JAKARTA, Indonesia—Dokter Roslan Yusni
Hasan, ahli neurologi yang mendalami struktur, fungsi, dan penyakit dan
gangguan pada sistem saraf, menawarkan penjelasan tentang keberadaan kaum
lesbian, gay, dan biseksual dari sudut ilmu biologi.
Menurut dokter yang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga,
Surabaya pada 1985 ini, menentukan jenis kelamin seseorang tak semudah
menuliskannya di Kartu Tanda Penduduk: Laki-laki atau perempuan.
“Sekarang menentukan seorang laki-laki atau perempuan itu sulit,”
kata dokter yang akrab dipanggil Dokter Ryu ini dalam diskusi ‘LGBT: Mitos atau
Fakta’ yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK),
Selasa, 9 Februari.
Mengapa sulit? “Karena kalau kita melihat secara genetik, kromosom XY
itu belum tentu laki-laki, dan XX belum tentu perempuan,” katanya. Dalam dunia
kedokteran, laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX.
“Terkadang bentuk kelamin itu meragukan. Misalnya, ada bentuk
klitoris perempuan tapi tidak melekuk, kita bertanya ini perempuan atau
laki-laki,” katanya lagi. Jenis kelamin itu bervariasi, tak hanya dualisme
laki-laki dan perempuan.
Ada berbagai kasus yang dipaparkan Dokter Ryu terkait jenis kelamin
ini. Ada yang memiliki penis berukuran kecil, tapi di bawahnya menempel
klitoris yang tak bisa membelah. Ada juga yang memiliki klitoris tapi tak punya
uterus atau rahim sehingga tak bisa menstruasi.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Dokter Ryu menjelaskan bahwa pada awalnya semua dibentuk oleh hormon
seks. “Otak seperti kita sekarang ini dipicu oleh hormon awal kehidupan kita
saat menjadi janin, perilaku kita juga dikendalikan oleh hormon tersebut,”
katanya.
Saat janin masih berusia 0-8 minggu, jenis kelaminnya adalah
perempuan (baik yang berkromosom XX maupun yang XY). “Pada dasarnya kita semua
perempuan, kemudian terjadi perubahan diferensiasi atau perbedaan yang
menjadikan kita tetap menjadi perempuan atau bergeser menjadi laki-laki (pada
umumnya dipicu kromosom Y),” katanya.
Apa yang memicu perubahan jenis kelamin di minggu kedelapan? “Adalah
impuls (Gen SRY) pada saraf yang kemudian mengatur pembentukan organisasi di
bawahnya,” katanya.
Rangsangan dari Gen SRY itulah yang memincu lonjakan hormon
testosteron yang menjadikan seseorang memiliki kromosom XY atau laki-laki. Jika
tidak ada hormon testosteron maka ia akan tetap menjadi perempuan. Inilah yang
disebut dengan proses maskulinisasi dan defemininisasi.
“Tapi gen SRY tidak selalu memberikan dampak yang sama. Jadi
kelaki-lakian seseorang itu enggak sama. Enggak ada orang yang murni 100 persen
perempuan, dan 100 persen laki-laki,” katanya.
Menurut Dokter Ryu, proses tersebut disebut neural input,
yang nanti akan memicu seseorang cenderung menjadi laki-laki atau perempuan.
Saat janin sudah berumur 15 minggu, maka terbentuklah struktur jenis
kelamin tersebut. Ketika terbentuk, hasilnya tak selalu 100 persen laki-laki
atau 100 persen perempuan. Itulah yang disebut dengan disformisme seksual.
Tapi karena masyarakat hanya menggolongkan dua jenis kelamin saja,
laki-laki dan perempuan, maka khalayak umum pun bingung dengan jenis-jenis yang
lain.
Apakah bisa terjadi perubahan dalam proses pembentukan jenis
kelamin?
Menurut Dokter Ryu, pembentukan struktur jenis kelamin tak bisa
dipengaruhi oleh variabel lain. Struktur itu sudah terbentuk di otak. Apalagi
dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya karena bergaul dengan kaum
homoseksual.
Dokter Ryu melanjutkan ada satu hormon yang bernama estradiol yang
bertanggungjawab pada maskulinisasi. Pada saat janin berproses membentuk
struktur jenis kelamin, hormon ini bisa jadi turun kinerjanya sehingga anak
yang lahir maskulinisasinya tidak maksimal. “Tapi itu hanya satu dari sekian
variabel, bukan satu-satunyanya yang menentukan,” katanya.
Bagaimana dengan seorang lesbian, gay, dan biseksual?
“Ya itulah variasi alam semesta. Tidak ada manusia yang identik,
semua berbeda. Spektrum antara laki-laki dan perempuan itu luas, tidak ada yang
sama,” katanya.
Sehingga munculkan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan.
Yang ditemukan justru kemiripan, tapi tak identik.
Temuan peneliti LJ Gooren dan DF Swaab pada 1995 menunjukkan sirkuit
otak pria homoseksual mirip gambarnya dengan perempuan heteroseksual. Penelitian
itu menyimpulkan bahwa ada interaksi antara otak yang berkembang dengan hormon
seks seperti yang dijelaskan Dokter Ryu di atas. Baca laporan lengkap peneliti
tersebut di sini.
Tak bisa menular
Bagaimana dengan anggapan bahwa homoseksualitas bisa menular? Dokter
Ryu menegaskan bahwa bakat menjadi homoseksual ada sejak otak terbentuk, bukan
karena pengaruh lingkungan atau bergaul dengan kaum LGBT.
“Kalau seseorang yang berbakat homoseksual bergaul dengan
homoseksual, bisa terpicu. Tapi kalau dia tidak berbakat homoseksual, dia tidak
akan terpicu. Seperti orang yang berbakat musik, jika tidak pernah dikenalkan
pada alat musik, maka dia tidak akan pernah terasah bakatnya menjadi pemusik,”
ujarnya.
Lalu apakah ini berarti bahwa kaum LGBT tidak normal karena bukan
heteroseksual? Dalam sains, tidak dikenal normal atau tidak normal. “Begitulah
semesta, ini hanyalah variasinya," katanya. —Rappler.com
BACA JUGA
- Amerika: Indonesia perlu dialog tentang kesetaraan hak kaum LGBT
- NU Muda beda pendapat dengan PBNU soal LGBTIQ
- Forum LGBTIQ somasi Republika terkait artikel 'LGBT Ancaman Serius'
- Gay Indonesia soal fatwa mati: MUI ketinggalan zaman
- Bisakah menjadi gay sekaligus beragama?
- Menjadi gay di ibukota
- Religius tapi toleran LGBT, bisakah?
- LGBT di Indonesia bukan warga kelas dua
- LGBT atau radikalisme, mana ancaman yang lebih serius?