copas dari sini oleh Abdul Muiz Ghazali
Akhir-akhir ini seringkali kali kita temui banyak orang yang secara tiba-tiba berubah. Jika sebelumnya tergolong orang yang biasa-biasa saja di kemudian hari berubah menjadi shalih. Ada juga yang muallaf. Orang-orang menyebut mereka sebagai orang yang mendapat hidayah Allah. Petunjuk dari Allah ini kemudian dibuktikan dengan rajin beribadah dan mengajak orang untuk lebih giat melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti membaca al Qur’an, mengikuti majilis ta’lim, dan lain-lain. Tidak hanya itu, secara fisik dan tampilannya mereka lebih tampak mengikuti segala apa yang menjadi sunnah nabi, atau tepatnya kearab-araban.
Sampai disini, tidak ada masalah dan itu baik-baik saja. Kurang baiknya adalah ketika pola pikir dirinya dijadikan alat untuk menghakimi orang lain. Tidak tanggung-tanggung, sekalipun orang yang telah lama mengaji dan mengkaji ilmu Islam, jika berbeda pandangan dengan dirinya maka akan dicap keliru dan menyimpang dari Islam. Ada satu yang dilupakan bahwa dirinya adalah pemula dalam mengkaji Islam. Laksana murid silat, baru mendapat satu jurus sudah menyalahkan seluruh jurus-jurus di atasnya. Karena mereka pikir, hanya gerakan seperti itulah yang bisa menyelamatkan dirinya dari pukulan dan ancaman musuh. Dan uniknya, sebagai pemula, mereka tidak merasa malu atas sikap dan cara pandang itu.
Ajaran Islam yang sangat diagung-agungkan oleh mereka adalah sunnah dan penegakan syariah. Karena mereka merasa hanya seperti itulah Islam seharusnya ada, bukan ditafsiri dan dipikirkan. Tafsir tekstual yang menjauhkan pembaca dari realitasnya sendiri. Orang-orang lebih diarahkan untuk memahami apa maunya Tuhan dan alpa dari maunya manusia. Sehingga persoalan umat seperti kemiskinan dan ketidak adilan sosial terabaikan. Sabar dan tawakkal merupakan jurus yang seringkali disebut-sebut ketika berhadapan dengan kemiskinan. Sangat jarang atau bahkan tidak sama sekali terpikirkan bagaimana mengentas kemiskinan masyarakat.
Pola pikir seperti di atas di media massa dikampanyekan. Informasi-informasi yang tidak berbasis fakta dan kenyataan dilepas bebas dari facebook hingga twitter. Kasus-kasus Timur Tengah yang sarat dengan kekerasan pun diklaim sebagai bentuk peperangan antara muslim dengan kafir. Akhirnya masyarakat awam yang tidak terlalu paham soal agama dan timur tengah tergugah untuk membela dan mengomentarinya. Kasus peperangan ini sengaja mereka sebarkan guna menciptakan ketakutan dan tentnya semangat peperangan. Jiwa umat Islam dibakar agar tercipta kekisruhan dan permusuhan. Seolah-olah umat Islam dan Islam secara khusus berada dalam ancaman.
Sesalnya, berita maupun gambar soal peperangan di timur tengah ini disebarluaskan juga oleh para kiai dan ustadz yang masih tergolong belia soal dunia internet. Dengan semangat pembelaan terhadap Islam dan demi li i’la’i kalimatillah para ustadz ini dengan tulus memberikan komentar bahwa Islam saat ini benar-benar terancam berdasarkan informasi yang mereka dapat. Tidak hanya di media massa, bahkan di beberapa podium dimana para kiai berceramah atau berkhutbah juga tidak jarang berisi soal timur tengah ini.
Pada hakekatnya, para kiai itu juga terancam dengan adanya teologi wahhabi. Teologi yang menggeser tradisi tahlil, isra’ mi’raj, dan seremonial lainnya dimana kiai bisa bercengkrama dengan umat secara umum dan berubah menjadi teologi kaku yang lepas dari akar persoalan umat. Namun sayangnya, para kiai absen soal dunia internet. Ketulusan dalam pembelaan terhadap islam dan tradisi lokal berubah prahara. Sebuah ketulusan dan perjuangan yang tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai. Akhirnya, secara tidak langsung, para kiai dan ustadz ikut serta menyemarakkan teologi wahhabi yang memang sengaja memporak porandakan kedamaian.
Atau bisa jadi para kiai dan ustadz terprovokasi oleh teologi wahabi sehingga dengan terang-terangan ikut serta mendukungnya. Apalagi, sebagaimana disebutkan di atas, berita maupun gambar-gambar yang dishare oleh para pegiat perang ini seolah-olah menempatkan umat islam dan islam sendiri sebagai yang terancam. Tentu saja para kiai tertarik dan bersemangat untuk membelanya. Dan tidak mengerti bahwa dirinya ditipu oleh teolog-teolog tekstual yang justru menghancurkan umat itu.
Oleh sebab itu, sangat penting dan dibutuhkan sebuah pelatihan soal dunia internet bagi para kiai khususnya dan pessantren secara umum. Jika tidak, kiai yang pada awalnya berupaya dan bersusah payah membendung teologi wahabi justru terseret pada pusaran konflik di hadapan umat. Terus terang saja, soal dunia maya ini umat awam lebih paham ketimbang para kiai dan ustadz. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengetahuan masyarakat soal dunia luar bersebrangan dengan informasi yang diberikan oleh para kiai.
Dengan memberikan pengatehuan soal dunia maya dan persoalan timur tengah secara khusus kepada para kiai dan ustadz di pesantren maka secara tidak langsung ikut serta menyelematkan para pesantren sekaligus menjadi pembendung kampanye teologi yang membahayakan itu. Pegiat demokrasi dan toleransi penting turun tangan dalam soal ini. Bukan sebaliknya, yakni mencaci maki pendapat kiai karena kekurang pahaman kiai pada masalah dunia maya. Bukankah lebih baik menyalakan lilin dari pada menghardik kegelapan? Wallahu a’lam.