Selasa, 04 Maret 2025

"INVISIBLE AND ASYMMETRIC WAR" SUDAH DIMULAI, KENCANGKAN SABUK PENGAMAN!

 Tulisan di bawah ini, saya copy paste dari akun facebook Fadly Abu Zayyan.


 

Kita harus mencoba melihat segala sesuatu dari perspektif yang luas. Apalagi jika itu terkait dengan komoditas yang saat ini menjadi isu global, dalam hal ini adalah energi. Termasuk terkuaknya kasus korupsi yang melanda Pertamina.

 

Kasus ini lagi-lagi menimbulkan polarisasi ke arah politik domestik. Padahal perspektifnya jauh lebih luas dari itu. Publik kubu pro pemerintah seolah menyalahkan Ahok yang pernah menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, bahwa selama ini ngapain aja? Sebaliknya kubu satunya, mencoba mengarahkan seakan korupsi itu terjadi akibat ketidakmampuan Jokowi dalam mengelola negara yang kebetulan terjadi pada era pemerintahannya.

 

Dalam status singkat kemarin, sudah saya katakan bahwa kita sedang melawan Rezim Fosil. Dan yang terungkap pada kasus Korupsi Pertamina itu hanya proxy nya. Kenapa saya katakan demikian? Baiklah akan saya jelaskan pelan-pelan karena masih terkait dengan tulisan-tulisan lama saya.

 

Jika masih ingat dengan tulisan saya 5 tahun lalu pada 18/7/2020 dengan judul: "Cara Membunuh Thanos" yang intinya, Nafas Thanos adalah Uang dan Darahnya adalah Minyak (Fosil). Dengan kata lain, dalam tubuh Thanos itu terdapat Rezim Bankir dan Rezim Fosil. Maka untuk membunuhnya harus menghentikan aliran keduanya.

 

https://www.facebook.com/share/p/1646RffZUv/

 

Pendirian Danantara, Bank Emas, dan diungkapnya gunung es korupsi di Pertamina, termasuk juga Karen Agustiawan mantan Dirut Pertamina yang vonisnya juga diperberat, itu semua ada benang merahnya. Dan semuanya bermuara pada "Infinity Stone" milik Thanos. Apakah itu? Ya, BlackRock!

 

Pertama kita mulai dari Danantara. Terdapat tulisan saya tahun lalu, 22/11/2024 yang berjudul: "Danantara Adalah Penantang BlackRock".

 

https://www.facebook.com/share/p/1DDBfP2XQy

 

Intinya adalah Danantara berpotensi menggeser BlackRock sebagai lembaga investasi terbesar di dunia. Mengapa saya begitu optimis? Jika kita membaca tulisan "Cara Membunuh Thanos" 5 tahun lalu itu, sebenarnya saya sudah menyebut 3 negara di Asia yang menjadi proxy Thanos. Yaitu Saudi Arabia, Hongkong, dan Singapura. Nah, 3 negara inilah pemilik SWF (Sovereign Wealth Fund) terbesar di Asia yang terafiliasi ke BlackRock. Tak cukup di situ, dana yang dikelola oleh mereka, terutama di Singapura dan Hongkong, ternyata banyak yang berasal dari atau milik WNI. Nah lo! Dengan adanya SWF Danantara, tidak menutup kemungkinan dana yang mereka kelola akan pulang kampung ke Indonesia. Itu pointnya!

 

Selanjutnya, apa pula hubungannya dengan Bank Emas? Dalam sejarah sejak republik ini berdiri, baru pertama kali kita memiliki Bank Emas. Padahal negara ini penghasil emas terbesar ke 4 di dunia. Konyol bukan? Ya konyol lah! Wong setengah abad lebih hasil tambang emas dari Gunung Papua, hampir seluruhnya diboyong ke luar negeri! Dan selama itu pula kita dikadali melalui cara "Muslihat "Dalam Konsentrat" sebagaimana saya ulas pada tulisan 8 tahun lalu, 23/2/2017. Pada tulisan itu, saya juga menyinggung kecurangan dalam sektor pertambangan migas.

 

https://www.facebook.com/share/p/18pjvuJd6a/

 

Dengan adanya Bank Emas, maka emas di dalam negeri baik itu dari hasil tambang ataupun milik masyarakat tidak akan lari ke luar negeri lagi. Ini sangat penting, kenapa? Tatanan moneter dunia saat ini mengarah kepada revolusi dan kembali pada solid collateral atau kolateral berbasis emas. Dan itu sudah dimulai oleh Rusia di mana semua transaksi di negaranya, harus berdasarkan dengan nilai emas. Sebagaimana ulasan saya pada 3/4/2022 yang berjudul:

"Rusia telah kembali kepada Dinar dan Dirham"

 

https://www.facebook.com/share/p/1BCoYHqvpK

 

Terkait Revolusi Keuangan dan Energi Global, Indonesia memegang peran penting sekaligus sebagai tuan rumah bagi keduanya. Menjadi pemilik cadangan Solid Collateral terbesar di dunia, sekaligus pemilik cadangan mineral nikel sebagai kebutuhan bahan baku energi terbarukan. Itulah kenapa kita terus-menerus diganggu, karena jika hal ini terwujud maka tamatlah riwayat Thanos yang dalam serial Marvel disebut Endgame.

 

Pejabat Pertamina yang korup itu hanyalah proxy bagi mereka. Ini bisa kita lihat pada kasus Karen Agustiawan, yang sebenarnya juga menjadi hamba BlackRock sebagaimana tulisan saya pada 18/5/2024 yang berjudul:

 

Hamba BlackRock di Pertamina

 

https://www.facebook.com/share/p/18FWj9YexM

 

Dalam kasus Karen, ia didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone yang merupakan salah satu pemegang saham pada Cheniere Energy dengan tujuan mendapat jabatan sebagai Senior Advisor Private Equity Group Blackstone. Dan tahukah kita siapa itu Blackstone? Ia adalah perusahaan investasi yang mana pada tahun 1995, Blackstone menjual sahamnya di BlackRock kepada PNC Financial Services seharga $250 juta.

 

Sementara untuk kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga ini justru lebih parah lagi. Mencampur bahan bakar dengan oktan yang rendah itu, tak sekedar bermotif mengeruk keuntungan jika jumlahnya diakumulasi, kerugian negara mencapai hingga Rp.1.000 triliun. Dan yang dinikmati oleh para tersangka itu, meski tampak besar, tapi hanyalah sebagian kecil saja. Yang paling diuntungkan adalah para Godfather Rezim Fosil di belakang mereka. Mengingat bahan bakar dengan kadar oktan di bawah 90 sudah tidak dipakai di negara lain.

 

Namun juga ada motif lain yang jauh lebih besar dan tidak kita sadari yaitu, untuk menggagalkan komitmen Indonesia dalam hal menurunkan emisi karbon. Semakin rendah kadar oktan, maka ia akan menghasilkan emisi karbon lebih tinggi.

Sebagai tuan rumah penghasil bahan bakar hijau, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan energi terbarukan. Namun jika kita tidak mampu menekan emisi karbon, maka akan ada beberapa konsekuensi dari sisi regulasi yaitu: Peninjauan kembali komitmen Perjanjian Paris, dimana Indonesia telah menandatangani kesepakatan tentang Perubahan Iklim pada tahun 2015 itu.

 

Akibat tidak mampu menekan emisi karbon, bisa juga terjadi pengawasan lebih ketat dari PBB dan Bank Dunia, bahkan mungkin pengenaan sanksi ekonomi dari negara-negara lain atau organisasi internasional. Dan yang paling krusial adalah, kehilangan kesempatan Investasi karena ini menyangkut trust atas komitmen sebuah negara.

 

Kenapa kehilangan kesempatan investasi bisa dianggap paling krusial? Karena ini berkenaan dengan arus dana yang akan masuk. Selain untuk memperkokoh eksistensi Danantara, juga bisa memperkuat nilai tukar mata uang kita.

 

Itulah kenapa saya katakan perang sudah dimulai? Ya, perang ini memang tidak terlihat, tapi sangat bisa kita rasakan. Inilah yang dinamakan "Invisible and Asymmetric War".

 

Baru saja kita meluncurkan Danantara dan Bank Emas serta bersih-bersih para mafia dan proxy-nya, langsung diserang oleh propaganda bahwa Rupiah akan menjadi mata uang terburuk di Asia. Hal itu dilontarkan oleh Goldman Sachs. Siapakah dia? Siapa lagi kalau bukan sekutu dekat BlackRock!

 

Larry Fink, CEO BlackRock pernah bekerja di Goldman Sachs sebagai kepala departemen fixed income sebelum bergabung dengan BlackRock. Itulah kenapa Goldman Sachs telah bekerja sama dengan BlackRock dalam berbagai kesempatan.

 

BlackRock adalah "Infinity Stone"

 

https://www.facebook.com/share/v/1DHqRfqqbV/

 

Dari pemaparan ini semua, semoga kita sadar dan bersatu bahwa lawan kita bukan kaleng-kaleng. Itulah kenapa Presiden Prabowo Subianto juga menggandeng Presiden Joko Widodo termasuk Presiden SBY untuk bertarung melawan Thanos. Sementara bagi mantan presiden yang gampang tantrum, biarlah sibuk dengan urusan kandang dan sekjennya. Karena kalau diajak, istilah Orang Jawa bilang "malah nyrimpeti". Paham ya Mak?!

🫢

 

*FAZ*

 

PENGHEMATAN & RASIONALISASI: TREND GLOBAL SAAT INI

 


Bukan kebetulan, bila di Indonesia yang terpilih menjadi presiden adalah Prabowo Subianto, sedang di Amerika Serikat adalah Donald Trump. Keduanya berlatar belakang berbeda, tapi kok bisa memiliki gagasan dan kebijakan yang sama dalam mengelola anggaran negara. Mereka melakukan penghematan besar2an, dalam nyaris semua bidang. 

 

Penghematan yang harus dimaknai sebagai rasionalisasi. Keduanya harus hadir secara bersama, karena disinilah arti penting kebijakan yang harus berdasar argumentasi yang logis.

 

Padahal bila melihat latar belakang pribadi keduanya berbeda, walau ujungnya adalah sama. Prabowo bermula dari militer, sempat dianggap "rising star", kemudian dia dipecat. Lalu loncat ke sektor ekonomi untuk "memperkaya diri". Istilah yang tidak tepat, karena pada dasarnya ia sudah kaya dari lahir, karena "trah keluarga" yang memang sudah makmur-sejahtera dari sejak dari era kakeknya.

 

Hal ini yang sebenarnya membedakan ia dengan siapa pun calon presiden di Indonesia. Tak ada yang memiliki rekam jejak sepanjang, sekaligus sekontroversial Prabowo. Ia anak begawan ekonomi, cucu pendiri bank rakyat, dan mantu seorang presiden. Jadi, ketika ia ngotot mencalonkan diri tanpa lelah menjadi presiden. Keterpilihannya adalah masalah waktu. Sesuatu yang diperlancar dan dipermudah, justru oleh perilaku bodoh, konyol, dan serakah PDI-P dengan Megawati-nya.

 

Ikwal Trump, pertanyaannya adalah kenapa ia bisa terpilih lagi? Realitasnya, pada Pilpres yang lalu semestinya ia bisa menang lagi, kalah pun sangat tipis dan mengandung unsur perdebatan tak kunjung habis. Ia dicurangi justru karena ia didukung oleh intelejen Rusia. Aneh tapi nyata. Penggantinya Joe Biden terbukti kemudian memerangi Rusia dengan melibatkan sekutu Eropa-nya. Hanya untuk mendukung seorang badut bernama Zeliensky dari Ukraina.

 

Konon sampai awal tahun 2025, bantuan untuk Ukraina sudah mencapai 100 M US Dollar. Suatu jumlah yang gila untuk ukuran negara super power yang makin banyak warganya tidur di jalanan, karena terusir dari rumahnya.

 

Di titik inilah, lalu muncullah program penghematan atau tepatnya rasionalisasi anggaran nyaris di seluruh penjuru dunia. AS hanyalah faktor pembuka, disusul oleh Jepang, lalu meluas ke seluruh penjuru Eropa dan tak terkecuali Indonesia. Di AS, konon yang paling menghebohkan tentu saja adalah penutupan USAID. Saya mengikuti secara cermat, sisi positif dan negatifnya.

 

Kita mulai dari sisi negatifnya dulu, konon banyak anggaran kemanusiaan yang berdampak nyata. Seperti di bidang kesehatan terutama di negara miskin, sperti pencegahan wabah penyakit menular atau tidak dibiayai USAID. Kebutuhan air minum untuk daerah kering di seluruh penjuru dunia, juga dibiayai oleh USAID. Pun pendidikan gratis, termasuk kampanye untuk perlindungan hak kaum dan kelompok minoritas, kampanyenya juga dibiayai USAID.

 

Tak terbayangkan, berapa banyak program kemunisiaan berikut lembaga pengampu nya tutup akibat kebijakan ini.

Sedang sisi positifnya adalah berkurangnya campur tangan politik luar negeri AS melalui lembaga2 cangkangnya yang beroperasi di seluruh dunia. Apa yang mereka sebut sebagai upaya "mendestabilisasi suatu rezim dengan jalan demokrasi". Intinya tak boleh ada sebuah negara yang boleh dipimpin oleh satu rezim yang terlalu lama berkuasa. Pun jika ia sudah sangat pro-AS.

 

USAID dalam hal ini tangannya memang berlumuran darah dimana2. Jangan lupa, dalam kasus Indonesia: Peristiwa Mei 1998 di Jakarta adalah salah satu yang paling pantas dicatat. Bermula dari runtuhnya rupiah, yang lalu keuntungan yang diperoleh dari permainan valas yang dilakukan oleh George Soros digunakan untuk memicu kerusuhan dimana2. Belakangan diketahui "modal kerja" Soros diperoleh dari bantuan dari USAID.

 

Padahal kalau dipikir kurang pro bagaimana Suharto terhadap AS. Ia lah tokoh yang menjadi kunci kejatuhan Sukarno, yang lagi2 adalah permainan kotor barat di Indonesia. Hanya karena dianggap kelamaan, ia dipaksa jatuh juga.

Di titik inilah, ide Trump tiba2 "seolah" bersatu dengan Prabowo. Karena bagaimana pun, Prabowo adalah salah satu korban atau tepatnya yang dikorbankan oleh Peristiwa Mei 1998.

 

Di mata saya, agak ajaib dan saya terkejut bahwa langkah Prabowo melakukan penghematan anggaran, justru ia lakukan setelah membentuk pemerintahan yang gemuk dan jauh dari kompetensi. Dua sisi yang tidak lumrah! Mustinya, ketika ia berhemat, ia membuat tim yang ramping dan kompeten! Itu mustinya, tapi tidak!

 

Tapi demikianlah, ilmu politik murni itu sekarang sudah punah, sebagaimana ilmu ekonomi murni. Hingga kemudian yang hadir adalah ilmu ekonomi-politik. Dua sisi yang harus hadir harus selalu bersamaan. Ketika ekonomi yang ambruk akan diperbaiki, maka stabilitas politik harus dijaga tetap tenang! Dalam hal ini, ia hanya mengekor ide Sukarno ketika, menghadapi kehancuran ekonomi dengan membentuk Kabinet Seratus Menteri.

 

Trump sebagaimana juga Prabowo, sedang mencoba membaca ulang trend yang terjadi sebelumnya dan menera apa yang seharusnya dilakukan.

 

AS sesungguhnya justru sedang mengalami masa pasang politik luar negeri yang sedang bagus. Di Eropa ia bisa menunjukkan diri sebagai penguasa dan pemerintah sekaligus. Ia bisa seenaknya mengatur sekutunya untuk tunduk, walau dengan resiko menghancurkan kondisi internal masing2 negara. di Timur Tengah, ia bisa sesumbar untuk merubah Gaza sebagai real estate internasional, setelah Israel bisa memegang kendali penuh atas Palestina.

 

Rezim Assad di Suriah yang selama ini jadi "slilit" berhasil dijatuhkan, jangan heran sebentar lagi Iran juga akan takluk. Saudi sudah meninggalkan mahzab ortodok wahabi-nya, ketika minyak sudah tak lagi populer. Ia mempercatik dirinya sebagai "surga dunia" dengan berbagai tawaran mimpi kemewahan. Lihatlah bagaimana ia membangun kota supra modern Iom dan liga sepakbola yang norak tapi bergelimang uang dan bintang.

 

Ketika semua sudah Amerika pada waktunya. Hingga tak lagi perlu USAID dan sejenisnya. AS akan menjadi "great again" dengan memperbaiki dirinya menyambut abad antariksa yang butuh duit luar biasa besar. Menjelaskan kenapa Elon Musk jadi tangan kanannya, hingga disebut sebagai "the real president".

 

Kembali ke Prabowo, sisi baiknya adalah ia memahami salah satu langkah pertama mengurangi korupsi adalah dengan memangkas anggaran. Anggaran yang selama ini memang tak perlu dan mendesak2 amat. Sesuatu yang menyakiti rakyat, yang selama ini hanya dinikmati oleh jajaran birokrasi. Perjalanan dinas yang tidak perlu, biaya makan minum yang makin tak terkontrol, acara2 kedinasan yang tak ada sangkut pautnya dengan pelayanan publik, berbagai proyek yang tak jelas kebermanfatannya.

 

Itulah sesungguhnya, penghematan dan rasionalisasi yang dijalankan Prabowo. Bukan melulu karena program tolol makan bergisi gratis untuk anak2 sekolah. Yang diprogramkan, dikampanyekan, tapi gak jelas dari mana anggarannya itu. Bukan melulu karena utang menggunung dan jatuh tempo. Bukan karena realitas ekonomi global melambat. Bukan juga karena tidak lagi terobsesi oleh kemajuan China, yang anehnya diikuti kesadaran butuh kemajuan lain di seluruh muka dunia.

 

Saya berharap langkah selanjutnya adalah pemberantasan korupsi yang makin masif. Yang tentu saja harus dimulai dari "pilar korupsi" yang tak tersentuh itu! Banyak masyarakat yang tidak tahu makna kasus Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto itu apa? Dan kemana ujungnya, kok seolah2 digarap tapi digantung. Dan dijadikan mainan yang berlama-lama.

 

Sangat sederhana, sedang terjadi tawar menawar politik untuk mensahkan undang-undang perampasan aset. Kita tahu, satu2nya partai yang menolak? PDI-P. Semoga, dihukum atau tidak Hasto, UU itu segera disahkan!

 

Dunia sedang berubah, pun Indonesia. Setelah era Jokowi yang ngebut membangun infrastruktur, memang semestinyalah era Prabowo dimulai dari merekonstrukti sisi non-material. Dengan langkah pertama rehabilitasi mental birokrasi-nya. Tidak memanjakan dengan anggaran yang tak perlu2 amat. Syukur2, bila kelak dilakukan perampingan birokrasi secara besar2an dengan menyisakan manusia2 yang berintegritas. Bukannya malah memperpanjang masa dinas mereka yang bermental korup dan oportunis.

 

Trend dunia memang mengarah pada sisi anomali: mereka yang selama ini dilecehkan dan direndahkan, justru memperoleh kesempatan untuk mengkoreksi yang salah dan menguatkan hal yang sudah baik.

 

Dalam hal ini, Trump dan Prabowo memang berada pada panggung yang berbeda, tapi dengan semangat dan cara berpikir yang sama!

.

.

.

NB: Saya mengenal Prabowo, jauh waktu saat saya masih kuliah di UI. Saya termasuk angkatan pertama yang ditarik2 untuk masuk dalam lingkarannya. Bukan karena apa2, saya bekerja di lembaga, dimana direktur saya termasuk konsultan politik pertama Prabowo di sekitar awal 1990-an. Tentu saja saya tidak tertarik, walau tentu saja banyak yang terangkut di dalamnya.

 

Fadli Zon adalah salah satunya. Mengherankan bila ia bisa bertahan lebih dari 30 tahun tetap setia menemani Prabowo. Walau saya dengar tak sekali dua ia digamparin.

 

Ketika dalam beberapa kali kontestasi Pilpres, banyak teman2 dekat yang saya kenal baik menjadi pendukung Prabowo. Mereka berkali2 mendesak saya untuk mendukung Prabowo, tentu saya tolak. Karena saya melihat sisi baik Jokowi, dan saya masih tetap melihat sisi baiknya hingga saat ini. Sisi baik terakhirnya, ketika ia mengambil keputusan berat tapi rasional, untuk memberi peluang Prabowo sebagai Presiden. Dan bukan saja berhasil, tapi telak.

 

Lalu ketika saya saya menyadari bahwa salah satu masalah terbesar negeri terletak pada kekuatan yang selama ini menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas nasionalisme dan penjaga demokras. Padahal keduanya justru digunakan untuk korupsi dan sekedar memperkaya diri. Maka saya merasa, walau secara generik itu adalah rumah terakhir saya, saya memilih untuk ikut rombongan yang "menghukum" partai ini.

 

Dan sejauh yang saya lihat, upaya menjatuhkannya berhasil, tapi untuk menyadarkannya gagal total.

 

Di usia renta saya secara fisik dan mental ini, saya memilih untuk berpikiran dan berprasangka baik. Selalu sedih, ketika mereka yang merasa memperjuangkan diri melalui saluran apa pun itu, justru melakukan kampanye anarkis secara tak mereka sadari. Setelah mengudarkan slogan Darurat Indonesia, Adili Jokowi, lalu muncul Indonesia Gelap, lalu terakhir trend "kabur saja dulu". Tentu saja membuat saya sedih.

 

Pilihan "kabur" sudah jelek, teks "saja" menunjukkan ketidak jelasan pilihan, sedang "dulu" menunjukkan ketidakyakinan!

 

Generasi muda yang bilang "kabur saja dulu", selamanya akan selalu kabur dari masalah. Selamanya jadi layang2, tampak indah tapi cuma jadi remah2 ketika ia putus dan jadi rayahan. Sebagai orang tua, yang menyadari pendidikan tinggi di Indonesia seburuk2nya tempat belajar, dan memilih mengkuliahkan anak2 di luar negeri. Tentu teks kabur saja dulu itu selain bodoh, konyol, juga sangat menyesatkan.

 

Di sini arti pilihan diksi dan kecerdasan literasi, setiap patah ucapan katamu. Apalagi tulisanmu adalah doamu. Saya meyakini, untuk semakin berdamai dengan segala hal baik, seburuk apa pun kondisinya. Berprasangka poitif dan membantu untuk tetap menjadi baik.

 

Bila saya bisa menyebarkan rasa welas asih, rasa cinta, peduli secara tulus, dan hormat secara sedehana. Menurut saya masih ada alasan dan harapan hidup yang lebih baik.

 

Bersikap hemat dan bertindak rasional adalah awal langkahnya.

 

=====================

 

Tulisan saya copy paste dari wall facebook mas Andi Setiono.

 

NEKOLIM vs. KEBERLANJUTAN

 Tulisan ini berupa copas dari akun MAM di facebook, sedangkan foto kuambil dari akun mbak RRM.

 


NEKOLIM vs. KEBERLANJUTAN 
 
Katakanlah, saya bukan berpihak pada pemimpin lama. Saya bukan berpihak pada pemimpin baru. Saya bukan berpihak pada pemimpin utopis, yang pandai berkata-kata. Saya tidak juga berpihak pada oposisi.
Saya berpihak pada keberlanjutan. Saya berpihak pada oposisi yang memiliki pandangan kritis, sambil menyumbang pada keberlanjutan. Saya berpihak pada pemimpin lama yang mengambil sikap menguatkan pemimpin baru. Saya berpihak pada pemimpin baru yang menghormati dan menghargai pemimpin lama. Karena kemajuan tidak tercipta dari siklus penghancuran yang berulang, tetapi dari kesinambungan, di mana setiap generasi memperkuat apa yang telah dibangun sebelumnya.
 
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sejarah menunjukkan bahwa keberlanjutan adalah sesuatu yang sulit diwujudkan, karena rakyat terus digiring untuk percaya bahwa setiap era baru harus dimulai dengan menghancurkan era sebelumnya. Seakan-akan, bangsa ini harus selalu memulai dari nol, seakan-akan pemimpin lama adalah kegelapan mutlak yang harus dihapus, dan pemimpin baru adalah cahaya suci yang turun untuk menyelamatkan negeri.
 
1
Pada penjajahan gaya lama, penjajah mengirimkan tentara ke tanah jajahan. Divide et impera diterapkan, mengadu domba kelompok-kelompok lokal agar saling melemahkan. Para pemberontak dibasmi, yang bersikap kritis dipenjara, dan yang melawan dihukum dengan kejam. Sumber daya alam dieksploitasi secara langsung, dan masyarakat pribumi dipaksa tunduk melalui dominasi militer serta sistem kolonial yang menindas.
 
"Inggris kita linggis, Amerika kita seterika", teriak Bung Karno. Saya takjub, Bung Karno dengan jernih melihat, telah diciptakan strategi baru setelah PBB dibentuk. 
 
Sejak Indonesia merdeka, Bung Karno sudah melihat transformasi model penjajahan dari kolonialisme klasik menjadi nekolim—neokolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru. Dalam model ini, penjajah tidak perlu lagi mengirimkan pasukan ke tanah jajahan. Mereka cukup memanipulasi keadaan dari jauh. Warga asli di tanah jajahan dibenturkan satu sama lain, menciptakan konflik internal yang melemahkan bangsa itu sendiri. Kekacauan ekonomi dan sosial sengaja diciptakan agar bangsa yang baru merdeka tetap bergantung pada kekuatan luar. Proxy war menjadi strategi utama: perang dilakukan tanpa perlu intervensi langsung, cukup dengan mengendalikan elite lokal, sistem keuangan, dan aliran informasi.
 
Di era modern, penjajahan semakin canggih. Salah satu senjata utamanya adalah Firehose of Falsehood, strategi yang membanjiri publik dengan kebohongan secara terus-menerus hingga batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Media dikuasai atau diarahkan agar hanya menyajikan informasi yang menguntungkan kepentingan tertentu. Tidak perlu lagi memalsukan berita secara langsung—cukup ciptakan narasumber yang bisa berbohong, dan media massa tetap bisa menjaga klaim integritasnya dengan menuliskan “menurut narasumber.” Dengan cara ini, kebohongan tetap dapat diedarkan secara luas tanpa melanggar etika jurnalistik secara eksplisit.
 
2
Lebih jauh lagi, rakyat diarahkan untuk menjadi anti-keberlanjutan. Setiap pergantian pemimpin tidak boleh melanjutkan yang sebelumnya, tetapi justru harus menghancurkannya. Warisan pembangunan, kebijakan jangka panjang, bahkan stabilitas sosial—semuanya harus di-reset, seakan-akan pemimpin sebelumnya adalah kegelapan mutlak yang harus dihapus dari sejarah.
 
Lihatlah bagaimana Sukarno dijatuhkan dan dihapus dari narasi resmi pada era Suharto. Orde Lama digambarkan sebagai bencana, sedangkan Orde Baru hadir sebagai penyelamat. Kemudian, saat Orde Baru tumbang, Suharto dan seluruh rezimnya dicitrakan sebagai tiran mutlak, sementara reformasi dipersembahkan sebagai solusi sempurna. Pola ini terus berulang: setiap pemimpin yang baru harus mencitrakan diri sebagai sosok putih-bersih yang datang untuk menebus kesalahan pendahulunya, yang kini dicap hitam-legam bagai jelaga.
 
Dengan pola ini, bangsa ini tidak pernah benar-benar maju. Setiap periode pemerintahan hanya sibuk membongkar, mencaci, dan menghapus kebijakan sebelumnya. Pembangunan yang seharusnya berkesinambungan justru tersendat karena ego politik dan propaganda yang dimainkan oleh kepentingan luar. Akibatnya, negara terus sibuk berputar dalam lingkaran krisis yang sama, tanpa pernah memiliki momentum yang cukup untuk melompat ke tahap berikutnya.
 
Masyarakat pun terjebak dalam narasi ini. Alih-alih bersikap kritis dan membangun, mereka diajarkan untuk membenci pemimpin lama dan menggantungkan harapan buta pada pemimpin baru, seakan-akan perubahan hanya bisa datang dari sosok individu, bukan dari kesadaran kolektif dan sistem yang diperkuat. Begitu pemimpin baru gagal memenuhi ekspektasi yang terlalu tinggi, siklus kembali berulang: sang pemimpin akan dijatuhkan, lalu sosok lain yang seolah lebih suci akan dimunculkan sebagai penyelamat baru.
 
3
Sementara itu, di balik layar, penjajahan gaya baru terus berjalan. Sumber daya alam tetap dikuras, kebijakan tetap diarahkan untuk kepentingan asing, dan rakyat tetap dikendalikan melalui propaganda yang tidak pernah berhenti. Namun, yang lebih berbahaya dari itu adalah keberadaan shadow oligarchy—para elite yang sejatinya menjadi penguasa sebenarnya, bukan pemerintahan yang tampak di permukaan.
 
Mereka adalah kelompok yang selama ini merampok APBN, APBD, dan sumber daya alam (SDA) Indonesia, menguasai berbagai sektor strategis, dari energi hingga infrastruktur, dari pangan hingga keuangan. Mereka tidak bekerja secara terang-terangan, tetapi membangun jaringan yang begitu kuat di dalam sistem pemerintahan, dunia bisnis, dan institusi hukum. Dengan kekuatan ekonomi dan akses politik yang mereka miliki, mereka dapat menentukan siapa yang naik dan siapa yang jatuh.
 
Shadow oligarchy ini tidak berdiri sendiri. Mereka membentuk simbiosis mutualisme dengan neokolonialisme dan imperialisme (nekolim). Mereka menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan asing, memastikan bahwa SDA Indonesia tetap diekspor dalam bentuk mentah, bahwa industri dalam negeri tetap lemah, dan bahwa kebijakan negara tetap tunduk pada mekanisme global yang menguntungkan pihak luar. Mereka mendapatkan keuntungan dari eksploitasi bangsa sendiri, sementara rakyat kecil terus dibiarkan bertarung dalam ilusi demokrasi yang dikendalikan dari balik layar.
 
Ketika ada pemimpin yang mencoba melawan sistem ini, mereka akan menghadapi berbagai serangan, baik melalui skenario politik, tekanan ekonomi, maupun kampanye propaganda yang dirancang untuk menjatuhkan kredibilitasnya. Jika perlu, shadow oligarchy tidak segan-segan menciptakan instabilitas dengan mengadu domba kelompok masyarakat, memperkeruh situasi sosial, atau bahkan memanfaatkan jalur hukum untuk menggulingkan lawan-lawan politik mereka.
 
Selama shadow oligarchy ini masih bercokol dan rakyat masih terjebak dalam kebencian yang dikendalikan oleh propaganda mereka, maka cita-cita kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa akan tetap menjadi angan-angan semata. Perjuangan sebenarnya bukan sekadar mengganti pemimpin, tetapi meruntuhkan sistem bayangan yang selama ini membuat bangsa ini terus berada dalam lingkaran penjajahan gaya baru.
 
4
Menjadi Bangsa yang Kritis, Bukan Bangsa yang Mudah Diperdaya
 
Karena itu, penting bagi setiap individu dalam masyarakat untuk tidak terperangkap dalam narasi keburukan yang disebarkan tanpa henti. Sikap kritis bukan berarti mudah percaya pada semua yang tampak “melawan arus” atau “mengungkap kebenaran yang tersembunyi.” Sikap kritis juga tidak berarti menelan mentah-mentah kebencian yang ditanamkan terhadap pemimpin lama atau pun pemimpin baru. Sikap kritis adalah kemampuan memilah informasi, mengakui kebaikan di mana pun ia berada, dan memberi masukan konstruktif terhadap apa yang masih kurang.
 
Setiap kebaikan harus didukung. Tidak ada pemerintahan yang sempurna, tetapi bukan berarti setiap kebijakan yang dihasilkan harus dicurigai dan dijatuhkan. Jika ada yang tidak sempurna, solusinya bukanlah memperkuat kecurigaan, melainkan membangun diskusi yang sehat dan memberikan kritik yang berbasis data serta solusi yang konkret.
 
Kita harus melatih diri untuk melihat realitas secara lebih jernih—tidak terombang-ambing oleh propaganda, tidak mudah terprovokasi oleh isu yang dimainkan untuk kepentingan segelintir elite. Kita harus sadar bahwa kemajuan suatu bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh rakyatnya.
 
Sejarah hanya akan berulang jika rakyat tetap mudah diperdaya. Sebaliknya, sejarah bisa berubah jika rakyatnya memahami permainan yang sedang dimainkan, menolak menjadi pion dalam konflik yang direkayasa, dan berani membangun keberlanjutan, bukan sekadar mengganti pemimpin dan menciptakan siklus penghancuran tanpa akhir.
 
5
Menuju Indonesia Emas 2045
 
Tahun 2045 akan menjadi momentum bersejarah: 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak yang menyebutnya sebagai Indonesia Emas, sebuah visi di mana Indonesia akan menjadi negara maju, dengan ekonomi yang kuat, sumber daya manusia yang unggul, dan masyarakat yang sejahtera. Namun, semua ini tidak akan tercapai jika bangsa ini terus terperangkap dalam siklus penghancuran yang tidak berkesudahan.
 
Indonesia Emas bukan sekadar slogan. Ini adalah tantangan bagi setiap rakyat Indonesia untuk keluar dari jebakan propaganda, untuk berpikir lebih jernih, lebih konstruktif, dan lebih berorientasi pada solusi. Setiap pemerintahan yang datang harus membangun di atas fondasi yang sudah ada, bukan menghancurkan yang lama hanya demi citra politik baru. Setiap kebijakan harus dievaluasi dengan kritis dan objektif, bukan dengan kebencian atau fanatisme.
 
Bangsa ini hanya akan menjadi besar jika rakyatnya berani berpikir mandiri, berani membangun keberlanjutan, dan berani menjadi bagian dari solusi. Indonesia Emas 2045 tidak akan datang dengan sendirinya—ia harus diperjuangkan dengan kesadaran, kerja keras, dan sikap kritis yang sehat.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045, tetapi apakah kita mampu melepaskan diri dari siklus yang selama ini menghambat kemajuan bangsa ini? Jika kita berhasil keluar dari lingkaran penghancuran, propaganda, dan dominasi shadow oligarchy, maka pencapaian Indonesia Emas 2045 bukan sekadar harapan, tetapi sebuah keniscayaan yang akan terwujud secara alami sebagai hasil dari bangsa yang sadar, bersatu, dan berdaulat atas nasibnya sendiri.
 
MAM

Selasa, 17 Agustus 2021

Puan: Dulu, Kini, Nanti 3

 Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi

CERITA TENTANG PUAN: DULU, KINI, NANTI (Bagian 3/3)


Saya butuh waktu yang cukup untuk membuat penelaahan, kenapa safari baliho itu muncul dimana2. Tentu saya bersimpati pada teman2 atau publik yang mengkritiknya. Karena menganggapnya tidak tepat waktu di saat pandemik makin menjadi. Saya sama sekali tak keberatan ia dituduh sekedar pencitraan, atau mencuri start. Bagi saya sendiri dalam konteks waktu, bila sejarah itu selalu berulang maka idiom adakah waktu yang tepat itu omong kosong. Waktu tak pernah tepat, tapi waktu selalu akan berulang...

Tapi benarkah demikian? Jawaban paling gampang yang muncul dari para pembelanya (yang rata-rata bodonya minta ampun itu) adalah yang lain juga begitu, kenapa ketika Puan ikut jadi masalah. Gugatan lainnya, kalau juga ikutan, kenapa tiba2 sedemikian masif. Ya memang sangat masif, kalau tidak mau dianggap sebagai sampah visual model baru. Tak usahlah kita menelisik biayanya, karena toh juga bukan duit kita dan tak membebani uang negara...
Setelah saya menelusur, setidaknya saya menemukan jawaban pokok bahwa apa yang terjadi adalah melulu masalah internal PDI-P. Alasan2 yang saya sebut di atas semua bernada eksternal, dalam arti apa yang disebut "rebranding". Pakai (re), karena suka atau tidak, diakui atau tidak, Puan Maharani tentu jauh lebih dikenal dibanding "rival"-nya para pemasang baliho lainnya itu. Jika konteksnya rebranding itu jadi salah besar.
Beradu diri atau bertanding kok di masa yang salah, dengan rival yang tidak selevel. Reputasinya Puan bagaimana pun dapat dikatakan jauh lebih baik. Apalagi bila pembandingnya Airlangga Hartarto yang memang sedang "makmur-makmurnya" beroleh rejeki pandemi. Atau Muhamin (is) Kandar yang memang hobinya menghias jalanan dengan foto jeleknya. Apalagi dibanding anak kemarin AHY yang sebentar lagi kehilangan rumah itu. Persoalan Puan itu kan, terutama karena publik gagal menemukan jejak Puan bangun jalan tol, waduk, masuk got, atau blusukan ke pasar. Sehingga ia dianggap perlu melakukan rebranding lebih agresif. Yaelah....
Situasi kondisinya sebenarnya adalah PDI-P itu sebagaimana partai pemenang Pileg dan Pilpres (kalau dalam sepakbola ini disebut brace, dua kemanangan sekaligus). Pada periode keduanya ia mengalami apa yang disebut kerapuhan internal. Apa yang dalam teori organisasi dan bahasa politik dianggap "pembusukan dari dalam". Atau kalau dalam bahasa Jawa "kerah dewe nang njero omah, bergelut sendiri secara internal". Kondisinya, tak berbeda jauh dengan Partai Demokrat di masa kedua kepemimpinan SBY sebagai presiden. Dan itu parah sekali!
Di sinilah, kemudian PDI-P butuh konsolidasi ke dalam, apa yang disebut "kembali merapatkan barisan". Pemasangan baliho itu adalah bentuk kepatuhan terhadap instruksi Pengurus Pusat!
Dan sejauh yang saya lihat, hal tersebut sedikit banyak berhasil. Inilah yang sebut dalam tulisan awal saya sebagai strategi anti-marketing. Sebelum melakukan marketing, siapkanlah sisi inetrnal-mu terlebih dahulu. Menejelaskan kenapa, walau diejek sedemikian rupa oleh publik, yang diejek terutama Puan dan PDI-P bisa2 saja. Jangan lupa difitnah, dihina, dicaci maki di hari ini adalah berkah!
Tapi baiklah, tak lengkap bila saya tidak menyajikan data tentang pra-kondisi yang terjadi di internal PDI-P, yang mendorong keputusan pemasangan serentak baliho bergambar PM, yang menurut catatan saya: variannya sangat beragam. Minimal dari jenis pakaian dan statement pendek yang ada di dalamnya. Menunjukkan bahwa hal tersebut memang dirancang sedemikian rupa dan sangat serius, oleh tim komunikasi internal PDI-P.
Sepenelaahan saya terdapat tiga pra-kondisi, yakni:
Pertama, tak banyak yang memahami betapa "kasus kecil" penyuapan oleh Harun Masiku (HM) sebenarnya adalah sebuah design besar awal penghancuran PDI-P. Bagian yang tak banyak orang mau tahu, siapa sebenarnya HM! Orang hanya mendramatisir ia adalah saudara jauh dari alm Taufik Kiemas, suami Megawati. Sesungguhnya, HM sebelumnya adalah kader dari Partai Demokrat yang gagal nyalon, lalu sebagai kutu loncat ia pindah ke PDI-P. Kembali kalah. Tapi kemudian, karena ngebet banget jadi Anggota DPR RI. Ia lalu menyuap salah seorang Komisioner KPU. Polanya terlalu telanjang gampang dibaca, bahwa ia orang yang disusupkan!
Di PDI-P atau siapa pun partai pemenang, jenis orang begini banyak sekali! Mereka lah benalu, yang membuat partai sering dianggap tak berideologi. Atau dalam konteks PDI-P jadi tak lebih partai nasionalis lainnya, yang jadi kuda tunggang para bandar!
Persoalannya, ia dianggap membawa2 nama Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto (HK). Padahal, informasi valid saya miliki, HK sama sekali tidak tahu. Ia tercatut namanya, karena ulah dari makelar2 jabatan yang memang banyak terdapat di lingkaran partai mana pun, tak terkecuali PDI-P. Logikanya, kenapa kalau akan dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW), harus ke KPU. Bukankah itu adalah kewenangan dari Pengurus Pusat (PP). Situasinya, jadi pelik karena HM kabur dan di-hoaks-kan disembunyikan oleh orang partai. Nah ini juga persoalan serius!
Dari informasi yang saya miliki, KPK sudah lama tahu dimana HM bersembunyi (atau malah justru dimana ia disembunyikan). Pertanyaannya, KPK faksi yang mana? Ya, yang mana lagi kalau bukan KPK Faksi Kadrun yang dikomandani NB, yang sekarang masih berjuang untuk diluluskan sebagai PNS itu. Kerumitan2 internal seperti ini pulalah, yang juga membuat KPK jadi semakin mandul. Karena upaya pembersihan dari dalam sangat sulit dilakukan. Dan dalam konteks inilah, Pengurus Pusat PDI-P berusaha keras merapatkan barisan.
Momentum ini digunakan untuk menilai kader mana yang patuh dan loyal, mana yang numpang dan ngeyelan....
Kedua, apa yang dianggap sebagai "Ganjar mulai jalan sendiri dan kemajon". Diakui atau tidak, popularitas Ganjar Pranowo memang cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena secara fisik ia sangat eye-chatching, tapi terutama aktivitasnya secara sosial media sangat efektif. Mungkin, ia belajar dati Roy Suryo ketika menjadi Menpora. Orang boleh tidak suka kepada kepribadiannya, tapi Roy adalah figur menteri yang paling accesable bagi media. Media sangat mudah menghubunginya, saat mencari jawaban atas sebuah pertanyaan. Bahwa kemudian ia dibenci karena ketika tak lagi menjadi menteri, karena pulang membawa panci. Itu lain soal...
Keberhasilan Ganjar juga tak sampai di situ, ia dianggap berhasil dalam banyak hal. Menarik investasi ke Jawa Tengah, yang tercermin dari pemindahan banyak pabrik dari Jawa bagian barat ke bagian Tengah. Dukungannya terhadap penataan kembali Kota Lama Semarang, saya pikir adalah juga keberhasilan yang patut diapresiasi. Sikapnya yang keras terhadap para guru dan pendidk beraroma kadrun di banyak Sekolah Negeri, membuatnya memiliki impresi yang yahud. Apalagi bila pembandingnya adalah Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, yang tidak sekedar membiarkan tapi jadi sponsor bagi gerakan pro-khilafah itu.
Akibat, sebagaimana kita tahu Gerakan "Ganjar The Next-President" di akar rumput semakin kuat. Didukung hasil kerjaan para lembaga survai baik yang bayaran atau tidak itu, yang menempatkannya memiliki elektabilitas tinggi. Kondisi inilah, yang menyebabkan Ganjar memperoleh reaksi negatif justru dari internal partainya sendiri. Dan tamparan paling keras itu, justru muncul dari Bambang Pacul yang tak lain adalah Ketua DPW PDI-P Jawa Tengah. Hukuman pertama telah dilayangkan, ia tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P di Semarang.
Karena itu fokus pemasangan baliho ini terlihat sangat masif dan mencolok di Jawa Tengah sebagai kandang banteng yang utama. Sejak itu saya lihat, Ganjar mulai mengkoreksi diri, untuk tahu diri "ora nggenge mangsa". Dan menyatakan patuh dan loyal terhadap partainya. Bukankah itu sinyal dan presentasi yang baik!
Ketiga, dan barangkali ini sekaligus menjawab pertanyaan kok akhir2 ini PDI-P jadi rajin mengkritik Presiden yang tak lain "petugas partai"nya sendiri? Suka tidak suka, penanganan Pandemic Covid-19 ini berjalan ke arah yang tidak menentu. Tak ada satu kajian akademis atau teoritis yang mampu menjawab kapan berakhirnya. Di sisi seberangnya, tidak sebagaimana biasa tak ada satu pun paranormal yang tepat menunjukkan ramalannya. Kenapa? Karena memang, alam semesta menghendaki kita tidak untuk terus menerus memusuhinya, tapi perlahan untuk berdamai hidup dengannya. Terlalu klenik? Ya tidak, bukankah selama ribuan tahun sejarah, manusia juga menjalaninya seperti itu....
Hanya manusia modern saja, yang hidupnya kadung terlalu rumit, menghargai dirinya terlalu tinggi dibanding alam semesta tempatnya berpijak! Belum paham, yo wis...
Secara teknis, Jokowi juga terjebak dalam sengkarut bisnis farmasi yang mencekik tidak hanya rakyat tetapi terutama anggaran negara. Ia dianggap membiarkan penanganan pandemi ini mengikuti selera dan kemauan pasar medis dan obat-obatan. Bagaimana mungkin, kita terlambat tahu bahwa biaya Test PCR di negeri ini nyaris 10 kali lipat dibanding biaya di India. Kenapa setelah dipilihnya Budi Gunawan Sadikin yang dianggap lebih bermental pedagang dibanding kedokteran itu bisa sedemikian kecolongan? Ini bukan persoalan sederhana, berapa juta kali sudah test PCR yang dibiayai negara? Berapa selisihnya? Yang bila itu bisa ditekan, akan sangat menghemat anggaran negara...
Dalam konteks ini, PDI-P menganggap Jokowi terlalu "dikrukubi", dikangkangi oleh lingkaran kekuasaan yang membuatnya tak mau mendengar lagi suara partainya sendiri. Di sinilah arti penting baliho-baliho itu. Mungkin baliho itu ingin berkata:
"Wahai Jokowi, jangan lupa kamu bisa ada di sana. Karena kami ada di sini. Kalau kamu masih ingin di sana, mulai tengoklah kami di sini".
Menjelaskan kenapa yang dipasang adalah foto Puan Maharani, bukan foto Megawati. Puan Maharani adalah representasi paling sahih dari kekuatan legilatif, karena ia adalah Ketua DPR RI. Ia adalah sekedar pengingat, bahwa DPR bisa me-recall Jokowi setiap saat. Apa yang sudah sangat gencar dilakukan secara laten oleh para rival PDI-P. Kalau PDI-P mau bergabung, selesai sudah....
Bagi saya, Jokowi itu selamanya tetap orang baik. Justru karena ia orang baik, ia tampak jadi sangat lemah di saat pandemi semakin kuat mencengkeram. Pandemi ini, sudah dengan mudah mengubah segalanya. Semuanya tiba-tiba tampak hancur berantakan, bagi para fatalist inilah saat terbaik untuk semakin dan sekalian menghancurkannya berkeping-keping. Hal-hal seperti inilah, yang gagal ditangkap atau dibaca oleh media yang bagi saya di luar berwatak pemalas, menganggap dirinya terlalu penting sebagai pemegang otoritas kebenaran informasi.
Padahal bekalnya sekedar kemampuan pasang kuping kanan kiri lalu copy-paste ....
Kita secara bersama-sama memasuki fase kehidupan baru! Masyarakat manusia akhirnya juga tak lebih hamparan padi, yang bisa setiap saat terserang hama. Tak lebih peternakan ayam ras, yang hanya bisa jadi diambil telurnya tanpa pernah dikasih kenikmatan berjalan2 di luar kandangnya. Kita terlalu bnayak berhutang, menghina kebaikan alam. Sampai kapan?
Sampai kita berhenti mengutuki pandemi, dan mulai belajar berdamai untuk lebih mengenali diri sendiri....
.
.
.
NB: Sebagai penutup, fenomena baliho ini justru menunjukkan gaya berkomunikasi Puan Maharani yang unik, original, dan kekinian. Ketika ia dianggap "tidak ada, nothing". Karena ia tidak pernah banyak berbicara, ia dianggap tak terlalu bernafus jadi "media darling". Dalam konteks media podcast-an, dianggap susah diundang ke media untuk diwawancarai. Bagi saya, justru karena ia anak jurusan komunikasi massa. Ia sangat paham menempatkan dirinya.
Dalam kaitannya secara internal, sebagai petugas partai yang lainnya. Ia merasa perlu harus tetap patuh, tunduk, dan terutama memberi ruang yang lebih lebar kepada ibunya. Karena bagimanapun secra de facto dan de jure, ibunya masih mbebeggeg ada di situ. dalam falsafah Jawa, ia bisa dianggap "mikul duwur, mendem jero". Ini cermin kerendahgan hati dan kebersahajaan, yang selalu gagal ditangkap manusia milenial yang selalu lebih rumour, glamour, dan kehebohan.
Dan yang terakhir, apa juga salahnya to? Kalau akhirnya Puan Maharani dicalonkan jadi Presiden? Bukankan ia hanya sekedar copy paste Indira Gandhi dalam konteks Jawaharlal Nehru di India. Tak ada yang baru, dan tidak ada yang istimewa. Dinasti politik bukan hal yang tabu dalam peta politik modern. Bagi saya satu-satunya yang istimewa ya, inilah kesempatan terbaik anak UI untuk menjajal kursi kepresidenan. Bukankah juga ini abad perempuan.
Mosok orang militer terus, bosen dan gak jaman! ITB sudah dua kali, orang Pesantren juga pernah. Bahkan sekedar Drop-out-an Unpad sudah ada. Mosok harus anak UGM lagi. Cie cie....
.

Puan: Dulu, Kini, Nanti 2

 Dicopas dari link kawan fesbuk saya Andi

CERITA TENTANG PUAN: DULU, KINI, NANTI (Bagian 2/3)

Nasehat baik dari sahabat saya Nana Padmosaputro, sang manusia multitalentis itu. Seorang psikolog, tarotis, motivator, bla bla bla yang tulisannya selalu original, meski kadang sangat tengil, nakal, dan ndagel. Tampak sangat milenialist, walau ternyata realitanya justru menunjukkan spirit dasarnya sebagai penganut Kejawen. Bahwa untuk menilai sesuatu harus menggunakan alat ukur yang tepat. Contohnya, bila ingin mengukur suhu badan ya pakai termometer, jangan pakai mistar penggaris. Atau kalau menimbang badan, jangan sekali2 pakai speedometer. Hal sederhana seperti ini, kita mudah abai dan sering tidak cermat. Jadi gampang marah, reaktif, dan akhirnya menghasilkan penilaian yang salah.
Menilai Puan di hari ini pun harusnya demikian. Minimal dari dua aspek pokok. Mustinya dalam ruang dan waktu yang juga kekinian....
Coba kita tengok, dengan siapa sesungguhnya Puan head to head berhadapan sebagai sesama "anak mantan presiden". Bagaimana ia membangun prestasi dan reputasi. Bandingkan dengan anak2 Suharto yang konon tajir melintir tujuh turunan itu? Setelah ayahnya tak lagi berkuasa, hidupnya hanya terpaku bagaimana mempertahankan hasil rampokan bapak-ibunya. Apa hal baik yang mereka lakukan selama lebih dari dua dekade terakhir ini. Kerusakan, kerusakan, kerusakan. Mereka merubah total era dimana Islam sebagai musuh di masa bapaknya, menjadi Islam sebagai alat perusuh. Mereka menjadi sponsor demo, teror dan kerusuhan yang nyaris tanpa henti. Tak lebih keluarga oportunis, destruktif, teroris....
Lalu, kita geser kita bandingkan dengan dua putra mahkota Cikeas itu? Tapi maaf, gak jadi ding, saya sudah terlalu malas bercerita tentang mereka. Keluarga yang hidup dengan hantu-hantu, yang tanpa sadar diciptakannya sendiri....
Atau kita pilih yang lebih bernilai positif: anak2 Gus Dur. Yang lebih fair dan berimbang karena sama2 tokoh wanita. Setelah kejatuhan ayahnya, lalu seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Partai besutan bapaknya dirampok oleh keponakannya sendiri. Mereka nyaris bernasib sama, mengalami trauma politik yang sangat akut. Mereka tak mau lagi bermain dia area politik praktis. Dan memilih menjadi Social Justice Warrior (SJW) yang berada di pinggiran, dengan melakukan pendidikan politik. Bagus, tapi pengaruhnya sangat lambat, meleset sedikit pengaruhnya hilang. Apa pasal...
Ruang dan waktunya bergeser terlalu cepat!
Di masa damai tapi gersang seperti ini. Dimana ekonomi sudah berubah jadi panglima, politik sebagai alat dan agama menjadi kendaraan.



Sebuah data riset internasional terbaru, menunjukkan Indonesia adalah negara dengan skala kepercayaan tertinggi di dunia terhadap agama. Angkanya 93 dari maksimum 100. Fenomena ini sesungguhnya trend yang aneh bila melihat pembanding negara lain, yang memiliki kecenderungan yang sama: Tiongkok, Brazil pun Amerika Serikat mengalaminya. Walau tak setinggi Indonesia. Negara2 yang dapat dikategorikan (meminjam istilah bahasa Jawa) "negara sing isih nggrangsang". Negara yang nafsu dan libido untuk sekedar jadi kaya dan kuat, dengan cara kemaruk, serakah, dan saling mengalahkan itu masih sangat kuat.
Tapi cobalah tengok, negara2 Eropa dan Asia Timur yang jauh lebih mapan, yang memiliki keberimbangan antara demokrasi dan sosialisme. Seperti Jerman dan Perancis atau Jepang dan Korea Selatan. Tingkat fanatisme beragamanya sangat rendah.
Apa efek dari rendahnya nilai tersebut: toleransi yang tinggi, rasisme yang rendah, dan kesejahteraan yang lebih merata. Kondisi yang menghasilkan tingkat ketergantungan yang rendah dari warga terhadap pemerintahannya. Menjelaskan kenapa ketika tingkat beragamanya tinggi, justru warga gampang menimpakan segala kesalahan kepada pemerintah. Dan ini riil terjadi di Indonesia....
Di ruang dan waktu seperti inilah Puan hadir.
Ketika saya berencana menuliskan serial ini, dan saya menggoda teman2 saya dengan memposisikan diri sebagai kakak kelasnya. Seorang teman bertanya: Puan itu bodoh ya mas?
Untuk menjawabnya, tentu saya harus bertanya pada teman2 saya. Pada titik yang paling ekstrem, sahabat saya Sri Wahyuni. Seorang aktivist LSM Perempuan yang bergerak di kesetaraan gender. Ia memberikan kesaksian bahwa ia pun semula salah menilai Puan Maharani. Hingga dalam Forum Indonesian Women's Forum 2018, ia terperangah! Saat memberikan keynote speech., tanpa menggunkan teks. Puan bisa dengan fasih bercerita dan memaparkan tentang bagaimana perempuan bisa memberikan makna dan kesejahteraan. Bukan hanya untuk diri sendir dan keluarga, tapi juga untuk lingkungan. Ia tampak sangat paham era industri 4.0 dengan pemanfaatan gadget dan teknologi digital untuk memberi manfaat ekonomi.



Pidato yang konon sedemikian memukau itu, dilakukannya di hadapan 1000 tokoh wanita terpenting Indonesia. Menjadi sangat menyentuh, karena ia sebagaimana wanita Indonesia mileneal hari ini, ia tetap untuk memilih jalan ber-gotong royong. Gawan orok ideologis yang berasal dari kakeknya!
Ada peristiwa lain, yang saya pikir juga gagal ditangkap publik dengan baik.
Peristiwa ketika pada tahun 2020 lalu, ia bersedia menerima gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dari Universitas Diponegoro. Bagi sesama anak UI, tentu saya kecewa. Buat apa? Gelar Doktor itu sejak SBY memilikinya dengan cara absurd, sudah jatuh harga. Para pejabat lain, baik di lingkaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif berlomba2 memilikinya dengan cara sama anehnya. Aneh, karena tanpa pernah kedengaran kuliah tiba2 sudah diwisuda. Kasus terakhir, yang menyangkut anaknya Akidi Tio, menguatkan bagaimana mungkin seorang Kapolda tiba2 punya gelar Prof. Dr. MSc. Sampai titik ini saya tidak mengerti bagaimana kita sedemikian mudah terkena prank!
Dalam ruang kegilaan itulah, Puan berdamai. Dengan menerima gelar tersebut? Tidak membeli, tapi menerima. Untuk memperoleh gelar Doktor cukup meyakinkan 4-5 guru besar, tapi untuk dapat DR. HC harus beroleh izin mayoritas yang puluhan guru besar di sebuah perguruan tinggi. Walau kalau ditilik dari alasannya tentu jadi juga lucu? Ia dianggap sebagai figur yang memperoleh persentase suara tertinggi dalam Pileg di Indonesia. Ya wajar karena, ia ditempatkan di kandang banteng. Di kawasan Solo, Sukoharjo, dan Klaten.
Demikianlah ia harus selalu selalu mengadaptasi dirinya. Tidak selalu baik, tapi harus berada jalan yang lebih benar. ia harus mendayung dan berselancar, ikut arus gila, liar, dan curam. Tapi tidak ikut jadi gila beneran! Dalam istilah Jawa: ngeli ning ora melu ngeli....
Dan terakhir, dan barangkali ini yang terpenting!
Beberapa waktu yang lalu, saya kedatangan seorang fungsionaris PDI-P, yang saya nilai dia salah satu ideolog partai ini. Dia bercerita dan mengeluhkan bagaimana sulitnya menjaga loyalitas anggota partai di hari ini. Di lingkungan partai ini, setiap hari mereka dihadapkan pada pilihan "kreweng atau banteng". Istilah kreweng sendiri itu unik, lucu, sekaligus mengundang haru. Arti harafiah "Kreweng" adalah pecahan genteng, tapi dalam tradisi perkawinan Jawa. Ia adalah uang logam yang terbuat dari tanah liat, yang digunakan pada acara siraman yang kemudian dilanjutkan acara adol dawet. Nah, orang yang ingin minum dawet itu harus membeli dengan duit kreweng itu...
Hari ini berbicara politik adalah uang, bukan lagi ideologi. Tanpa uang, politik adalah omong kosong. Ukuran yang sangat menyedihkan, bikin prihatin dan mengelus dada. Mbuh dadane sapa!
Dalam konteks ini pulalah, kita harus memahami. Protes yang dilakukan orang warga PDI-P, saat Ganjar Pranowo dihukum tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P justru ketika moment itu justru dilakukan di Semarang. Ia dianggap jalan sendiri, dan tak memberi ruang yang jembar bagi para konstituennya. Sesuatu yang berulang juga di hari2 ini, ketika Puan melontarkan kritik pada bagaimana Jokowi menangani pandemi. Yang seharusnya justru dibaca, semakin dekatnya atau lebih percayanya Jokowi kepada Airlangga Hartarto sebagai Ketua Golkar. Dibanding pada para tokoh lain yang berasal dari fungsionaris PDI-P.
Puan berada di ruang dan waktu, dimana "punya rasa malu" itu harus ditunjukkan dengan "cara tidak punya rasa malu". Ia harus cepat memahami bahwa celaan, kecaman, dan hinaan adalah menu santapan yang justru paling rutin hadir di meja makan dirinya. Dimana hukum adalah arena jual-beli yang paling vulgar, tak memiliki etika dan tata-krama. Asal apa? Asal semua dibungkus dengan agama: ya pakaiannya, ya ayat-ayatnya, ya pengikutnya....
Sebuah ruang dan waktu apa yang disebut "era anti-marketing", dimana merusak sebuah brand adalah cara tercepat melakukan pencitraan. Dan itulah yang kita lihat hari ini!
(BERSAMBUNG)
.
.
.
NB: Saya mencatat salah satu teladan baik dari Megawati adalah bagaimana ia mendidik anak kesayangannya ini dalam berpolitik. Ia mengajari anaknya, meniti karir politik dari bawah sekali. Dari sekedar panitia dari acara2 informal. formal, dan kemudian acara munas atau kongres partai. Ia tak pernah diberi jabatan dengan cek kosong, apalagi ditempatkan sebagai sebagai "putri mahkota".
Di sini, kita seharusnya apple to apple. Bila ingin fair bandingkanlah Puan dengan anak2 SBY itu? Yang bukan saja merampok partai, tapi secara sepihak menjadikannya sebagai rumah pribadi keluarga mereka. Media, akan terus mencari sisi buruk dari Puan, mungkin sebagian akan berhasil. Tapi pertanyaannnya, kalau itu berhasil lalu mau apa? Buat apa.
Tanpa kita sadari, kita ini setiap hari melakukan "pembunuhan", terhadap karakter, reputasi atau prestasi. Sebagian benar, tapi sebagian besar sangat ngawur. Tanpa perasaan bersalah dan tanpa berbekal data yang benar. Dalam politik, mengenali dan menilai figur pribadi itu penting.
Tapi membandingkan misalnya Puan Maharani dengan Mulan Jamella itu? Come on, cerdaslah sedikit....