Dari wall Andi Setiono di facebook
BANJIR BANDANG DALAM KEYAKINAN ORANG JAWA
Tulisan ini harus diawali cara pandang manusia modern, yang selalu menyalahkan anomali alam sebagai penyebab banjir bandang. Para cerdik pandai itu, pada intinya selalu menyalahkan perubahan cuaca ekstrem yang pada akhirnya menimbulkan curahan air yang luar besar. Dan bila air sudah tak tertampung, ketika hujan sedemikian lama dan tinggi di daerah atas. Maka banjir bandang hanyalah suatu keniscayaan.
Cara berpikir demikian lah yang menyebabkan banjir bandang selalu berulang. Seolah arisan, ia berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Alam selalu salah, manusianya tidak!
Sebelum lebih lanjut, perlu dijelaskan beda banjir biasa dan banjir bandang. Intinya sama2 daratan kelebihan air, tanah tak mampu menyerap lalu air meluap ke segala arah. Banjir konon bisa diantisipasi, tapi bandang tidak. Ia selalu datang mendadak dengan materi bawaan apa saja. Tergantung jalur air yang dilewatinya. Jika ia melewati rumah di pinggiran sungai, ya bangunan itu kentir. Jika rumpun bambu yang dianggap sebagai penahan erosi, ia pun amblas. Ia seperti pasir hisap: ngrawut, ngangkut!
Sebagai anak yang tumbuh di daerah bantaran sungai. Kampung kami cuma sepelemparan batu dari Kali Code. Kali yang betul2 membelah kota Jogja menjadi dua dalam segala aspeknya. Banjir bandang bagi warga kampung kami bukanlah selalu bencana. Ia adalah tontonan yang membuat hati anak2 kecil seperti saya gembira. Sedemikian gembiranya dari atas Jembatan Merah, kami menontonnya dengan penuh kegembiraan. Tudang tuding, bercengkerama, hahaha... (bangsat memang kami, di masa kecil!)
Oh ya sedikit berbelok, dulu Jembatan Merah, kami menyebutnya Kreteg Abang itu debatable. Ketika pertama kali dibangun, ia adalah jembatan yang menghubungkan secara langsung Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Ia membelah antara kampung Sayidan dan Bintaran di sisi Selatan, dan Kampung Ratmakan dan Jagalan di sisi Utara. Semula memang diwarnai merah, tetapi mungkin karena merah diasosikan sebagai sesuatu yang kiri. Kemudian dicat brom atau silver.
Sedangkan Jembatan Merah yang kecil, letaknya kurang lebih 300 meter ke arah utara. Menghubungkan Ledok Mataram dan area kawasan Jayengprawiran. Saya sebut demikian karena tidak hanya orang dari Kampung Jagalan Beji, tetapi juga Purwokinanti yang bermaksud pergi menuju Pasar Beringharjo atau Malioboro lebih suka melewati jembatan ini. Di sisi kanan kiri kreteg cilik ini dulu banyak pancuran mata air. Kami menyebutknya belik.
Tak heran bila kampung di atasnya disebut Jagalan Beji untuk membedakan dengan kampung di utaranya yang di sebut Jagalan Ledoksari. Sekarang lenyap tak berbekas, atas nama pembangunan. Di sisi kiri kanan sungai ditalud, hanya agar masyarakat kampung yang tmeluber di si sungai tak membuang sampah ke kali. Walau realitasnya, sama saja! Mentalitas publik tak akan pernah bisa dperbaiki oeh sekedar pembangunan fisik.
Nah di atas kedua jembatan ini, kami selalu menunggu moment2 terjadinya banjir bandang. Begitulah kekurang-ajaran orang kota. Di atas musibah, di bawah jadi berkah. Banjir bandang tak pernah lama, sekira 2-3 jam saja. Tapi apa yang dihanyutkan (kami menyebutkan "sing kentir"), selalu menarik untuk ditonton. Tentu saja yang paling umum adalah gelondongan kayu, bongkotan bambu. Tapi tak jarang rumah seatap2nya, bahkan sapi2 yang berurutan karena mungkin berasal dari satu kandang.
Lalu apa maknanya banjir bandang itu bagi orang Jawa.
Dahulu dalam ilmu persilatan atau susastra Jawa lama terdapat adagium "banjir bandang, segara asat". Ini sebuah ironi dalam masyarakat Jawa. Kenapa ketika terjadi banjir bandang, tetapi lautan malah mengering? Inilah yang disebut terjadinya sirkulasi energi, perpindahan daya yang terlalu besar yang justru berujung pada kekosongan. Ledakan daya itu bisa apa saja: kemarahan, kedengkian, kesombongan, bahkan kecemburuan.
Ia adalah energi negatif, sesuatu yang untuk orang modern malah sering dimaknai sebagai sumber motivasi. Energi negatif inilah yang pada akhirnya akan berujung pada kehampaan diri, kebingungan dan ketidakberdayaan yang semakin akut. Sesuatu yang diisyaratkan sebagai segara asat, samudra mengering.
Segara asat menandakan bagaimana manusia akibat keserakahannya pada akhirnya seperti "meminum air laut". Sesuatu yang mustahil menyembuhkan rasa dahaga. Ia adalah cermin masyarakat hari ini, yang agamanya sesungguhnya di satu sisi sombong, di sisi lain serakah. Kesombongan dalam bentuk paling sederhana adalah menghargai diri terlalu, sembari menisbikan keberadaan liyan. Dimana kita tak peduli lagi kepentingan orang lain, baik itu di jalanan, tempat kerja, bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman.
Mungkin solidaritas di hari ini masih muncul dalam lingkaran terbatas seperti komunitas, rumah yang dianggap masih aman karena merasa masih "sejalan". Bahkan dalam banyak kasus, mencoba mengulang "keindahan masa lalu" dalam bentuk "reuni sekolah tanpa akhir". Hanya sekedar menemukan tempat persembunyian baru, hilang sejenak akibat berada di situasi lagi2 "banjir bandang, segara asat" itu tadi.
Dahulu orang Jawa, di samping "hari" sangat peduli terhadap "weton". Bahkan di kalangan petani, hal ini semakin rumit dengan "pranata mangsa". Dimana nilai sesungguhnya adalah bagaimana manusia menyelaraskan seluruh sendi kehidupannya dalam lingkaran kuasa alam. Tapi semenjak era modernisasi muncul, lalu asketisme digantikan mula2 dengan mekanisasi lalu semakin parah ketika digitalisasi muncul. Dimana seoalah2 tidak diperlukan lagi ingatan atau catatan, karena semua secara instan diperoleh melalui kuasa gadget.
Adagium paling absurd bagi Jawa, dimulai ketika ia berbicara: semua hari adalah baik. Lucunya justru outpunya nasib mereka tidak pernah baik2 saja....
Bagi orang Jawa tradisional, musibah atau bencana itu selalu memberikan tanda2. Biasanya orang yang mampu membacanya disebut "waskita". Seorang yang isa weruh sak durunge winarah, manusia yang bisa melihat sebelum peristiwa terjadi. Tapi kepekaan lahiriah dan batiniah seperti ini sudah digantikan oleh agama yang munculnya dari arah Barat. Yang tidak banyak orang tahu, "Barat" sendiri dalam bahasa Jawa maknanya adalah bencana berbentuk angin topan.
Dalam kungkungan badai, lesus, puting beliung inilah di hari ini kita hidup. Menjelaskan kenapa kita terus berpusar.
Sekali lagi banjir bandang itu bukanlah hal yang seketika. Ia menjadi bandang sebagai tumpukan dosa, kesalahan, kengawuran, kesembronoan, semua hal jelek yang melekat pada diri manusia. Ia akan muncul di titik dimana, semua tak tertahankan lagi. Ia akan jebol, meluluh lantakkan apa saja yang ada di depannya. Selamanya ia akan menjadi alat pengingat. Bahwa sesungguhnya manusia hanya nunut urip, numpang hidup di alam semesta yang sesungguhnya jauh lebih berkuasa.
Di sini istilah manusia adalah kalifah di muka bumi menemukan kenyataan yang menyedihkan. Hingga kita percaya dan mengerti, Tuhan apa pun nama dan bentuknya akan selalu berbicara melalui kuasa alamnya itu!
Selalu begitu, selamanya begitu...
.
.
.
NB: Dalam ilmu politik kekuasaan, untuk membedakan dengan politik etis. Etik negatif "banjir bandang segara asat" itu nyaris dianut oleh seluruh Presiden RI khususnya yang berasal dari Suku Jawa. Terkait bagaimana jalan ia menuju kuasa, mencoba melanggengkannya, dan lalu jatuh dipermalukannya. Sial betul, nyaris tak ada satu pun dari delapan presiden di Indonesia yang tak mengalaminya. Semua harus menanggung rasa malu akibat karma yang dipilihnya. Hanya karena ia merasa sudah banyak melakukan dharma.
Mari kitak dedah sejak Soekarno, yang jasanya selalu disimplifikasi sebagai Bapak Proklamator. Glorifikasi yang memaksa kita lupa bahwa ia punya kegagalan dalam mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah satu2nya presiden yang memalumatkan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Semena2 melakukan kawin cerai sebanyak 9 kali, tanpa merasa bersalah walau rakyatnya kelaparan. Hingga ia dijatuhkan oleh sebuah konspirasi internasional yang dikomandani Suharto.
Sebaliknya Suharto yang sangat belajar dari pengalaman Sukarno, ia memang sangat berupaya memperbaiki kesalahan Sukarno. Ia melakukannya dengan menjaga stabilisai politik dan pertumbuhan ekonomi. Apa yang kemudian dianggap salah, karena justru yang paling diuntungkan anak2 dan kerabatnya sendiri. Demokrasi semu yang ia bangun kemudian memaksanya mundur, bukan karena demo dan rusuh. Tetapi karena dikhianati oleh anak buah yang selama ini ia pilih sendiri.
Periode Habibie, Guss Dur dan Megawati tentu saja tak terlalu menarik dibahas dalam konteks ke-Jawa-an. Ketiganya adalah anomali sekaligus presedensial (tolong bedakan dengan presidensial), dan karenanya tak menyisakan banyak kenangan baik atau buruk. Habibie hanya presiden lungsuran, Gus Dur adalah presiden kompromi, dan Megawati adalah presiden degradasi. Sial betul, kecarut marutan awal reformasi harus berlanjut pada sikap oportunis "manusia politik kekuasaan sejati" pada diri SBY.
SBY tentu saja naik dengan metode playing victim dan sokongan dana nyaris tak terbatas dari CIA dan Partai Demokrat AS. Ia mencoba mengembalikan bargaining position negeri Paman Sam yang nyaris hilang di masa awal reformasi. Tapi karena kelihaannya dalam berpolitik itu, ia sama sekali tak lihat dalam bagaimana membangun masa depan bangsanya.
Ia selalu bermain dalam "dunia pencitraan", sesuatu yang kelak di masa akhir jabatannya justru membunuhnya secara abadi. Di masa inilah, ia memberi rusaknya kohesi masyarakat, dengan menempatkan kaum ekstremis beragama. Ia merubah watak masyarakatnya bermental pengemis dengan berbagai macam subsisi yang seharusnya tak perlu. Bila ada orang yang pantas disebut sebagai biang kerok gagalnya reformasi, dia lah orangnya.
Dan pada puncaknya adalah masa Jokowi dan Prabowo. Beda dengan cara berpikir publik, saya lebih percaya bahwa keduanya sesungguhnya adalah semacam tali-temali. Sekalipun dalam du akli Pilpres tahun masa Jokowi, seolah2 mereka berseberangan. Tapi apa yang dilakukan Jokowi dengan mendukung Prabowo adalah bentuk kedewasan berdemokrasi, yang kelak akan abadi dicatat dalam sejarah negeri ini.
Menjelaskan mengapa nyaris tak ada yang baru dan luar biasa ketika masa pemerintahan Jokowi berakhir. Keduanya adalah pelaku sejati "banjir bandang segara asat", dalam meminjam energi musuhnya untuk menjatuhkan lawannya sembari melanggengkan eksistensinya. Ia tak butuh isu, karena lawan2nya akan selalu mencarinya. Hanya sekedar mempermalukan dirinya sendiri. Terbukti bahwa apa pun fitnah atau korekan masa lalu dari keduanya, lenyap tak berdasar dan berbekas.
Sesungguhnya ajaran "banjir bandang, segara asat" itu adalah bentuk lain dari Machiavelianis yang jauh belakangan lahir.
Sejarah Jawa sudah jauh hari menemukan dan mempraktekkannya. Menjelaskan kenapa sejak dulu arah perpindahan manusia di Jawa selalu mengarah ke Timur. Karena ia selalu menyusuri jalan "ke-Timur-an", berupaya menemukan kesucian lahir. Dan Bukan ke-Barat yang sebagaimana di atas dianggap menantang badai. Nah, sedikit paham kan kenapa di sisi Barat kekacauan sedemikian mudah terjadi.
Bandang itu selalu banjir. Tetapi tidak selalu banjir itu adalah bandang. Sebagaimana juga pesan itu adalah janji, tapi tidak berarti janji itu adalah pesan.
Sayangnya kita di hari ini, sering lebih menyukai dan mempercayai janji daripada pesan!







