Minggu, 10 April 2011

Adakah Engkau di Surga sana oh Tuhan?


Aku menyeruput kopi panas dengan nikmatnya. Seperti hari-hari lainnya, kota Edington di musim gugur selalu dicekam dingin yang menusuk. Segelas kopi panas beserta setungkup hamburger sudah menjadi menu yang luar biasa di Bed & Breakfast yang aku tumpangi ini.  Sekarang aku berada di Skotlandia, wilayah utara Kerajaan Inggris Raya, di tahun 1903.

Dari bau harumnya yang khas aku sudah yakin bahwa biji kopi ini didatangkan dari kepulauan Nusantara. Lewat trading pedagang Inggris dan Belanda, kopi dari tanah ibu pertiwiku di bawa sampai ke mejaku. Sial, betapa jahatnya penjajahan. Sementara anak-anak bangsaku hidup dalam feodalisme dan kemiskinan, kekayaan tanahnya yang terbaik malah dinikmati orang luar.
Namun yang membuatku jauh lebih sedih adalah bahwa sampai sekarang masih berlangsung penjajahan dalam otak anak-anak negeriku. Sekalipun Indonesia telah merdeka 65 tahun, namun anak-anak bangsaku masih dijajah oleh isme-sme dari luar yang tidak sesuai dengan adab asli bangsaku. Isme-isme yang tidak berjejak pada keragaman dan keunikan anak-anak negeri ini. Isme-isme yang hanya membuat otak anak-anak bangsa ini berkiblat jauh ke barat, entah ke mekkah ataupun ke yerusalem. Isme=isme yang membuat garis marka yang rigid antara mukmin vs kafir, haram vs halal, umat yang telah diselamatkan vs umat yang belum diselamatkan. Tidak perlu lagi disebut-sebut tentang syahwat kekuasaan, kemunafikan, korupsi, dan ketidakjujuran yang melekat di dalam otak para politikus dan agamawan kita yang meluluhlantakan sendi-sendi kemanusiaan bangsa ini.  Aku menghela nafas panjang. Penat dan perih rasanya nurani ini jika mengingat-ingatnya.
Belum juga habis kopi ini, terdengar ada keributan di luar. Lelaki dan perempuan berhamburan disusul dengan beberapa polisi berkuda menuju suatu tempat tak jauh dari B&B tempat aku menginap. Aku tertarik untuk melihat apa yang tengah terjadi.

Ternyata baru saja sesosok mayat ditemukan. Seorang janda cantik dan kaya berumur 40 tahunan ditemukan tergeletak di atas sofa di rumah mewahnya. Tidak ditemukan bekas tikaman atau cekikan di tubuhnya. Begitu pula tetangga terdekatnya tidak mendengar suatu percekcokan antara si korban dengan siapapun dari tadi malam. Namun dari cara ia meninggal sudah jelas ia mati tidak wajar.

Polisi berusaha menjaga-jaga agar warga tidak mendekati TKP atau menyentuh apapun yang bisa dijadikan alat bukti. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki kurus tinggi dengan Jaket selutut, dan bertopi aneh. Di bibirnya selalu terselip cangklong dengan asap yang mengepul tipis. Ia adalah Sherlock Holmes, detektif terkenal di Scotland Yard. Dengan sigap ia memakai sepasang sarung tangan karetnya, mengeluarkan buku catatan kecil dan bolpen, serta tidak ketinggalan kaca pembesar dan mulai meneliti si korban.

Ia memeriksa tingkat kekerasan jasad si korban, mencari tahu sudah berapa lama sang almarhumah menjadi jasad ini. Ia mencari tanda-tanda di tubuh si korban yang bisa mengindikasikan apa yang sesungguhnya terjadi saat sebelum kematian tiba. Ia melihat apakah ada yang aneh dengan letak perabotan di ruangan itu. Adakah barang yang jatuh? Adakah barang yang terhilang?  Adakah sidik jari tertinggal di tubuh si korban? Adakah sidik jari tertinggal di pintu? Di jendela? Apakah ada tanda-tanda kerusakan di pintu, jendela dsb. Adakah zat racun tersimpan di cangkir teh si korban yang belum selesai ia minum. Ia mewawancarai dua orang pelayan dan seorang tukang kebun yang tinggal di rumah sang korban. Ia menganalisa, mengumpulkan hipotesa, membandingkan hasil hipotesa itu dengan catatan-catatan yang telah ada dan menarik kesimpulan. Dengan hati-hati ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada yang bisa membawanya pada sebuah kesimpulan.

Akhirnya setelah 2 jam investigasi berlalu, dengan dingin dan penuh keyakinan, ia mengatakan, “Kasus terpecahkan. Ini adalah pembunuhan ruang tertutup. Dan pelakunya adalah salah seorang pelayan sang janda dengan motif balas dendam pribadi. Ia menaruh sejenis racun cair di teh si korban karena si janda tersebut ternyata memiliki asmara terlarang dengan suami si pelayan. Dan dialah pelakunya.”  Telunjuk tangannya mengarah kepada salah seorang pelayan itu. “Mrs. Manning, andakah pelakunya?” Perempuan berumur 30 tahun itu menunduk malu dan takut. Ia mengangguk dan menangis. Kasus terselesaikan sudah.
Semua orang bertepuk tangan. Begitu pula aku. Dan sang Detektif melirik ke arahku dan mengedipkan matanya. Sementara asap dari cangklongnya mengalun di udara. Aku tersenyum.
Aku yang hidup 100 tahun setelah Sir Arthur Conan Doyle, tokoh real pencipta Detektif Sherlock Holmes,  merasa bahwa teknologi di jamanku hidup, yaitu sekarang, jauh lebih canggih dan mengesankan dibanding ketika Doyle hidup. Beruntunglah kita yang hidup di jaman post modern dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik dari segi teknologi, analisa psikologi, dan metoda2 penyingkapan kasus kejahatan yang dikembangkan oleh para kriminolog. Kita memiliki kamera pemantau, tes DNA, uji balistik jika kasus yang ditangani melibatkan peluru, deteksi ketahanan metal jika kasus itu melibatkan kecelakaan kendaraan, autopsy mayat, analisa kejiwaan dsb. Namun diluar perbedaan teknologi itu, pendekatan yang dilakukan untuk menyingkap suatu kasus adalah sama yaitu deduksi dan induksi.

Beruntunglah kita yang hidup dalam abad ketercerahan sains, sebab ilmu pengetahuan terus menerus memperluas cakrawala kita. Masa lalu yang dahulu nampak seperti misteri, sekarang semakin terbuka. Bagaikan detektif Sherlock Holmes yang tidak berada saat kejadian perkara namun ia mampu memecahkan kasus lewat investigasi material, begitu pula para saintis. Mereka tidak pernah hadir ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu, namun lewat investigasi material, pencarian materi2 yang mendukung, kemudian perumusan hipotesa dan korespondensi antara satu materi dengan materi lainnya, satu kasus dengan kasus lainnya, akhirnya mereka mampu menyusun suatu rangkaian penjelasan yang memungkinkan kita untuk mendekati apa yang benar2 terjadi di masa lalu. Dan apa yang terjadi rantai evolusi dan peradaban manusia.
Pencarianku akan makna hidup membawaku pada penelitian sejarah agama-agama, budaya, tata nilai, evolusi, spiritualitas dan ternyata itu semua bermuara di evolusi otak kita. 

Adakah engkau di surga sana oh tuhan? - Tidak, aku ada dalam otakmu.
Menurut para neurosaintis otak kita yang terdiri dari triliunan neuron ternyata adalah hasil evolusi selama berjuta-juta tahun. Secara fungsi otak dikelompokan menjadi 3 bagian utama, yaitu:

Lapisan pertama dan tertua : batang otak, disebut juga otak reptilian, karena fungsinya sama seperti otak banyak spesies reptile. Fungsi utama bagian ini menjalankan aktivitas dasar, sederhana & otomatis, seperti bernafas, detak jantung, sirkulasi udara, siklus metabolisme. Juga mengontrol daya flee or fight / kabur atau tempur.  Itulah kenapa ada sindiran ‘otak kadal’ bagi orang-orang yang cenderung suka memamerkan kekerasan fisik tapi ngacir kalau yang dihadapinya lebih jago dan kuat darinya.

Lapisan kedua : daerah limbik, bentuknya seperti helm yang mengelilingi batang otak. Jalur saraf yang lebih rumit ini memampukan otak si spesies untuk menjalankan kegiatan menyediakan makanan, perlindungan, ketrampilan bertahan hidup. Bagian otak ini menambahkan kesan-kesan emosi pada si spesies itu yang lebih luas dari pada flee or fight, seperti perasaan tertekan, lapar, senang, membedakan bebauan, membaca niat binatang lain lewat postur tubuh, gerak, tatapan mata, ekspresi wajah. Bagian Limbik ini ada pada binatang vertebrata. Limbik terdiri dari 2 hippocampus (kanan-kiri) yang berfungsi untuk merekam memori, dan Amygdala yg berfungsi merasakan emosi dan ingatan2 emosional. Sekarang kita memahami mengapa binatang2 seperti gajahm, beruang, kuda, zebra, dll mampu memperlihatkan emosi dan kasih sayang yang mendalam ketika merawat anak-anaknya dan memperlihatkan ekspresi bersedih manakala anak atau anggota klan nya dimakan singa atau mati. Emosi2 sedalam itu tidak dimiliki oleh binatang2 reptil. Kenapa? Karena otak mereka tidak memampukan mereka untuk merasakan emosi yang mendalam.

Lapisan ketiga, neokorteks, lapisan ini hanya dimiliki oleh mamalia, berfungsi untuk memberikan alasan, membuat perencanaan, memberikan respons emosi yang cocok. Dan pada spesies homosapiens, neokorteks ini berkembang menjadi system yang kompleks dan lebih besar yang memampukan mereka untuk membayangkan, mencipta, mengerti dan memanipulasi symbol. Kemampuan neokorteks ini yang dalam peradaban, menyediakan kita kemampuan untuk berbahasa, menulis, melukis, mengerti matematika, mengapresiasi seni, mengkonstelasikan konsep-konsep, merasionalisasikan emosi, mencari makna hidup dsb.

Neokorteks ini dalam otak manusia, yang bervolume lebih besar dari pada mamalia lainnya, memampukan kita untuk mengabstraksikan tata nilai apa yang baik dan tidak baik, bermoral dan tidak bermoral, jahat atau tidak , dan juga memampukan kita membayangkan kehidupan yang ideal, abadi, tiada kemalangan dan kematian, yang semua itu dikonsepkan berdasarkan materi yang ada di sekitar kita.

Dari evolusi manusia keluarlah hasrat2 untuk melakukan kebajikan, dan kemuliaan, dari evolusi manusia sendiri hadirlah keinginan2 dan keserakahan yang menelurkan kejahatan. Konsep2 kebaikan dan kejahatan inilah yang menciptakan agama dan tata nilai. Dan pencarian antara misteri keterhubungan antara eksistensi manusia secara personal dengan sesama dan alam, itulah yang menjadi hasrat mendasar spiritualitas.

Jadi adakah engkau di surga sana oh  tuhan ? Tidak, aku ada di dalam otakmu.

Pada mulanya adalah bertahan hidup
Dulu…dulu… dulu sekali pada waktu nenek moyang kita memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan hidup lamanya yaitu bergelantungan di dahan2 pohon yang tinggi dan mulai ke hidup di atas tanah (inipun terpaksa dilakukan karena ada suatu kejadian alam yang membuat pasokan makanannya diatas pohon mulai menipis), mereka menyadari kalau mereka tidak bisa lari secepat cheetah, tidak punya tenaga sekuat gajah, tidak punya penglihatan setajam rajawali, tidak punya cakar setajam cakar singa, maka dengan sendirinya mereka berkelompok untuk bertahan hidup.

Dengan tumbuhan dan daun-daunan yang mereka dapat, dan daging dari hewan2 lain yang lebih kecil mereka bertahan hidup. Kita bisa lihat contoh nyata dari simpanze, aktivitas mereka kebanyakan tidak diatas pohon, tapi di atas tanah, dan kadang makan, semut, kutu, belatung bahkan memangsa monyet lain yang jadi musuh kelompok mereka.

Dengan pola makan yang baru dan bervariasi itu, yaitu gabungan antara tumbuhan dan daging dari hewan buruan, maka sedikit demi sedikit dalam rantai generasi yang begitu panjang, kebiasaan ini menambah kadar protein dalam otak mereka yang nantinya menambah volume tubuhnya, memperkuat rangka tubuhnya, volume otaknya, dan memperkuat jaringan2 sel di dalamnya untuk memampukan diri mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Melalui perjalanan evolusi yang panjang dan berliku, sel-sel dalam otak spesies yang nantinya menjadi manusia ini, semakin diperkaya dengan pengalaman2 berburu, melarikan diri dari musuh, hubungan interpersonal dalam komunitasnya. Kehidupan di atas tanah, dan bukannya di atas pohon, sedikit demi sedikit merubah rangka tubuh mereka. Mereka jadi mampu berdiri lebih tegak, mampu mengkoordinasi tangan, kaki dan bibir yang memampukan mereka untuk berjalan lebih jauh, bergerak lebih anggun dan memiliki kemampuan baru, berbahasa verbal. Semua kekayaan baru ini  menanamkan ‘kode genetik’ dalam gen untuk generasi-generasi mendatang lewat cara berkelamin.


Tuhan – suatu konsep yang terus berevolusi

Bayangkan, pada jaman purba ketika manusia masih tinggal di gua2. Mereka merasa takut dan gentar akan alam ini. Mereka tidak sanggup mengalahkan ganasnya alam. Hujan yg lebat, guntur yang meraung-raung, kilat yang sabung menyabung. Dalam ketakutan, ketidak mengertian dan ketidakberdayaan mereka menganggap ada suatu kekuatan dibalik semua fenomena alam ini. Yang berkehendak sendiri-sendiri, lepas dan berkuasa atas alam dan manusia.  Kita menyebut keyakinan ini sebagai dinamisme. Keyakinan akan adanya suatu kekuatan-kekuatan otonom yang lepas berkehendak dibalik fenomena2 alam.

Baru sampai jaman manusia Neanderthal, manusia mulai menemukan konsep tentang adanya keberlanjutan hidup. Mereka percaya bahwa manusia yang mati, atau semua binatang yang mati, mempunyai kehidupan setelah kematian dalam suatu dunia antah-berantah. Para paleontolog menemukan situs-situs dimana manusia Neanderthal menguburkan kerabatnya yang telah mati. Dalam kuburan ini manusia didudukan persis dengan bayi di dalam kandungan, Karena mereka percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari fase hidup melainkan suatu fase awal untuk suatu kehidupan berikutnya lagi. Dan mereka yang telah mati, tinggal bersama kita dalam dimensi yang lain. Mereka tinggal di hutan, di danau, bahkan dalam alat2 berburu dan berperang mereka. Ada keterhubungan erat antara mereka yang telah meninggal dan alamnya yang khusus dengan kita yang masih hidup di alam raga ini, yaitu diantaranya untuk menjaga kita keturunannya dalam menghadapi bahaya. Mereka menjadi karuhun, dan kita jadi cucu-cucu kesayangannya.

Keyakinan ini disebut spiritisme dan animisme. Sampai sekarang animisme dan spiritisme dipraktekan secara luas dalam kebudayaan dunia. Keyakinan akan keharusan untuk membuat sesajen sebelum membangun rumah / pabrik, berasal dari keyakinan ini.
Kemudian, setelah manusia2 menetap dalam suatu komunitas, di tepi pantai, di gunung, di hutan, di gurun, dsb. Manusia mulai menemukan paham baru, yaitu politheisme. Secara tidak sadar dinamisme dan animisme dipersonifikasikan jadi dewa-dewa lokal dimana mereka bernaung. Ada dewa pohon, dewa hutan, dewa sungai, dewa gunung, dewa gurun, dewa lembah. Dsb. Setiap tempat memiliki dewanya sendiri.
Semakin kompleks suatu komunitas, semakin banyak dewa-dewa sesembahan mereka, sebagai cermin dari pengharapan dan ketakutan mereka, ada dewi kesuburan, dewa peperangan, dewa kesembuhan, dewi percintaan dsb. Setiap aspek psikologis manusia yang sukar dijabarkan lewat uraian kata dipersonifikasikan dalam citra dewa-dewi.
Ketika komunitas2 lokal ini bertumbuh menjadi kerajaan-kerajaan, begitu pula dewa-dewa itu ditempatkan dalam suatu hierarki, dewa yang tertinggi menjadi dewa utama / raja contoh zeus, dewa indra, sedangkan dewa yang lebih kecil / inferior menjadi dewa2 suruhan / dewa2 perang.
Dalam pemahaman yahudi, kristen dan islam dewa utama itu adalah yahweh / allah bapa / allah swt dan dewa2 yang lebih rendah adalah para malaikatnya. Tidakkah anda menemukan kesejajaran antara konsep kerajaan dengan konsep ketuhanan?

-raja – dengan tuhan yang bertahta di surga,
-perdana mentri dengan Gabriel / Jibril
-kepala pasukan dengan Michael atau Mikail.
-dayang dengan para seraphim & kerubim?

Begitu pula surga selalu digambarkan sebagai istana penuh dengan air mancur dan bidadari berseliweran disana-sini. Tidakkah ini penggambaran kaum padang gurun yang merindukan tempat teduh yang melimpah dengan air dan pepohonan sejuk serta ekstasi ragawi?

Ketika kerajaan2 itu berperang dengan motif-motif politis dan geografis, mereka membawa serta dewa2 mereka. Dan dewa dari suku yg menang dalam peperangan menjadi dewa pemenang, dewa yang lebih superior dari pada dewa suku yang dikalahkan. Dalam hal ini maka mengkerucutlah dewa-dewa ini menjadi suatu hierarki yg lebih rigid. Itulah sejarah dari politheisme menjadi monotheisme. Namun ada kalanya justru dewa dari suku yang kalah justru dianut oleh suku yang menang. Namun demikian kasus seperti itu kecil. Biasanya apa bila dewa-dewi dari suku yang kalah lebih beragam dan kaya makna, maka dewa-dewi tersebut diasimilasi ke dalam pantheon dewa-dewi suku yang menang.

Dari politheisme, hanya perlu selangkah lebih lanjut menuju monotheisme, yakni dogma yang diusung oleh kekuasaan, yaitu kehendak politik para raja yang mendukung suatu agama tertentu. Agama sang raja haruslah jadi agama si rakyat. Bukankah ini terjadi bahkan sampai saat ini?

Jadi jelas bahwa penggambaran tuhan berasal dari konsep manusia sendiri tentang kehidupannya. Seberapa jauh manusia memahami alam, hidup dan keterhubungannya dengan alam dan sesama, maka sebegitulah pemahaman tuhan mereka. Maka dari itu tuhan selalu digambarkan berbeda-beda. Ada tuhan yang jijik dengan perempuan, itu karena budaya si komunitas pengusung keyakinan itu adalah budaya male-chauvinistik, budaya yang mengagung-agungkan lelaki dan merendahkan perempuan. Ada tuhan yang pemurka, dan menyuruh si nabinya menghabisi lawan-lawan politiknya. Itu karena komunitas si nabi sedang terpojok, sehingga tuhan yang dicerminkannya adalah tuhan pemurka. Ada tuhan yang menyukai sesajian hewan tertentu, semacam kambing dan domba. Ada tuhan yang lebih manusiawi dan senang tari-tarian, itu karena para pengusungnya adalah komunitas yang ceria.  

Jelas bahwa manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya. Manusia-lah yang menyapa tuhan, bukan sebaliknya. Sebab jika kita mengandaikan ada suatu tuhan yang berfirman ini dan itu, seharusnya firmannya itu bisa diverifikasi. Mari kita datangi tuhan, apakah benar ia pernah berbicara kepada nabi ini dan itu dan memfirmankan demikian dan demikian.

Jika saya bisa gambarkan maka perspektif manusia akan konsep tuhan adalah bagaikan segi tiga terbalik yang terbuka bagian dasarnya (yang sekarang ada di atas).  Puncaknya, atau titik pertemuan dua garis, ada dibawah, dan itulah manusia. Sedang bagian yang di atas itulah konsep tuhan. Seberapa besar pengetahuan material dan kebijaksanaan si manusia /masyarakat tsb semakin luas derajat atau spectrum bagian bawahnya yang berarti semakin luas pula bagian atasnya. Sebaliknya, semakin kecil dan picik, sumpek dan dangkalnya semakin mengkerucut tajam dan sempit sudut spektrumnya dan semakin kecil pula horizon dibagian atasnya.

Selama ini pemahaman manusia beragama, terutama agama monotheistik, telah keliru karena menganggap pemahaman manusia akan alam bagaikan segitiga dimana titik pertemuan di atas adalah tuhan, sedang bagian dasarnya adalah manusia. Dan karena perspektif ini mengerucut ke atas maka semakin ke atas semakin sempit. Maka dari itu tidaklah mengherankan kita melihat dalam agama dogmatik, semakin ia merasa dekat kepada tuhan, seseorang semakin ia sempit pikirannya karena ia sudah merasa di atas dan berhak mengatur-atur orang di bawah.

Dalam terang pemahaman di atas adalah jelas bagi kita bahwa tuhannya agama adalah idea. Tuhan bukan sesuatu di luar sana, di atas sana yang bertitah ini dan itu. Tuhan ada di dalam pemahaman di otak kita. Dan seberapa jauh dan lembut pemahaman tuhan itu, tergantung dengan seberapa manusiawinya kita, seberapa dalamnya keteduhan batin kita, seberapa luas pemahaman kita tentang alam dan sesama mahluk.   

Jadi tuhan itu tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana, yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan malaikat. Sebab kalau tuhan berpribadi macam itu ada, maka ia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan manusia ciptaannya sendiri, serta bertanggung jawab atas kekacauan dan kekejaman yang terjadi dalam peradaban manusia dalam sejarah peperangan agama2.

Tuhan yang dipahami oleh manusia adalah konsep untuk menunjukan adanya nilai2 kebaikan dan keburukan. Jika ia adalah konsep / abstraksi maka yang terpenting bukan konsepnya itu sendiri, melainkan makna idea dibalik itu. Anda boleh memakai konsep ini atau itu, atau tanpa konsep agama sama sekali, yang penting anda mendapatkan makna hidup dalam kehidupan ini.

Itulah kenapa note saya sebelumnya, saya katakan bahwa saya merindukan Indonesia baru dengan beragam pemikiran, baik itu dinamisme, animisme, politheisme, monotheisme, agnotisme, atheisme  dsb. Asalkan mereka diikat dengan adab, dan nilai2 kemanusiaan yang menghargai hidup. Biarlah setiap insan  berdialektika dalam memaknai hidupnya. Ia memilih apa yang ia anggap layak dipercayai sepanjang itu tidak meniadakan hak2 orang lain untuk meyakini dan tidak meyakini sesuatu.

Konsep agama yang diusung oleh seseorang sebenarnya merefleksikan persepsi orang tersebut akan dirinya, alam, dan keterhubungan kesagalaan yang ada. Jikalau itu hanya refleksi atau   abstraksi dari persepsi maka tidak ada kebenaran obyektif di sana. Sebab kebenaran obyektif memerlukan verifikasi yang didasari oleh metode-metode keilmuan yang bersifat empiris dan  rasional. Adakah agama yang mampu menjawab tantangan pembuktian empiris?

Pada jaman lalu, manusia mempercayai bahwa alam semesta dibagi menjadi 3 lapisan besar, lapisan atas yaitu surga / arsy dimana tuhan bertahta, lapisan tengah yaitu bumi dimana manusia hidup, dan lapisan bawah adalah alam kematian di mana roh-roh orang yang telah mati dan dianggap tidak layak masuk surga – disiksa di sana.  Sementara di antara surga dan bumi para malaikat / dewa dan iblis sibuk berperang memperebutkan pengaruh atas manusia.

Dalam worldview yang sesederhana itu, maka mitos2 seperti kejatuhan adam dan hawa, pengusiran dari firdaus, bencana air bah, rencana pembangunan menara babel oleh Namrud, pengiriman tulah2 ke Mesir, kenaikan Musa dan Elia ke surga, kebangkitan dan kenaikan Yesus, isra miraz Muhammad, perjalanan Zoroaster ke surga, kunjungan Buddha dan murid2nya ke surga 33 langit bisa dipahami.

Namun dalam pemahaman manusia modern, dimana cakrawala pengetahuan kita lebih luas, masih bisakah kita mempercayai kisah2 ini sebagai kejadian factual dan historis? Bukankah kejadian itu akan menimbulkan pertentangan dari hukum2 fisika, kimia dsb karena jasad kita tidak memungkinkan untuk melintasi langit. Apa lagi kita tahu kalau di atas hanyalah ruang hampa luas.

Kisah-kisah diatas hanya bisa dipahami sebagai mitos, dimana dari kisah2 itu si penutur kisah menyampaikan tujuan dan pemahamannya berdasarkan kepentingan ideologi, budaya, politik dsb.

Keyakinan akan adanya suatu pribadi adikodrati yang bertahta di atas sana dan mengatur umat manusia dari awal sampai akhir, serta mengangkat nabi2 tertentu dan memberi sabda berbentuk kitab2 tertentu dan memuncak pada pewahyuan kitab tertentu dan figur nabi atau juru selamat tertentu – tentu saja mengandung kontradiksi baik secara idea maupun secara realitas. Karena pemahaman umat manusia yang terus maju dengan cakrawala pengetahuan yang lebih luas tidak memungkinkan adanya suatu titik kulminasi pewahyuan di belakangnya. Mestikah kita terus menoleh kebelakang untuk mencari semua jawaban dari pertanyaan kita sementara kompleksitas hidup dan pengetahuan umat manusia jaman itu tidak lebih rumit jaman sekarang?

Pada jaman2 lalu inti dari agama adalah agar kehidupan manusia dapat tertata, terikat dengan hukum-hukum positif dalam komunitas tersebut dan mengambil makna hidup. Dan itu wajar jika disikapi dengan dewasa. Artinya kita sadar bahwa tidak ada yang mutlak dalam kepercayaan2 tsb. Kenapa? Karena seiring dengan pengetahuan manusia akan alam, dirinya, sesamanya dan keterhubungan di antara faktor2 tersebut, maka kebathinan manusia pun akan bertambah pula.

Dari perspektif agama, ketika pemahaman manusia berubah dan semakin maju, agama pun harus mau membuka diri dan jujur dengan segala kelemahan dan keterbatasan dan kenaivannya. Sebab kalau tidak, maka ia sendiri harus bersiap-siap ditinggalkan oleh manusia2 yang cerdas.

Keyakinan yang masih membangga-banggakan akan adanya tuhan di langit yang memberikan tiga agama langit, yang masih mempercayai bahwa wahyu dari allah di langit itu memuncak pada pribadi nabi tertentu, kitab tertentu dan agama tertentu, atau juru selamat tertentu, masih layakkah kita pertahankan? 

Kita lebih memerlukan kemanusiaan, kejujuran dan intelektualitas daripada kepercayaaan2 buta yang dalam rekam jejak sejarah, sudah jelas-jelas menorehkan diskriminasi, penindasan, kekerasan dan darah.

Sejarah pemahaman konsep tuhan adalah sejarah pemahaman manusia itu sendiri tentang alam, dirinya dan sesama. Dengan begitu maka ini mengundang dekonstruksi, rekonstruksi, dan reinterpretasi.

Tuhan adalah tuhan yang ber-evolusi, seiring evolusi (otak) manusia.



Apa yang ada di balik simbol-simbol

Jikalau idea-idea dalam kisah-kisah agama adalah symbol, seperti halnya surga, neraka, keabadian, dsb maka sebenarnya symbol-simbol ini mengacu pada apa?

Dalam note saya yang pertama saya tuliskan seperti ini:

Kami para pencari kebenaran yang mempelajari banyak ilmu secara interdisipliner, menyadari bahwa agama hanya sekumpulan dogma dan symbol-simbol tertentu yang mengacu kepada ‘suatu makna’ di balik itu. “sesuatu”  ini yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang gamblang.  Namun para agamawan begitu mudahnya mem-bypass dan menjadikan ritual, dogma sebagai kebenaran final, kebenaran dalam dirinya, sehingga berkubang di situ dan tidak mampu menempus makna di balik itu.

Jadi apa makna di balik symbol-simbol agama itu?  Saya telah jawab bahwa makna di balik simbol2 itu sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata gamblang. Itulah mengapa Buddha lebih baik berdiam diri manakala ia ditanyai tentang adanya tuhan yang berpribadi, prima causa, asal muasal semesta dsb. Jikalau jaman sekarangpun dengan cakrawala pengetahuan alam yang lebih luas manusia sukar menjawabnya, apalagi manusia 2500 tahun yang lalu?
Namun dalam note yang akan datang akan saya sedikit paparkan pemahaman saya tentang hal ini.

Conquest of the Universe – mungkinkah masih ada waktu bagi kita?
Pada penghujung abad ke-15 masyarakat Eropa dikejutkan dengan ditemukannya dunia baru oleh Christopher Columbus. Seperti kita tahu bahwa kejatuhan kekaisaran Roma Byzantine yang kristen kepada dinasti Utsmaniah yang islam dan pemblokiran jalur2 perdagangan eropa ke Asia memaksa para pelaut eropa untuk mencari rute-rute perdagangan baru.  Penemuan dunia baru ini membuktikan bahwa bumi tidak seluas yang mereka kira. Bagi orang Eropa saat itu batas paling selatan adalah Tanjung Harapan di Afrika selatan dan batas paling timur adalah kerajaan Cina. Segera setelah penemuan dunia baru tersebut, maka terjadilah gelombang migrasi bangsa eropa ke benua Amerika. Pula semakin bergejolak peperangan antara protestan dan katolik di benua Eropa semakin banyak imigran merangsek masuk ke benua Amerika. Dan semakin berdarah-darahlah sejarah peradaban penghuni asli benua itu. Entah berapa banyak jiwa dan suku bangsa India yang punah karena keberingasan tentara spanyol, Inggris dan Portugis.

Dalam film 1492, the conquest of Paradise, Vangelis sang composer menggubah lagu yang begitu dinamis dan penuh misteri berjudul Conquest of Paradise. Nada-nada yang sederhana, hentakan tambur, tempo yang dinamis dan penuh emosi menggambarkan harapan, ketakutan, tantangan, ancaman kegagalan dan kematian para pengarung lautan.

Begitu pula dengan sejarah evolusi dan kesadaran manusia. Penuh ketegangan dan ancaman. Seringkali manusia melangkah yang salah dan menganggapnya benar. Dan harga yang harus dibayar dari kebodohan itu seringkali teramat sangat mahal, yaitu nyawa. Sejarah agamapun memperlihatkan hal yang serupa.

Ke depan anak cucu kita akan mengarungi wilayah2 baru dalam semesta tak terbatas ini. Pertanyaannya adalah mampukah anak-anak manusia bertahan sampai ke jaman itu sementara apa yang kita lihat sekarang dunia selalu berada di ujung tanduk? Dan salah satu factor pemicunya adalah masalah agama. 

Negara-negara Timur Tengah yang selalu dalam keadan tegang adalah negara2 yang paling berpotensi untuk membawa ancaman kepunahan kepada dunia. Sudah jadi rahasia umum bahwa konsentrasi senjata terbesar dunia ada di Timur Tengah. Dengan kemampuan teknologi nuklir Iran yang ada pada saat ini, adalah mudah bagi mereka untuk mengubah reactor nuklir untuk listrik ini menjadi teknologi senjata penghancur massal. Demikian pula sudah bukan rahasia umum bahwa Israel, Pakistan dan India dicurigai memiliki senjata nuklir. Fakta ini memicu negara2 Arab untuk berlomba2 menumpuk senjata sebagai pengimbang. Mengapa Arab Saudi, Mesir, Syria, Yordania dan Turki begitu dekat dengan Amerika Serikat? Salah satunya karena mereka takut dengan Iran. Persaudaraan islam yang digembar-gemborkan pada dunia adalah persaudaraan semu. Karena pada hakekatnya mereka memiliki kepentingan sendiri2 yang berbeda-beda. Tidak ada lawan, kawan, dan persaudaraan keagamaan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi apabila krisis kemanusiaan dan politik Arab – Israel terus memanas dan menyulut peperangan besar. Dan kita di Indonesia, tentu saja akan terbawa-bawa secara emosional, karena secara budaya dan ideologi agama Indonesia sudah jelas keberpihakannya.  Tak bisa dibayangkan chaos yang akan terjadi di negeri ini apabila saat kehancuran itu tiba.

Saya ingin kita melihat bahwa ada hal yang salah dengan agama2. Ada yang irrasional dengan agama2. Semua ini saya tulis agar anak bangsa bisa melihat akar permasalahannya yaitu keyakinan yang bertumpu pada mitos. Dan sungguh tidak layak bagi umat manusia untuk berperang dan saling membenci hanya demi mitos.

Padahal ke depan umat manusia masih punya banyak tantangan untuk ditanggapi. Ada bentangan alam semesta yang maha luas untuk dijelajahi. Ada lembaran pengetahuan baru dalam alam semesta ini yang menunggu disibak.

Wahai kaum islam, kristen dan yahudi, untuk apa terilusi dengan tanah Yerusalem yang tandus, dan situs-situs keagamaan berselubung mitos yang kita sudah tahu bahwa tidak ada kebenaran mutlak di sana? Untuk apa kita mempertaruhkan masa depan manusia demi mitos?

Dalam benak pemeluk 3 agama ini, mereka percaya nubuatan/ramalan akhir zaman, yaitu peperangan besar-besaran yang memperebutkan Yerusalem. Padahal setelah kita tahu bahwa tidak ada sesuatu entitas di atas sana yang memberikan pengetahuan masa depan. Karena semua pengetahuan itu didapatkan oleh manusia sendiri, maka nubuatan itu adalah self fullfiled prophecy atau nubuatan yang dibuat sendiri, dipercayai dengan buta oleh sendiri dan dijadikan nyata oleh sendiri. Ironisnya hampir 56% atau  hampir 4  milyar manusia di dunia ini  harus terseret-seret secara iman dan kultur dalam mitos2 ini. Buat saya itulah malari – malapetaka yang dicari-cari sendiri.

Tidak ada pusat alam semesta, jadi tidak ada titik episentrum rohani dalam dunia ini, entah di Yerusalem, Mekkah, Benares, Gangga, Vatikan, atau Himalaya.

Tidak ada puncak pewahyuan dalam bentuk kitab atau sesosok nabi terakhir atau sesosok juru selamat manusia.  Semua itu hanya interpretasi sekelompok orang yang dijadikan iman mereka sendiri dan dipaksakan untuk diyakini umat manusia di segala tempat dan disegala jaman. 

Bagi kita yang memahami ini, apa masih mau kita dijajah oleh mitos-mitos tersebut?

Pada saat anak2 bangsa di negeri ini terikat dengan mitos-mitos dalam kitab ‘suci’, ingin mendirikan kilafah, ingin menggoalkan undang-undang syariah, berlomba-lomba mendirikan islamic center, serambi medinah  atau megachurch , justru para saintis di negeri-negeri barat mencari cara memelihara keberlangsungan kehidupan bumi dan ras manusia. Oh betapa konyol dan inferiornya kenaifan agama, tapi pongahnya duh gak  ketulungan.

Lihatlah alam semesta yang luas untuk dijelajahi. Mengapa memperebutkan kebodohan hanya demi mitos yang terbukti hanya bikinan manusia masa lalu saja?

Kapan kita akan bertanggung jawab untuk hari esok, apabila dalam benak kita masih digelayuti hantu2 irrasionalitas dan emosionalitas dalam berkeyakinan?

Ingat bahwa spiritualitas sebenar-benarnya tidak memaksudkan manusia melihat apa yang ada di seberang sana – di alam sesudah kematian, namun mencari makna terdalam dari kehadiran kita kini dan di sini, dalam ruang dan waktu ini, dalam kehidupan yang hanya sekali saja.

Spiritualitas sejati bukan tentang romantisme psikologis tentang kebenaran agama2 tertentu, bukan pula suatu bentuk pelarian kekanak-kanakan dari penderitaan hidup. Bukan pula tentang kesaksian pengalaman Out Of Body Experience, yang bisa saja hanyalah katarsis dari si pikiran.

Spiritualitas sejati adalah perjalanan rohani dan intelektualitas dalam memaknai hidup ini, kini dan di sini, yang menyadarkan akan keterhubungan kita dengan sesama, dengan alam, dengan kehidupan, dengan misteri dari kesegalaan ini.

Silahkan membuka page ini dan rasakan lagu Conquest of Paradise sebagai perjalanan evolusi kesadaran dan pengetahuan manusia di hamparan semesta yang tak terbatas.