajaan dan gereja,
menganggap kekuasaan sebagai kejahatan dan mendorong kepemilikan bersama.
Aktivitas kelompok free
spiritmenunjukan kesadaran diri akan hubungan antara kekuasaan dan
birahi, karenanya mereka tidak memisahkan yang seksual dari yang politis.
Pemberontakan seksual yang mereka lakukan juga berangkat dari pembangkangan
politik dari arah cita-cita mereka.
Sepanjang sejarah, pemberontakan seksual selalu kental dalam
tradisi anarkis. Pun, masalah seksualitas memang lebih banyak disoroti dan
diulas dalam teks-teks pemikiran anarkisme dibandingkan dalam teks marxis
orthodok. Sayangnya, sepanjang perjuangan revolusioner, isu seksualitas, gender
dan cinta seringkali menjadi permasalahan yang terpinggirkan bagi kelompok ini
(marxis). Ia dianggap tidak penting dan tidak mendesak, serta dengan nyinyir
dianggap berlandaskan pada egoisme serta individualitas. Pada banyak contoh,
kita bisa melihat secara terang-terangan peminggiran isu ini. Pemerintahan
komunis Rusia pasca Revolusi 1917 misalnya, menyapu bersih peraturan reaksioner
menyangkut isu-isu seks dan gender lalu menggantinya dengan aturan pernikahan
yang baru. Perceraian dipermudah, keluarga-keluarga tanpa nikah diberi hak
hukum penuh, aborsi dan homoseksualitas dilegalkan. Namun saat politik
otoritarian Bolshevik semakin kuat, seiring dengan kolapsnya revolusi
kebudayaan Rusia dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, aturan radikal tersebut
dicabut kembali. Sikap resmi Soviet terhadap seksualitas akhirnya tak banyak
berbeda dengan sikap negara-negara Eropa Barat lainnya.
Tidak lama pada masa yang sama di Austria, seorang psikolog
sosial dan juga anggota Partai Komunis Austria, Wilhelm Reich, membuka
klinik-klinik seks milik partai di wilayah Wina. Tetapi malah diberangus oleh
aparatus partai karena dipandang mengalihkan perhatian dari tujuan utama
revolusi. Partai menutup telinganya dari argumentasi Reich bahwa bahwa sebuah
represi ideologi kapitalisme telah terinternalisasi dalam diri masyarakat, dan
sesuai dengan garis filsafat materialis Marxis, penindasan individu pun telah
dianggap menjadi bagian dari kodrat manusia. Menurut Reich, orang-orang
dikondisikan selama masa kecil untuk menghindari melakukan tindakan-tindakan
yang alami dan spontan –terutama tindakan seksual. Di dalam tatanan seperti ini
anak-anak akan merasakan kegelisahan terhadap kenikmatan, sebuah ketakutan akan
rasa senang, yang dapat benar-benar merusak kapasitas untuk mendapat orgasme
yang menyeluruh dan lengkap. Dalam keadaan tidak mampu merasakan kenikmatan
alamiah ini, para individu bersembunyi di dalam tindakan-tindakan yang aman dan
tidak beresiko. Ia akan mencari keamanan di sebuah sistem yang mengatakan pada
mereka apa yang harus dilakukan. Ia melawan yang alamiah dan spontan sampai
mereka dipenuhi rasa takut akan yang hidup dan kebebasan, bahkan cenderung
menyangkalnya.
Reich bukanlah anarkis, tapi teori awalnya perihal seksualitas
manusia –dipengaruhi oleh Marxisme dan kesadaran bahwa ideologi bisa menjadi
kekuatan material- telah diadopsi oleh anarkisme sebagai jalan untuk memahami
mengapa orang tidak menolak bentuk otoritas yang jelas-jelas merusak kapasitas
mereka untuk menikmati kediriannya. Karena itu, ia juga menganjurkan
seksualitas masa remaja dan masturbasi sebagai aktivitas yang sehat, dan atas
anjuran ini ia kemudian dikeluarkan dari Partai Komunis pada awal 1930’an.
Reich menghentikan aktivitas politiknya dan menjadi gila karena “gagasannya
dibunuh”.
Peminggiran isu-isu ini mendapatkan tentangan hebat, seperti
Raoul Vaneigem, seorang sastrawan avant-garde anarkis, yang dengan kasar
memprotes kebodohan ini: “Mereka yang bicara tentang revolusi dan perjuangan
kelas dengan merujuk pada hidup sehari-hari,” tulisnya dalam The Revolution of Everyday Life,
“tetapi tanpa memahami daya subversif cinta dan hal-hal positif yang timbul
dari penolakan akan kekangan, sesungguhnya mulut mereka bau bangkai.” Intinya,
Vaneigem menekankan bahwa sebuah perubahan sosial sifatnya haruslah
multi-sektoral, atau menyangkut banyak bidang, termasuk seksualitas dan gender.
Saya punya kegelisahan soal permasalahan gender dan seksualitas.
Karena itu dalam tulisan ini, saya hendak membahas konsekuensi kompleks
hubungan antar kelas dan hierarki, serta fakta bahwa isu-isu seksualitas dan
birahi terkait erat dengan kenyataan atas kekuasaan politik serta masalah
otoritas dan kepatuhan. Saya terang-terangan menolak segala jenis kekangan
sosial-budaya dan struktur hierarkis dalam bentuk paksaan psikologis dan
pengkondisian gender, bahwa birahi coba dikontrol oleh kuasa (negara), dosa
(institusi agama), dan modal (kapitalisme). Karena itu upaya menghancurkan
kekuasaan dan meredistribusikannya, seperti diinginkan para anarkis, tidak bisa
melepaskan dirinya dari persoalan ini.
Pemerintahan terpusat hanya akan memberikan dampak buruk bagi
seksualitas warganegaranya, karena itu ia harus dibubarkan, dan digantikan
dengan demokrasi dari pemerintahan mandiri. Walaupun Reich seorang komunis,
anjurannya sangat selaras dengan yang diinginkan para anarkis. Menurut Reich,
bentuk masyarakat yang ideal adalah ketika para individu yang bebas dari
otoritas, ketergantungan dan kekejaman, yang hanya dapat dicapai dengan
dihapuskannya pernikahan kompulsif serta keluarga yang patriarkal, sistem yang
paling represif. Dalam masyarakat macam ini, orang-orang perlu diyakinkan bahwa
seharusnya menikmati seks tanpa harus takut oleh kemungkinan hamil dan campur
tangan yang lain.
Saya tidak bermaksud untuk menyarankan sepasang siswa laki-laki
dan perempuan sekolah menengah atas untuk melakukan hubungan seks. Lebih
tepatnya, mereka harus diberikan kebebasan untuk melakukannya atau tidak. Jika
tidak, mereka bisa dikenalkan pada masturbasi, dan sekiranya mereka tidak
nyaman dengan itu, maka tidak perlu ada pemaksaan. Biarkanlah birahi muda
sebagai hasrat tidak tersumbat, dan keputusan yang mereka ambil -berhubungan
seks atau tidak- berdasarkan kontrol penuh dan kesadaran atas dirinya. Dengan
demikianlah kemerdekaan sudah diraih sejak sangat muda, jauh dari kemunafikan
manusia dewasa yang mengontrol pemikirannya.
Kontrol ini, di banyak wilayah, berbentuk kewajiban pernikahan
yang berbeda jenis kelamin (heterosexual) dan yang menuntut
komitmen kesetiaan terhadap satu pasangan seumur hidupnya (monogami).
Sistem seperti ini sama sekali tidak menghendaki kebebasan seksual, dan
otoritas seringkali mengganggap ilegal praktik-praktik yang dianggap
menyimpang. Di beberapa negara, praktik hubungan personal dan seksualitas akan
dikriminalisasi oleh negara, atau pelakunya dilempari batu hingga mati. Kenapa?
Apa kepentingan negara dalam mengurus selangkangan? Negara tidak layak mengurus
selangkangan. Pada kenyataannya, ia tidak layak dan seharusnya tidak boleh
untuk mengatur apapun, ia layak untuk dibubarkan. Negara adalah penyumbat
birahi. Ia memantau penuh bagaimana seorang laki-laki memperlakukan penisnya.
Walau saya bukan seorang homoseks, saya menolak keras pelarangan hubungan
homoseksual oleh negara. Tidak ada yang lebih penting ketimbang pemuasan hasrat
dan birahi seorang manusia, sesuai dengan standar kenyamanan dan keinginannya.
Anehnya, manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup di muka bumi
yang mengembangkan prosedur birahi yang membutuhkan legitimasi kelompok
berkuasa serta seperangkat peraturan dan syarat-syarat sosial-budaya kompleks
supaya diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang alamiah ini. Dengan alasan
apa? Dengan moral budaya dan prinsip keagamaan. Dengan alasan tersebut
peraturan-peraturan ini dibentuk untuk mengurus penis dan vagina. Tuhan dan
dewa -jika pun ada-, biasanya menentukan suatu prasyarat dan prosedur untuk
melakukan sebuah hubungan seks. Tapi bukan agama (semata) yang melakukan
pengekangan terhadap seks, tapi institusi keagamaan yang dibantu negara. Negara
adalah alat legal-formal yang dipakai sekelompok orang yang mengaku tak
berdosa, memaksakan peraturan keagamaan menjadi koersif, dengan alasan “supaya
orang lain tidak berdosa.” Orang-orang yang demikian kiranya mengaku sebagai
Tuhan, atau melakukan penghakiman atas nama Tuhan. Agama harusnya biarlah
menjadi urusan masing-masing individu untuk beragama atau tidak, serta mematuhi
aturannya dan menjauhi larangannya tanpa sebuah “otoritas fisik”. Sebab Tuhan
jelas bukanlah sesuatu yang bersifat non-fisik, maka otoritasnya tidak perlu
disalurkan melalui manusia dan biarlah segala konsekuensi secara individual
menjadi intim sifatnya.
Bahkan seandainya segala bentuk pernikahan diperbolehkan,
pernikahan sendiri adalah bentuk penindasan. “Pernikahan adalah kegagalan,”
tulis Emma Goldman, feminis anarkis, dalam esainya Marriage and Love. Sebab
pernikahan menuntut kesetiaan hingga mati dan menurutnya, kita tidak pernah
belajar dari statistik bahwa angka-angka perceraian sangat tinggi. Dedengkot
anarkis yang lain, William Goodwin, dalam karyanya Enquiry Concerning of Political Justice,
juga meluncurkan gugatan kepada pernikahan, sebuah intitusisasi hubungan
personal. Goodwin menilai jelek perkawinan sebagai “kepemilikan terburuk.”
Baginya, perkawinan berusaha -dan biasanya gagal- membuat pilihan dari masa
lalu menjadi permanen. Menurut Goodwin, hubungan personal seharusnya didasari
atas kesetaraan dan persahabatan, bukannya pembatasan yang posesif.
Begitulah, saya setuju dengan keduanya. Saya benci membagi cinta
menjadi jenis-jenis, seperti cinta kepada pasangan, keluarga, sahabat atau
Tuhan. Cinta itu hanya satu, yaitu cinta. Seharusnya kita memperlakukan setiap
anak sebagai anak kita, serta setiap perempuan sebagai istri dan setiap
laki-laki sebagai suami. Bukan bermaksud untuk menjadikan semua orang sebagai
anak, istri atau suami, tapi kita punya hubungan personal yang spesial dengan
orang lain, tanpa mengurangi rasa cinta kita kepada setiap orang. Sayangnya,
pernikahan tidak memungkinkan hal ini. Ia memenjarakan hasrat dan birahi,
membatasi kasih sayang dan mengutamakan kepentingan keluarga di atas
orang-orang lain.
Saya memiliki seorang sahabat laki-laki, saya begitu mencintai
dia karena kepintarannya, hampir sama besarnya seperti saya mencintai pacar
saya. Tetapi apakah saya pernah berhubungan seks dengannya? Tentu saja tidak.
Saya tidak akan melakukan itu, sahabat saya itu biarlah saya cintai dan
lindungi dan biarlah kami berbagi sumber daya untuk saling mencukupi. Dan ini
indah.
Bagi saya cinta cuma satu jenis, dan ia bisa dipisahkan atau
disatukan dengan perilaku seksual. Seks bisa saja dengan atau tanpa cinta dan
sebaliknya. Bahkan saya terbuka menyatakan kepada pacar saya bahwa dia punya
kebebasan untuk melakukan hubungan seks dan mencintai orang lain yang dia
inginkan. Karena cinta saya jauh melampaui hubungan monopoli hubungan seks. Dia
marah, dan menganggap ucapan saya hanya sebagai legitimasi supaya saya juga
dapat diperbolehkan melakukan hubungan seks dengan perempuan lain. Tapi ini
benar! Terkadang saya bosan berhubungan seks dengan dia, atau menjalani
hari-hari penuh kemarahan. Di satu sisi saya punya kesempatan terkadang, walau
jarang sekali, untuk dapat berhubungan seks dengan perempuan lain. Tapi
hubungan “pacaran” yang mirip-mirip pernikahan ini, menuntut komitmen mutlak
akan kesetiaan dan menghindari perselingkuhan. Bagi saya ini pengekangan.
Bagaimana jika ia lagi menstruasi atau tidak menginginkan seks? Bagaimana jika
kami sedang menghadapi hubungan jarak jauh?
Ketika kami melakukan hubungan jarak jauh, dia kemudian mengakui
bahwa sedang mencintai laki-laki lain tetapi masih mencintai saya, dan bimbang
untuk apakah harus terus melanjutkan hubungan pacaran ini dengan saya. Saya
tidak tahu apakah dia melakukan hubungan seks dengan laki-laki tersebut atau
tidak, saya tidak mempermasalahkannya. Saya kesal dan karena itu saya menjadi
heran, mengapa menjadi kontradiksi? Bukankah saya memberikan kebebasan bagi
dirinya untuk mencintai dan berhubungan seks dengan orang lain, dan saya dapat
melakukan hal yang sama kepada dirinya dan orang lain? Lalu apa yang melatarbelakangi
kekesalan itu? Pernikahan, atau pacaran, merupakan bentuk monopoli terhadap
alat reproduksi dan afeksi. Ketika seseorang memutuskan akan berpisah,
pasangannya tidak akan benar-benar kehilangan dia dan bisa tetap akan
mencintainya.
Tetapi hubungan pacarannya dengan orang lain akan memutuskan dan
membatasi tindakan afeksi lain yang semakin berkurang. Misalnya, dengan status
“pacaran” dia dengan laki-laki baru, saya tidak bebas untuk memeluk tubuhnya
saat tidur atau berangkat ke pasar untuk bahan masakan hari itu. Saya juga akan
kehilangan satu orang yang istimewa untuk berbagi cerita. Saya juga akan
kehilangan sebuah proses berbagi sumber daya dan tenaga, seperti ketika saya
harus merawat rumah tanpa dia dan sebaliknya. Kami bisa berbagi tugas manakala
salah satu dari kami sedang sibuk. Saya kehilangan itu semua, karena dia
berpacaran dengan yang lain. Saya bisa melakukan itu dalam hubungan saya, tapi
itu tidak akan terjadi lagi dalam hubungannya dengan laki-laki lain. Selain itu
hal ini akan memutus akses saya kepada vaginanya. Sama seperti perebutan alat
produksi, seks adalah upaya merebut alat reproduksi, yaitu penis dan vagina.
Inilah pabrik dan lahan dalam memproduksi keturunan, yaitu anak-anak manusia
yang meneruskan kehidupan dan peradaban manusia.
Padahal apa hubungan seluruh kegiatan di atas dengan pernikahan
atau pacaran? Apa kaitan antara cinta, seks dan pernikahan? Bukankah semuanya
bisa dilakukan tanpa status yang mengekang? “Pernikahan dan cinta tidak
memiliki kesamaan; mereka terpisah jauh bagaikan dua kutub; pada kenyataannya,
bahkan bertentangan satu sama lain,” tulis Goldman. Saat ini, segala
hubungan-hubungan di atas telah dibatasi, dikekang dan dilarang hanya ke dalam
bentuk pernikahan. Demikianlah bagaimana kira-kira pernikahan, memenjarakan
hasrat dan birahi, membatasi kasih sayang.
Saya tidak bermaksud mendukung dan menolak pernikahan, atau
dalam bentuk tertentu, berpacaran. Tapi biarlah pernikahan itu sifatnya bebas.
Biarkan yang lain, yang merasa memiliki komitmen untuk menikah, sementara
biarkan yang lain untuk tidak menikah. Biarlah saya mencintai pacar saya,
menidurinya dan menyayanginya dan saya bisa melakukan itu kepada beberapa
perempuan lain, tapi bukan kepada semua perempuan, kecuali yang saya cintai.
Begitu pula sebaliknya dengan pasangan saya yang dapat melakukan hal yang sama.
Beberapa orang menginginkan cinta yang tunggal (monoamor) kepada satu pasangan,
dengan jaminan kesetiaan dan komitmen dari perjanjian-perjanjian yang
disepakati diawal. Sementara ada yang membenci komitmen kesetiaan tapi sangat
mendukung penyatuan yang utuh. Artinya, cinta bisa dilakukan dengan atau tanpa
pernikahan yang mengekang, karena bisa saja setiap orang mencintai beberapa
orang yang lain bersama-sama (poliamor). Apapun pilihannya,
semua dikembalikan kembali kepada individu dan pasangannya.
Jika demikian, apa lagi tujuan pernikahan?
Bagian II
Pernikahan pada mulanya adalah sebuah hubungan personal yang
alamiah antara pasangan atau kelompok yang kemudian terinstitusikan dan
membutuhkan legitimasi otoritas. Otoritas ini bentuknya beragam, mulai dari
lembaga-lembaga adat hingga negara. Kita membutuhkan selembar kertas untuk
dapat melakukan hubungan seks, serta ritual-ritual dari tradisi turun-temurun.
Di luar itu, maka melakukan tindakan tersebut adalah perilaku menyimpang,
melanggar hukum, dan dosa. Dialah “seks bebas”. Pada dasarnya, istilah “seks
bebas” sendiri adalah ngawur dan mengada-ada. Ia justru menunjukan kepada kita
bahwa sistem menginginkan “seks yang tidak bebas”. Mengapa? Bukankah hubungan
seks adalah sebuah tindakan alamiah paling dasar sebagian besar jenis spesies
di bumi ini? Bukankah tindakan ini juga bernilai sama mulia dan sucinya seperti
makan, minum dan tidur: untuk bertahan hidup dan menghasilkan keturunan? Jika
tindakan ini seharusnya cukup terjadi atas kesepakatan dan kesukarelaan
pelakunya, mengapa pula membutuhkan pengakuan?
Pernikahan menjadi diperlukan dan diakui, karena di dalam sistem
kapitalisme, anak-anak dan perempuan membutuhkan perlindungan dari laki-laki.
“Perlindungan” ini adalah bagaimana keberlangsungan hidup anak dapat diamankan
dengan pendapatan keluarga, kepemilikan pribadi dan warisan properti. Ia adalah
bentuk untuk mengamankan kepemilikan suatu kelompok, memonopoli kesejahteraan
dan kebahagiaan, dengan demikian pernikahan adalah pakta asuransi. Kapitalisme
telah mereduksi banyak area kehidupan menjadi serangkaian transaksi pasar yang
berlaku universal, sehingga hampir semuanya punya harga tapi sangat sedikit
yang punya nilai.
Dengan logika berpikir seperti di atas, pernikahan muncul
setelah kepemilikan pribadi. Masyarakat komunal-primitif, tidak memerlukan
prosedur dan prasyarat untuk menjalin hubungan personal dan seks. Kita sama
seperti makhluk hidup lain, bisa jadi laki-laki berebut untuk mendapatkan
perempuan, seperti biasa kita saksikan pada binatang lain. Atau, jika tidak
terjadi perebutan, maka sebuah hubungan tercipta secara sederhana, sepasang
manusia purba berinteraksi dan saling tertarik, dengan demikianlah mereka
berhubungan seks dan menghasilkan keturunan. Saat itu, semua sumber daya
dimiliki seluruh makhluk hidup dan dapat dinikmati bersama.
Semua berubah ketika kita menemukan pertanian. Terjadi surplus
produksi, pembagian kerja berdasarkan gender dan terciptanya kekuasaan, maka
saat itulah saya kira pelembagaan hubungan personal tercipta. Manusia dibudakan
untuk pertama kalinya dengan adanya pengelolaan lahan dan kemudian
pembangunan-pembangunan lainnya. Seseorang yang berkuasa, hendak mewarisi
kekuasaannya sebagai raja atau kepala suku kepada anaknya, dengan atau tanpa
legitimasi dewa-dewa dan Tuhan, melalui perkawinan. Sementara saat zaman
kapitalisme seperti ini, semua dilanjutkan untuk mewarisi harta.
Karena pernikahan dengan kepemilikan pribadi, kita mengembangkan
suatu model aneh untuk menarik perhatian lawan jenis. Beberapa binatang harus
menarik perhatian pasangan dengan perilaku, tindakan dan bentuk fisiknya.
Beberapa burung jantan di Papua menari, atau singa jantan berkelahi untuk
merebutkan sekelompok singa betina, serta banyak lagi. Sementara dalam
kehidupan manusia dengan sistem kapitalisme, setiap orang harus berkerja
sehingga memiliki kekayaan dan properti, dan sialnya ini yang dijadikan daya
tarik untuk mendapatkan pasangan, dengan alasan perlindungan dan jaminan
keberlangsungan hidup. Dengan demikian, manusia harus saling menjegal satu sama
lain dengan mengumpulkan sebanyak mungkin harta.
Padahal, di dalam kompetisi yang terjadi, seperti Darwin bilang,
yang terkuatlah (dalam artian yang mampu beradaptasi) yang menang, dan ketika
ada yang menang, maka ada yang kalah. Demikianlah, saya tidak perlu menjelaskan
lebih jauh, sebab literatur soal ini banyak tersedia, bahwa kapitalisme justru
mengekalkan kesenjangan sosial dan kemiskinan. Hal ini jelas sangat tidak adil.
Beberapa orang saling mencintai, namun karena pertimbangan ekonomis semata,
mereka menjadi kesulitan untuk menjalin hubungan yang mereka inginkan. Beberapa
pasangan berpisah karena tekanan keluarga akan jaminan masa depan dan mobilitas
sosial untuk naik ke strata atau kelas yang lebih tinggi. Sudah miskin harta,
miskin cinta pula. Aih, kapitalisme.
Sistem ini berdampak lebih buruk bagi perempuan. Karena
patriarki, mereka terdomestikasi dengan melakukan kerja-kerja rumah tangga, dan
tidak dapat mengumpulkan kekayaan melalui karir atau pendidikan. Dengan
demikian, sistem ini menjadikan perempuan sangat bergantung kepada laki-laki.
Perempuan pada akhirnya tidak ubahnya sebuah komoditas, yaitu bisa didapatkan
dengan seberapa banyak harta yang dimiliki seorang laki-laki. Jelas, seorang perempuan,
atau keluarganya, mengambil keputusan yang terpaksa karena pertimbangan
ekonomis semata. Namun masyarakat menyalahkannya, seolah-olah mereka dilahirkan
untuk menjual vaginanya untuk kekayaan, alias “murahan”. Beberapa perempuan
dengan kejujuran dan rasa kasihnya yang mendalam sebagai layaknya seorang
manusia, melanggar prinsip-prinsip di atas. Ia memberontak melawan sistem, lalu
memilih mencintai laki-lakinya sepenuh hati walaupun ia miskin serta tanpa
jaminan masa depan. Tetapi dalam sistem seperti ini, berpasangan dengan
mengambil resiko itu bisa jadi adalah tindakan bunuh diri.
Pernikahan menjadi salah satu metode yang diperlukan untuk
mempertahankan kapitalisme, sebab di dalam sosialisme, ketika seluruh alat
produksi dikuasai dan dikelola bersama untuk mencukupi kebutuhan bersama, jelas
sekali kehidupan setiap anak dan istri akan terjamin. Semua aktivitas ekonomi
akan dilandasi dengan prinsip kemampuan dan kebutuhan, bukan pada penawaran dan
permintaan. Di saat itulah keadilan ekonomi tiba, dan keadilan gender dan
seksualitas menyusul. Apa yang dimaksud dengan “perlindungan” dalam pernikahan
sama sekali tidak dibutuhkan lagi.
Baru-baru ini, kapitalisme juga memancing terjadinya
pemerkosaan. Dalam sistem yang barbar, pemerkosaan terjadi karena pemuasan
semata-mata. Sementara dalam sistem feodal, pemerkosaan terjadi “menjadi resmi”
karena proses transaksi keluarga tuan tanah dengan petani penggarap. Sementara
dalam kapitalisme, pemerkosaan terjadi karena ketimpangan penguasaan alat
produksi dan properti. Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia pada akhirnya
membutuhkan modal untuk memenuhi birahinya melalui pernikahan. Ketika ia tidak
menikah atau tidak mendapat pasangan karena kemiskinannya, dengan demikian ia
menahan birahinya, menjadi meledak-ledak tidak terkendali.
Saat ini, kehidupan prostitusi adalah jalur alternatif untuk
menyalurkan birahi, dan bagi perempuan, menjadi alternatif tambahan untuk
mendapatkan pemasukan bagi makan keluarga. Tetapi dengan berbagai pertimbangan
bodoh, negara akhirnya menutup tempat-tempat prostitusi sebagai jalan keluar
yang cepat dan mudah. Prostitusi adalah jalur pemuasan birahi terakhir, dan
ketika prostitusi coba dimusnahkan, rakyat menggelinjang kehebatan. Negara
sudah menghambat satu-satunya jalur birahi sebagai sebuah kebutuhan alamiah
manusia, dan akhirnya memperbanyak masturbasi bagi rakyatnya. Beberapa orang
tidak menginginkan masturbasi, ia menginginkan seks. Dan ketika segala
jalur-jalur birahi tersumbat, beberapa orang memilih melakukan pemerkosaan. Ya,
pemerkosaan, pemaksaan sebuah hubungan seks tanpa cinta dan persetujuan
pelakunya. Dan lagi-lagi, perempuan yang acapkali menjadi korbannya. Pada
pemerkosaanlah seharusnya istilah “seks yang tidak bebas” ditujukan.
Saya menentang prostitusi, tapi dalam kondisi seperti ini, saya
tidak akan mendukung pelarangannya. Prostitusi adalah sesuatu yang dilematis,
karena kita harus mempertimbangkan lebih dekat bagaimana orang-orang, baik
laki-laki maupun perempuan, terpaksa menjual tubuhnya. Apa potensi dan
kemampuan yang dimilikinya dalam sistem kapitalisme saat ini? Apakah sistem
kapitalisme mengakomodirnya? Jawab pertanyaan tersebut, maka kita dengan jelas
melihat bagaimana seorang perempuan miskin yang tidak pernah bersekolah
terpaksa menggunakan satu-satunya modal yang dimilikinya: tubuh. “Tubuh adalah
modal,” ujar kapitalisme. Alih-alih menutup tempat hiburan malam, dan membuat
penyakit kelamin tersebar luas, seperti dilakukan negara, alangkah baiknya jika
kita menghancurkan kapitalisme.
Di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara yang kondisi
kapitalisme lebih maju, mereka justru sedang menghadapi keadaan yang
menyedihkan. Kapitalisme semakin merayakan individualitas (saya merujuk pada
orang-orang yang semakin terisolasi, tercerabut secara sosial), karir dan kepemilikan
properti mereka. Pernikahan adalah sebuah metode untuk mengamankan kekayaannya,
tetapi di satu sisi mereka juga menyadari bahwa pernikahan adalah bentuk
pengekangan. Pernikahan adalah sebuah masa penuh kebosanan, dan mereka terlalu
sibuk berkarir. Dengan kekayaannya, mereka merasa bisa mendapat pasangan yang
dianggap jauh lebih baik kondisinya. Karena itu perceraian dan perselingkuhan
sangat mudah sekali.
Masyarakat macam ini mengalami semacam momentum ketiadaan,
kesia-siaan, dan mereka mendapati hidup menjadi seperti tanpa tujuan. Setelah
semuanya, pertanyaan yang muncul adalah, lalu apa? Bahkan tidak sedikit yang
meragukan, bahwa cinta memang benar-benar ada. Bayangkan, cinta, tidak ada?
Kasihan!
Sementara dalam masyarakat di Indonesia, kondisinya jauh lebih
mengekang ketimbang di negara-negara Eropa dan Amerika. Kita adalah kapitalisme
dengan kemiskinan. Umumnya, pernikahan akan menjadi sangat penting, supaya bagi
seorang perempuan mereka bisa hidup dengan aman dan sejahtera. Bagi laki-laki,
supaya ia bisa mendapatkan perempuan. Sementara bagi orang tua, supaya jaminan
bagi anaknya dan keturunannya kelak bisa lebih aman. Semuanya diperburuk dengan
berbagai tradisi lokal yang sebenarnya tidak perlu lagi dipertahankan. Kita
menghadapi kenyataan yang pahit pula, sebab bagi perempuan yang miskin,
pemerkosaan adalah “pemerkosaan yang ilegal”, sementara pernikahan adalah
“pemerkosaan yang dilegalkan”. Di Asia Selatan dan Timur Tengah, negara dengan
kemiskinan akut, angka bunuh diri karena nikah paksa cukup tinggi.
Aborsi, juga, seringkali justru diciptakan tanpa sengaja oleh
bentuk masyarakat seperti ini. Sama seperti pelacuran, aborsi adalah
permasalahan yang dilematis. Nilai moral masyarakat menghendaki birahi
tersalurkan dalam pernikahan. Karena itu remaja disalahkan karena melakukan
seks di luar nikah. Masyarakat terlalu munafik bahwa seks adalah alamiah, dan
ia akan dialami setiap manusia sesuai perkembangannya, bisa saja lebih cepat
atau lambat. Kekangan ini, seperti saya jelaskan sebelumnya, menciptakan
pemerkosaan atau hubungan seks yang memang disepakati kedua belah pihak. Dan
ketika terjadi kehamilan, maka kedua remaja yang sedang dijatuh cinta dan
birahi ini harus bertanggungjawab atas janin di rahim. Ketika mereka ketakutan,
aborsi adalah jalan keluar terakhir. Bahkan seandainya mereka berangkat dari
latar belakang keluarga yang mampu, rasa malu dan kehormatan keluarga bisa jadi
menuntut pasangan muda untuk aborsi. Pada kasus lain, seorang yang sudah
berkeluarga namun miskin, memilih untuk aborsi karena ketidakmampuan finansial.
Dalam masyarakat kapitalis, semuanya berbayar dan mahal. Anak bisa jadi
dianggap sebuah bencana finansial karena menambah pengeluaran. Sementara dalam
keluarga kaya, aborsi bisa saja dilakukan perempuan karena dianggap akan mengganggu
karirnya. Lihat?
Sekali lagi saya juga menentang aborsi. Dan sekali lagi, kita
juga tidak boleh munafik dengan kenyataan bahwa aborsi seringkali dilakukan
karena pertimbangan ekonomi. Dalam posisi yang dilematis, saya mendukung
aborsi. Tapi ketimbang membahas boleh atau tidaknya aborsi, alangkah baiknya
jika kita, dan takan pernah bosan untuk saya tekankan sekali lagi, memikirkan
ulang cara menghancurkan kapitalisme. Jelaslah bahwa masyarakat yang patriarkal
dan kapitalisme yang menyebabkan aborsi. Keduanya bersekutu untuk membunuh
seorang bayi yang belum melihat dunia, dan tidak mengenal apa yang para puritan
sebut dengan “dosa”. Negara dan institusi agama justru memperburuk semuanya,
menyalahkan seks yang tidak bertanggungjawab, berdosa, binal dan buruk.
Terpujilah bayi-bayi yang digugurkan, sebab ia tidak perlu merasakan penindasan
dan kemiskinan dari kehidupan yang macam neraka seperti sekarang ini. Bayi-bayi
yang digugurkan adalah sebuah kebebasan sejati. Saya saja ingin sekali tidak
dilahirkan. Bagi saya yang sudah terlanjur lahir, mati muda adalah kenikmatan.
Apalagi perubahan sosial tidak kunjung tercipta, mati untuk memperjuangkan
kebebasan yang saya percayai adalah jauh lebih baik. Karena itu bayi-bayi yang
digugurkan jauh lebih beruntung. Kematian mereka begitu hidup.
Bagian III
Selain pada ajaran free
spirit, pemberontakan seksual bisa kita lihat pada sekelompok
anarkis yang memilih untuk menolak mengikuti perang dan membangun komunitas
yang saling membantu, di tengah perbudakan dan perang sipil di Amerika pada
1830’an. Mereka adalah kelompok Para Penarik Diri (The Come-Outers) yang punya
pengaruh yang kuat di daerah Cape Cod. Penolakan mereka kepada perbudakan di
bagian selatan berkembang dan berujung pada ketidakpercayaan mereka kepada
gereja, juga pemerintah dan tiap bentuk belenggu sosial, termasuk perkawinan
dan ketidaksetaraan divisi seks. Banyak dari mereka yang menolak untuk menikah
dan mengikat dirinya dengan sumpah-sumpah, lalu menikah lewat sebuah upacara
perkawinan yang dibuat oleh teman-temannya sendiri.
Pada 1930’an, seorang anarkis Spanyol, Fransisco Ferrer,
mendirikan sekolah moderen (La Escuela Moderna) di
Barcelona, sekolah yang mempraktikkan pencampuran murid laki-laki dan
perempuan. Kala itu, anak laki-laki dan perempuan di Eropa harus dipisahkan dalam
kegiatan sekolah yang dikelola oleh Gereja Katholik. Ferrer menolak sekolah
oleh gereja, sebab menurutnya, penguasa selalu berusaha untuk menjadi
pengontrol pendidikan dari masyarakat. Demikianlah baginya sekolah adalah
sebuah instrumen dominasi dari kelas penguasa. Dengan bantuan Emma Goldman,
sekolah moderen akhirnya berkembang pula di Amerika Serikat, dimana Ray Miller,
menjadi muridnya. Ia menulis, “Anak laki-laki dan perempuan berenang telanjang
bersama untuk menjadi alami dan menghindari pemisahan. Aku pikir hanya
anarkislah yang memiliki perilaku tepat dalam menghargai hidup. Hubungan
personal merupakan sesuatu yang penting. Orang-orang diizinkan untuk
mengembangkan potensi-potensi mereka sendiri. Kamu tidak hidup dengan
aturan-aturan kaku, namun dapat melakukan yang kamu inginkan, selama kamu tidak
mengganggu hak dari orang lain.[2]”
Pemberontakan seksual seringkali dianggap mereduksi perjuangan
kelas menjadi
mementingkan kontol belaka, sehingga tergelincir dan
melupakan sesuatu yang sifatnya politis. Bagi kebanyakan orang, penguasaan alat
reproduksi (seks) tidak memberikan perubahan signifikan terhadap penguasaan
alat produksi, tetapi justru sebaliknya. Mereka melakukan “revolusi” dalam
ruang privat, dan melupakan bahwa yang privat ini sebenarnya sama sekali tidak
otonom, dikontrol sesuatu dari ruang publik. Bercinta, menolak pernikahan,
homoseksualitas, busana yang sesuka hati, atau bahkan bertelanjang, adalah
tindakan subversif yang terjebak menjadi aksi keren-kerenan belaka. Murray
Bookchin dalam esainyanya Social
Anarchism or Lifestyle Anarchism, menilai aksi subversif macam ini
–betapapun keras mereka menentang hierarki dan kapitalisme, semuanya sungguh
mudah diserap ke dalam kemapanan budaya yang mampu mengatasi
kontradiksi-kontradiksinya dan membuatnya terlihat garang, namun sepenuhnya
aman. Dengan pedas Bookchin menyebutnya sebagai “anarkisme gaya hidup.” Menari
telanjang di pinggir jalan raya adalah suatu bentuk pemberontakan seksual, dan
membuat geger masyarakat, tetapi pada kenyataannya, aksi subversif macam ini
tidak akan menghancurkan negara.
Memang benar demikian, lalu kenapa?
Saya sama sekali tidak menyarankan bahwa menempatkan isu-isu
seksualitas dan gender menjadi isu utama atau menggantikan perjuangan politik,
atau bahwa orgasme hebat pasangan pekerja bisa membuahkan revolusi yang lebih
baik. Tapi kita tidak boleh menjadi anarkis yang puritan, yang menganggap bahwa
sebuah revolusi adalah melulu perjuangan kelas. Bukankah berhubungan seks di
ruang publik hampir sama berbahayanya dengan memanggul senjata? Ferrer
misalnya, ditembak mati oleh pemerintah fasis Spanyol, atas tuduhan sebagai
dalang pemberontakan anarko-sindikalis di Barcelona, bahkan walaupun dia tidak
berada di Barcelona. Belakangan diketahui bahwa Vatikan sendiri yang
menginginkan Ferrer dieksekusi karena pendidikan yang mencampur jenis kelamin
dan dianggap menyelenggarakan pendidikan yang menentang Tuhan. Lucu sekali,
Ferrer bahkan tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Untuk takut dengan sesuatu
yang tidak ada? Sementara itu, Marguerite Porete, seorang penganut free spirit seperti dijelaskan pada awal tulisan,
dibakar hidup-hidup pada 1310 karena aktivitas pergerakannya. Walau demikian,
karyanya, Mirror of Simple Souls, tetap
disebarkan secara sembunyi-sembunyi selama beberapa abad.
Pemberontakan seksual macam ini jelas-jelas tidak mengancam
sistem, tapi dia menabrak nilai-nilai yang menjadi fondasi sistem tersebut.
Pemberontakan seksual bagaimanapun juga adalah sebuah pemberontakan politik. Ia
tidak dapat dipandang remeh. Remeh, sebab banyak dari kita tidak sadar bahwa
kondisi saat ini sedikit lebih baik ketimbang para pembangkang seks itu. Tapi
mereka, para buyut kita, harus dibakar hidup-hidup untuk memperjuangkan
kebebasan itu. Dan saya kira kontribusi mereka terhadap kebebasan yang
diwariskan kepada kita ini tidaklah kecil. Tapi ini belumlah cukup.
Memang, revolusi tidak semudah cocot-nya
Bookchin. Perubahan sosial bagaikan memasak air. Seberapa cepat air berubah
menjadi uap karena pendidihan dipengaruhi oleh seberapa besar api yang
dinyalakan atau seberapa banyak air yang dimasak. Api ini bisa dimulai dari
hal-hal paling sepele, seperti merebut “kuasa atas birahi”. Karena itu,
seksualitas adalah pemberontakan dan air akan mendidih hanya jika api
dinyalakan. Seluruh pandangan radikal ini jelas akan melanggar hukum negara dan
nilai-nilai moral masyarakat saat ini. Sebab bagaimanapun juga, kebebasan adalah
manusia yang akan menjungkirbalik dunia, maka tak heran bila ia menuai musuh.
Tapi bagaimana merebut dan mempertahankan kebebasan itu, kuasa atas birahi?
Feminis liberal menginginkan hak memilih bagi perempuan, upah
layak, serta akses pada lapangan pekerjaan dan pendidikan. Tapi tuntutan
tersebut, sebenarnya sama sekali tidak menyelesaikan masalah, sebab ia hanya
memoles sebuah proses eksploitasi dengan wajah yang lebih manusiawi dengan
langkah-langkah reformis. Bukankah kapitalisme membutuhkan semua tenaga kerja
–baik laki-laki dan perempuan- dalam proses eksploitasinya? Lagi pula,
membiarkan perempuan berkarir sama sekali tidak membantu menghilangkan proses
domestifikasi pada perempuan, sebab keluarga kelas menengah atas tetap akan
menyewa perawat perempuan yang miskin, yang meninggalkan anak dan keluarganya
untuk merawat anak orang lain. Pun, sebuah keadilan gender tidak diukur dengan
menghitung jumlah perwakilan perempuan dalam parlemen. Sehingga mengupayakan
kesempatan yang setara pada laki-laki dan perempuan dalam sistem kenegaraan dan
kapitalisme sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Demikianlah mereka
mengadakan kompromi.
Para feminis marxis menyadari hal ini, lalu menginginkan
penguasaan alat produksi dengan harapan terciptanya keadilan gender. Tapi
mereka gagal untuk memahami bahwa merebut kekuasaan negara, tidak akan membawa
banyak perubahan, sebab negara sendiri adalah bentuk penindasan politik. Bahkan
negara sosialis-komunispun, seperti sudah banyak ditunjukan oleh sejarah, hanya
mengarah kepada penindasan gender dan seksual atas nama kelas pekerja,
kediktatoran proletariat omong-kosong! Bahwa kekerasan dan kematian, serta
pengekangan birahi adalah layak untuk menciptakan dan mempertahankan revolusi,
sebuah alasan yang sebenarnya sangat dibuat-buat.
Para anarko-feminis berbagi keyakinan yang sama dengan Marxis
bahwa kapitalisme membuat manusia tidak bahagia. Tapi dalam pandangan mereka,
penindasan terhadap kaum perempuan terkait dengan hierarki, melampaui pembagian
kelas secara tradisional. Menjadi feminis saja tidak cukup, pun sekedar hanya
menguasai pabrik-pabrik. Ia harus bersama laki-laki, meleburkan diri menjadi
ideologi anti-otoritarian dan anti-kapitalisme. Penghancuran patriarki, negara
dan kapitalisme adalah rumusan sempurna terhadap pembebasan seksual dan gender.
Hal ini yang diyakini Emma Goldman, sebagai seorang anarko-feminis, bahwa
revolusi seharusnya tidak akan melarangnya untuk menari. Goldman menginginkan
revolusi yang utuh.
Kita harusnya menjadi seperti makhluk hidup lain, yang menjalani
hubungan tanpa legitimasi sesuatu apapun kecuali pelaku yang melakukan hubungan
tersebut. Bukan negara, gereja atau nilai-nilai moral masyarakat. Hubungan
tidak mengenal legalitas dan formalitas, dan sebuah kasih sayang dan cinta
tidak ditunjukan dari ritual-ritual aneh atau dalam selembar kertas yang dicap
dan ditandatangani aparatur negara. Tanpa otoritas, kita mempunyai kebebasan
melakukan aktivitas hubungan personal dan seks yang beragam, baik poligami,
monogami, monoamor, poliamor, heteroseksual, homoseksual, transeksual,
biseksual bahkan aseksual sekalipun. Bukan dengan mengemis kepada kekuasaan,
tetapi menghancurkannya. Dan semuanya terjamin selama keadilan ekonomi juga
tercipta.
Ketika mereka berhasil mendapatkan pasangan, aborsi dan pemerkosaan
akan segera menurun drastis. Tidak ada alasan untuk menggugurkan janin karena
kemiskinan dan karir. Tidak ada pemerkosaan ketika jalur-jalur birahi tersedia.
Alasan finansial dengan demikian akan dibuang ke dalam keranjang sampah
sejarah. Setiap laki-laki dan perempuan akan memiliki hubungan yang didasarkan
pada cinta dan birahi, dan menghilangkan faktor-faktor ekonomis. Logika cinta
tidak akan mempertimbangkan rupiah, tetapi karena kita memang layak “dicium”,
dengan pertimbangan intra-personal seperti kepintaran, kebaikan, atau kekuatan.
Karena itu revolusi tidak semata-mata merebut alat produksi, tetapi juga alat
reproduksi.
Biarkanlah hasrat dan birahi diri yang berkuasa. Biarkan
kelaminmu menegang, itu ketegangan untuk kebebasan dan kekuasaan, penolakan
terhadap kepatuhan, dan mula-mula dari ketegangan yang lebih besar. Revolusi
yang berhasil akan membawa kita pada orgasme yang hebat, dan semoga,
sebaliknya.
Diperbaiki ulang oleh penulis,
setelah sebelumnya terbit di anarkis.org.
______________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar