Senin, 15 September 2025

Prabowo yang Mengisi Waktu

 Dari wall mas Andi Setiono

PRABOWO YANG TERBUANG DALAM WAKTU I Ketika saya memutuskan memilih Prabowo dalam Pilpres lalu. Di luar karena saya tidak mau membuang hak memilih saya, hanya sekedar menghindari sisi "sok keren" karena golput. Dua pilihan lain yang tersedia sedemikian buruk. Yang dapat 16 % harus dihukum, bukan sekedar karena tidak pantas, tapi sikap "sok tahu"-nya yang keterlaluan. Sedang yang dapat suara sedikit lebih baik, selamanya ia hanyalah "kontestan abadi", kutu loncat pengejar jabatan.

Keduanya pada level yang sama "pengejar mimpi di siang bolong". Bener2 bolong dan kosong, tapi sebagaimana tong. Keduanya hanya nyaring di bunyi, tanpa isi.

Tentang Prabowo? Ia tak kalah buruk dengan modal yang sama buruknya. Berharap terlalu tinggi padanya adalah cara kita membuang waktu. Tentu dengan harapan, sabar kelak muncul pemimpin yang lebih. Apa yang dalam bahasa anak hari ini untuk menuju "reset", setting ulang Indonesia. Menata kembali keadaan yang tidak baik2 saja. Hanya itulah yang permanen dari Indonesia dari waktu ke waktu. Kalau pun tampak beringut, sedikit bergerak, situasi dasarnya tetap sama. 

Karena apa? Sebagaimana pemahaman umum yang tercitrakan tentang Indonesia: ia adalah gadis cantik molek, selalu ranum dan subur. Sayangnya hanya siap dijarah, dan diperkosa. Bukan saja oleh modal asing, tetapi sikap serakah para penggedenya.  

Baiklah, kita ulas kenapa Prabowo hanyalah masa2 yang harus dilewati saja: Ia yang yang terbuang dalam waktu.

Pertama, kemenangan Prabowo, sebenarnya tak lebih hadiah. Ia telah tiga kali gagal, dalam kekalahan yang diglorifikasi "nyaris menang" melawan seseorang "nothing" dengan mengeroyok habis. Dan ketika menang, ia butuh pertolongan dari orang yang selama ini dikeroyok dan dihina dinakan itu. Dimana hal itu dimulai dari "tradisi usang menghapus dendam lama", dengan memberinya jabatan kenegaraan. 

Di sini ia adalah SBY Jilid Dua, dengan perlakukan yang berbeda. 

Tampak mulia, tapi sebagaimana budi baik ia akan menuntut balas budi. Di titik inilah, ia akan selamanya dianggap sebagai "manusia gamang". Tragis ketika seorang jendral, anak menteri, mantu Presiden, konglomerat, pebisnis sukses. Semua predikat, yang memberinya jejak "darah biru" justru sejak awal telah kehilangan kepantasannya. Ia harus selalu mengenakan baju yang kedodoran.

Kedua, tiga program unggulannya: Makan Bergizi Gratis, Sejuta Rumah Bersubsidi dan Koperasi Merah Putih. Ketiganya melulu bersifat populis, yang siapa pun Bendahara Negara-nya akan nyungsep dan bengep. Sejak awal saya telah memprediksi Sri Mulyani (SMI), sebetapa pun hebat dan proper-nya dia pasti akan terpental. Ketiga program cost-centre seperti itu, jelas hanya akan membuat negara dari kondisi tidak baik2 saja menjadi semakin tidak baik2 saja. 

Bila ada program kenaikan pajak, pemajakan pada hal, dan sikap progresif dari institusi pajak. Sebenarnya sama sekali bukan solusi, itu hanya jalan keluar bagi SMI dari kabinet yang sekedar menjadikannya alat. Sial saja pakai banget, bila harus menyakiti "perempuan baik" ini dengan cara membiarkan rumahnya dijarah secara tidak pantas. Mengapa dia? Bukan yang lain, bukan menteri2 lain yang sama sekali tak memiliki kompetensi profesionalisme. 

Jawabannya bagi saya ya hanya satu: ya karena, itulah cara mempercepat kepergiannya, sekaligus mempermalukannya. SMI adalah korban konspirasi tingkat tinggi, hanya caranya saja yang sedemikian telanjang dan kampungan. Sekampungan aksi demonstrasi2 akhir2 ini.

Ketiga, terjadinya demonstrasi terakhir adalah cermin betapa di tingkat tertinggi eksekutif mereka bermain di dua kaki. Di satu sisi, itu adalah cara menaklukan DPR yang memang isi2nya orang2 norak, tidak kapabel, dan sekedar pengejar jabatan. Pola demo-nya terlalu kentara, bahwa semua yang terlibat saling menunggangi dan memanfaatkan situasi. Bagi yang pernah beredar di kalangan aktivis jalanan, akan mudah mengidentifikasi polanya. 

Kombinasi antara kerja intelejen dan militer berstandar ganda, orang2 bayaran yang bergerak sebagai provokator dan kriminal, dana yang dititipkan melalui lembaga funding multinasional, dan tentu saja mahasiswa yang butuh curriculum vitae pernah turun ke jalanan. Bukti2nya sederhana sekali, perusakan fasilitas publik, gedung2 institusi negara, dan yang paling absurd justru tuntutan untuk membebaskan para pelaku anarkis, penjarah, dan provokator.

Sial betul, ketiga tagar pink-hijau yang dijadikan simbol perlawanan. Yang semula dianggap sebagai simbol perlawanan, ketika seorang emak2 berani menantang aparat. Belakangan ia justru sekedar meneriakkan dukungan pada salah satu capres yang gagal. Dan ternyata lainnya, keluarganya sendiri justru meminta maaf karena sosok perempuan ini: "bermasalah dan butuh perhatian khusus". 

Harusnya tidak aneh: bukankah selalu demikian perilaku para para demonstran. Ketika ia mulai bermasalah dengan dirinya. Ketika rumah tak pernah memberi jawaban. Maka turun ke jalanan adalah pelarian. 

Saya sendiri sudah lama tidak percaya pada kata "demokrasi", dan selalu sedih ketika ada wacana aneh "pejuang demokrasi". Karena sejak jaman dulu demokrasi selalu mengisi dirinya dengan orang yang salah. Demokrasi selalu menempatkan orang "yang paling ingin untuk menjadi". Dan dalam kasus Indonesia, yang paling ingin, tentu saja menggambarkan dia yang paling berani berbohong, tidak takut mengeluarkan dana yang tak masuk akal, dan lalu mengingkari sumpah jabatan yang pernah diucapkannya.

Dalam lingkaran setan beginilah, situasi ulang-alik lembaga eksekutif bertugas melayani kepentingan legislatif. Dan yudikatif, militer (plus polisi), dan pers, yang harusnya menjadi kekuatan ketiga, keempat, dan kelima,. Yang semestinya menjadi independen, selalu mengintai untuk berebut kue. Dengan cara menjadi alat para penguasa, dan atau mereka yang di hari ini tidak berkuasa untuk kelak ingin mencicipi kekuasaan. 

Realitasnya kita hidup di hari-hari, di mana tak ada satu negara pun di dunia. Baik kecil atau besar, berkembang atau maju yang berada pada titik stabil. Cina yang tampak besar, perkasa, dan tak tersentuh saja, konon tak lama akan berubah. Pertarungan antara yang ingin balik ke belakang atau terus maju ke depan. Eropa sebagai semangat keterbukaan, kemanusiaan, dan stabilitas. Bergerak mundur, yang diawali dengan membatasi imigrasi dan pekerja asing. Amerika, jangan ditanya. Tampak masih super power, tapi gagal menangani masalah RT-RW-nya.

Lalu Indonesia ingin tampak lebih baik? Dengan memanipulasi angka2 statistik, pertumbuhan ekonomi, yang diimbangi dengan omong kosong pemerataan yang populis. Nonsen! Jargon Gus Dur yang mengatakan bahwa Prabowo adalah sosok yang ikhlas adalah hiburan yang basi. Kita hanya perlu melewati masa2 kekuasaan: menjadi lebaih baik itu bonus, tapi jika lebih buruk tidak perlu kaget. Ajeg, mampat, dan bebal tetap akan berjalan lama.

Hari ini ia (mungkin) adalah right man (than two other), but in wrong place, wrong time juga. Artinya kita harus siap dengan lima tahun yang terbuang dalam waktu. ... 



.

.

.

NB: "Terbuang Dalam Waktu" adalah lagu paling indah, melodius dan bermakna yang diciptakan musisi Indonesia dalam setahun terakhir. Lagu yang "terlalu tua, ketuwan" untuk industri musik yang menuntut gairah baru, darah muda, dan dalam beberapa konteks jingkrak2 sesaat. Dinyanyikan oleh band yang dari namanya, terlihat semangat ke-Indonesia-an yang kuat: Barasuara. Sebuah kelompok yang dikomandani oleh Iga Massardi, yang tak lain putra dari sastrawan besar, sahabat saya: (alm) Yoedhistira N. Massardi.

Lagu ini tentu saja sangat kaya metafor dan pemahaman, ia aplikatif dalam banyak suasana: suka duka, tua muda, harapan kepedihan. Bagi saya ia satu semangat dengan salah satu surat pendek dalam Kitab Suci: Al Ashar. "Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.


Suatu surat sapu jagad, menyeluruh yang mendedah inti kehidupan manusia. Bahwa kehadiran manusia, sesungguhnya tak lebih membuang waktu...


Lagu yang dalam versi permainan piano-nya, yang minim alat musik lain justru terasa lebih menyentuh, lebih mendalam. Tampak ingin menghancurkan, tapi sesungguhnya berupaya menghidupi. Ia menolak menjadi tua, tapi sekaligus mengajak kembali menjadi kekanakan. Ia yang seharusnya "sudah lalu", tapi ingin tetap relevan di hari ini. Ia tampak kedodoran dalam nyaris segala hal, tapi masih ingin tampak gesit dan apresiatif. Ia sudah terpisah dari masa lalu, tapi ingin selalu membawanya serta di hari ini.


Semua ambigu yang ada pada diri Prabowo Subianto. 

15 September 2025