Senin, 27 September 2010

Agnostik

Dari Agnostik

Oleh Bertrand Russell, 1953.
Diterjemahkan oleh Setya A. Sis, 1999

Apakah orang agnostik itu Atheis?

Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Kristiani, mempercayai bahwa ia dapat mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan. Penganut Kristiani mengatakan bahwa ia dapat mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengtahui Tuhan itu tidak ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan. Pada saat bersamaan, orang agnostik mungkin mengatakan bahwa eksistensi Tuhan meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Tuhan, maka Tuhan pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal demikian, Tuhan disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno. Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai. Orang agnostik akan berpendapat bahwa Tuhan orang Kristiani sama kecil kemungkinan adanya dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia sama dengan orang atheis.

Oleh karena Anda menolak "hukum Tuhan", otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman hidup?

Orang agnostik tidak menerima "otoritas" apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang beragama. Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh "Hukum Tuhan" itu selalu berubah setiap saat. Injil mengatakan bahwa wanita tiak boleh kawin dengan saudara laki-2 dari suami yang telah meninggal, dan bahwa dalam keadaan tertentu wanita harus kawin dengannya. Jika anda kebetulan seorang janda tak beranak dan masih ada ipar yang belum kawin, maka logikanya anda tak boleh menghindari "hukum Tuhan."

Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik?

Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Kristiani terhadap apa yang disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Kristiani di masa lalu bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai theologi yang absurd harus menerima hukum mati yang menyakitkan. Hukum mati demikian ditentang, dan lebih hati-hati mengenai tuduhan moral.

Kata "dosa" dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide "dosa".

Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya?

Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda akan menjawab: "Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa." Namun dalam kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil.1 Mereka mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum, seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut "conscience": Jika anda pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saat-saat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler yang dipakai untuk menciptakan dan dan mengabadikan masyarakat demikian.

Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan keinginan in check adalah selalu merupakan meinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang dapat di kendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, tapi dapat juga dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat meluruskan orang itu.

Bagaimanaka anggapan orang agnostik terhadap Injil?

Orang agnostik menganggap Injil tepat sebagaimana yang dianggap oleh seorang administrator yg bijak. Tidak dianggapnya sebagai wahyu illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Samuel memerintahkan Saul dalam perang untuk tidak saja membunuh tiap laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, tapi sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan ternak sapi hidup, dan untuk hal ini kita disuruh mengutuknya. Saya tak pernah mampu menyenangi Elisha karena mengutuki anak-anak yang mengolok-oloknya, atau mempercayai (yang dinyatakan Injil) bahwa Dewa yang baik hati akan mengirimkan beruang jadi-jadian untuk membunuh anak-anak tersebut.

Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Jesus, Kelahiran oleh Sang Perawan, dan Trinitas yang Suci?

Karena orang agnostik tidak percaya Tuhan, tak dapat dipercayai bahwa Jesus adalah Tuhan. Kebanyakan orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Jesus sebagaimana ditulis dalam Injil, tetapi tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan Jesus sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham Lincoln. Mereka juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolut.

Orang Aganostik Menganggap Kelahiran Sang Perawan sebagai satu doktrin yang diambil dari mitologi pagan/kafir, dimana kelahiran demikian bukan hal yang aneh (Zoroaster dikatakan terlahir dari seorang perawan; Ishtar, the dewi Babylon, yang disebut sebagai the Holy Virgin/Perawan Suci). Mereka tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut, ataupun kepada doktrin Trinitas, karena keduanya tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada Tuhan.

Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Kristiani?

Kata " Kristiani" mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad sejak jama Kristus, kata itu berarti orang yang percaya apada Tuhan dan keabadian dan serta bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi kaum Unitarians menyebut diri mereka penganut Kristiani meski tidak percaya akan keIlahian Kristus, dan banyak orang saat ini menggunakan kata "Tuhan" dengan arti yang kurang pas dibandingkan dengan arti jaman sebelumnya. Banyak orang yang sekarang mempercayai Tuhan tidak lagi bermakna person/manusia, atau trinitas dari person, namun hanya berupa kecenderungan kabur atau kekuatan atau maksud dan tujuan immanent dalam evolusi. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan "Kristianitas" hanyalah sebuah sistem etika yang dibayangkan sebagai karakter penganut Kristiani saja, karena mereka tidak peduli dengan masalah kesejarahan.

Dalam buku yang baru diterbitkan, ketika saya katakan bahwa apa yang diperlukan dunia adalah "cinta, cinta Kristiani, atau kepedulian/compassion," banyak yang menyangka hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pemikiran saya, meski kenyataannya mungkin saya katakan hal yang sama kapanpun. Jika yang Anda maksudkan "Penganut Kristiani" berarti orang yang mencintai tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda mendapat justifikasi untuk menyebut saya seorang Kristiani. Dan dalam hal ini, saya kira anda akan dapat menemukan lebih banyak "penganut Kristiani" diantara orang-orang agnostik dibandingkan dalam kalangan orthodoks. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi demikian. Selain penolakan lainnya, namapaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Muslim, penganut non Kristianilainnya , yang sepanjang sejarah ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak cenderung untuk melakukan moralitas diklaim dengan arogan oleh penganut Kristiani sebagai unik milik agama mereka sediri.2

Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Kristiani di jaman-jaman awal, dan sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa kepercayaan pada Tuhan dan immortalitas adalah essensial bagi penganut Kristiani. Dengan dasar ini, saya menyebut saya sendiri sebagai penganut Kristiani, harus saya katakan bahwa orang agnostik tak dapat menjadi penganut Kristiani. Namun jika kata "Kristianitas" ternyata digunakan secara umum dulunya hanya berarti sejenis moralitas, maka jelaslah mungkin bagi seorang agnostik untuk menjadi penganut Kristiani.

Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa?

Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi dari kata "jiwa". Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat ragu pada tubuh sebagaimana ketidak tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis.

Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka?

Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai.

Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya kepercayaan bahwa hukuman pembalasan artas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah of dari tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga.

Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Tuhan karena menolak-Nya?

Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin dan Brahma, namun hal ini tidak menyebabkan kebingungan/keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari ummat manusia tidak percaya tuhan Tuhan dan tidak menderita hukuman yang nyata karenanya. dan jika memang ada Tuhan, saya kira Tuhan itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak eksistensinya.

Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam?

Saya tak tahu dimana ketemunya "keindahan" dan "harmoni". Dalam kelompok kerajaan binatang, binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada binatang lain dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan hanya ada di mata orang yang memandangnya saja.

Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Tuhan YME?

Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti "mukizat" dengan arti kejadian-kejadian yang bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman dapat terjadi dan sama sekali bukan mukjizat. Di Lourdes, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun terhadap pasien yang beriman. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Joshua yang memerintahkan Matahari agar diam, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda dan menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda yang begitu. Sama banyaknya mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya Tuhan Kristiani dalam Injil (dan Islam – sasis).

Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis?

Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa agama agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadai dalam Kristiani dibandingkan tempat lainnya. Apa yang nampak dapat membenarkan hukum mati adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan berkurangnya kepercayaan dogmatis. Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis, yakni komunisme telah muncul. Untuk itu, sebagai mana terhadap sistem dogma lainnya, orang agnostik ditenentangnya. Ciri hukum-menghukum komunisme jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Kristianitas di abad dahulu. Dengan berlangsungnya waktu, Kristianitas kurang cenderung menghukum, ini adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap menganggap benar membakar orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh penganut Kristiani modern sebagaimana Kristiani, pada kenyataannya merupakan produk moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama telah mengakibatkan penderitaan dari pada yang telag diselamatkannya.

Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik?

Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya "arti hidup" ? Saya kira itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin.

Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan?

Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia, dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa, ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali. Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan bukan berdasarkan digaan perintah keilahian.

Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya?

Bukankan logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, "hanya mengimani logika saja". Logika berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Tuhan berkaitan dengan kenyataan, dan orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan pertanyaan, "Apakah akan ada gerhana rembulan besok?" Namun kenyataan saja tidak cukup untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda ingin bepergian dengan kereta api dari New York ke Chicago; Anda akan menggunakan logika untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Chicago adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika. Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan.

Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama mana yang Anda hormati, dan mengapa?

Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak mengandung dogma, tetapi "agama" adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh Confucianism dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.

Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam bentunya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim.

Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu komunis?

Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristiani saja, sebagaimana yang ditentang oleh agama Islam (Mohammedanism sic.). Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma baru yang maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti menentangnya.

Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat?

Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan "agama". Jika hanya berarti sistem etika, agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai mutlak benar, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai.

Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Tuhan itu ada?

Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak terhadap adanya intelegensia superhuman. Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian.

Ryan Breedon untuk Philosophy for Everyone/ Filsafat untuk Siapapun,
24 Agustus 1997.

Diterjemahkan oleh Setya A. Sis, 1999

Tujuan Hidup

Sumber dari Tujuan Hidup

1.Tanggapan dari pembaca Nasrani

Segera setelah 2 notes terdahulu saya publish, akun FB saya dibanjiri oleh pembaca dari latar belakang nasrani yang meminta di-addfriend, terlebih ketika note yang terakhir, Tuhan Itu Ada Sebanyak Mereka Yang Memikirkannya, dimana saya telanjangi mitos-mitos agama yahudi dan nasrani, justru mereka memberikan apresiasi positif terhadap tulisan saya. Surprise. Biasanya caci maki dan hujatan sudah jadi diet saya tiap hari. Sukurlah.
 

Kejujuran inilah yang mereka cari selama ini dan tidak didapat di khotbah2 pendeta mereka. Intelektualitas yang menghempaskan candu agama seperti inilah yang mereka rindukan selama ini dan tidak di dapat di gereja.
Mungkinkah ini tanda bahwa manusia terdidik, sudah nyata-nyata tidak bisa menerima lagi pembodohan dari para rohaniwannya?

Mungkinkah ini saatnya telah tiba bagi manusia Indonesia untuk bangkit dan belenggu-belenggu mitos yang selama ini menjadikan kita the other terhadap sesama kita sendiri? Saya harap demikian.

Namun apabila prasangka baik ini tidak terjadi, berarti itu tanda bahwa manusia Indonesia lebih suka menghisap candu-candu agama, lebih senang menyalibkan intelektualitas mereka sendiri kesekian kalinya, lebih senang menyunat intelektualitas kita sampai ke ‘bongol-bonggolnya’ dan menutup mata kita rapat-rapat dari realitas hidup yang terus berubah secara dinamis dan menuntut perubahan paradigm kita dalam memaknai hidup ini.

Demikian pula saya janjikan bahwa saya akan terus menyulut api kemanusiaan, integritas dan intelektualitas manusia Indonesia with one way or another tanpa pungutan apa-apa alias gratis.  Para pembaca nasrani tidak perlu takut dipungut perpuluhan oleh saya, seperti halnya para pendeta anda lakukan demi untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka yg borjuis di Singapur, Australia dan Amerika.
Kalau anda merasa tercerahkan dari tulisan saya, silahkan bagi kepada yang lain. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak jadi korban dogma2 agama lagi. Kita manusia bebas. Karena kita adalah tuhan atas aturan2 agama.

2 . Tentang Tujuan dan Makna Hidup.

Seorang menulis sur-el kepada saya yang intinya demikian:

DR. Lutfi, saya tercerahkan dengan tulisan bapak tentang evolusi perjalanan manusia itu sendiri yang merentang masa hampir 7 juta tahun
adalah mu’jizat dan hidup menjadi manusia itu sendiri adalah mu’jizat. Pertanyaan saya:
Adakah tujuan dari penciptaan alam semesta ini? Adakah tujuan penciptaan manusia di bumi ini?
Sedari kecil saya diajarkan bahwa tujuan menjadi manusia adalah agar menjadi hamba allah, menjadi kalifah allah di muka bumi ini.
Dengan runtuhnya mitos2 tuhan / allah ala agama2, maka saya tidak menemukan kembali pegangan itu. Memang  sich saya sudah ragu sama agama saya sejak lama, namun stlh  membaca  tulisan2 dari DR, Lutfi, saya menemukan 2 hal ini:

-Keraguan saya akan kebenaran agama mendapatkan bentuk yang solid. Saya jadi berani berkata tidak pada mitos2 agama.
-Pencarian hidup saya jadi kembali ke titik nol. Seakan-akan seluruh bangunan konsep kebaikan dan keburukan itu runtuh. Saya mencoba
membangun kembali kepingan2 dari reruntuhan itu dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Demikian permasalahan saya. Semoga DR.Lutfi bisa menjawabnya.

Wasallam.


Berikut jawaban saya:

Trima kasih untuk suratnya, saya sangat apresiatif dengan tulisan anda. Inilah pencarian yang tertinggi dalam hidup, yakni mencari makna dan tujuan hidup. Bertahun-tahun saya bergumul dalam tema yang sama, mencari titik pijak yang seimbang antara intelektualitas dan spiritualitas.  Dan itu merupakan momen-momen yang menegangkan dan mengharu- biru. Penuh dengan lekukan tajam dan ketidak- seimbangan.

Seorang yang terbiasa dengan berpikir kritis, mana mungkin mau menyerah untuk mempercayai cerita2 agama yang tidak berdasar ttg surga dan neraka. Namun dalam realitas dunia, semua faktor dimensi hidup saling terjalin, begitu sukar untuk diurai satu persatu.  Ada institusi agama yg berusia ribuan tahun yang mencatat sejarah tidak hanya sisi gelap, namun juga sisi baiknya untuk masyarakat. Dan kita hidup dalam komunitas dimana agama 2 ini begitu berakar kuat dalam tradisi dan benak kita, (yang juga sebenarnya dipolitisasi oleh pihak2 tertentu demi kekuasaan). Namun sekali anda memutuskan untuk tidak menyerah dan terus maju, saya percaya, anda akan mendapatkan jawabannya.

Ada satu cerita dalam agama buddha yang berkaitan erat dengan pertanyaan anda.  Demikian inti ceritanya.
Tersebutlah seorang murid yang meminta Gautama untuk menjawab pertanyaan2nya. Jika Gautama bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka ia akan tetap menjadi muridnya. Demikianlah kira2 pertanyaannya:
-Apakah alam semesta ini diciptakan atau tidak, terbatas atau tidak, abadi atau tidak?
-Apakah ada sang pencipta atau tidak, apakah ia juga dicipta atau tidak ?
-Apakah penciptaan ini bersifat linear atau siklikal?
-Apakah jiwa itu ada atau tidak, kekal atau tidak?


Jawaban Gautama  sederhana: apabila ada seorang serdadu yang terluka di medan perang, dan ada seorang tabib yang berinisiatif untuk menolongnya, perlukah si pasien ini bertanya : siapakah yang tadi memanahku? Dari manakah asalnya? Dari kasta apakah dia? Dari manakah ia belajar memanah? Memakai kayu apakah busur dan anak panahnya? Dengan metoda apakah ia menarik busurnya? Berapa lamakah ia telah beratih memanah? Dsb.dsb.

Nah, manakah yang lebih penting, menjawab pertanyaan si pasien atau membopongnya keluar arena perang dan melakukan P3K?
Kemudian Gautama  katakan bahwa ia tidak akan pernah mengajar apapun hanya untuk mencari tahu ini dan itu yang hanya akan terus menerus memancing pendekatan dualistic. Ia hanya akan mengajar bagaimana menjalani hidup dengan suatu perspektif subyektif dari pengalaman hidupnya, yang disebut cara melenyapkan dukha.
                                              ----------- +      ----------

Demi mencoba memahami maksud jawaban Gautama  saya bertanya pada rekan2 umat buddhis, namun jawabannya begitu dogmatis. Ada yang mengatakan bahwa cerita tsb belum selesai, sebab dikemudian waktu Gautama bercerita bahwa leluhur manusia berasal dari mahluk hidup yang tinggal di suatu surga yang non material dsb. Wah mitos lagi, candu lagi. Saya katakan padanya bahwa fakta Gautama tidak mau menjawab, berarti memang dia tidak mau jawab.

Kenapa ada cerita ttg Buddha menceritakan leluhur manusia dari surga tertentu? Harap pembaca ingat tentang Teologi Cerita- Mitos Kontra Mitos , bahwa adalah hal lumrah bagi agama baru untuk menumbangkan mitos 2 agama lama dengan menggunakan mitos2 baru yang memihak kepercayaannya. Dalam hal ini mitos agama hindu diganti oleh mitos agama Buddha. Inti dari ajaran Gautama yang etis filosofis sungguh sukar untuk dipahami umat awam, sehingga dijembatani dengan cerita2 dan legenda.

Saya juga katakan bahwa kitab tripitaka bukanlah perkataan dari mulut Buddha langsung, tapi dari para penulis dan penghafal tipitaka yang hidup sekitar 300-400 tahun stlh Buddha wafat. Dan dalam pembentukan kitab itu, ajaran Buddha yang sederhana telah dikooptasi oleh para biksu dari selatan atau hinayana, itulah kenapa ada tradisi yang melawantradsis selatan, yaitu  tradisi mahayana. Sangat mungkin bahwa manusia Gautama tidak berbicara baik dalam bahasa pali atau pun bahasa sansekerta, tapi bahasa daerahnya sendiri di Nepal. Hmmmm payah deh… kalau orang beragama hanya menekankan pada pemahaman literal biblical semacam itu. Selalu naïf.
Saya mencoba memahaminya cukup lama, kemudian sampai pada satu refleksi bahwa ada yang harus dibedakan, yakni Tujuan Hidup

(Purpose of Life) dan Tujuan Dalam Hidup  (Purspose in Life).

Purpose of Life adalah pertanyaan yang bersifat obyektif dan memerlukan pembuktian material, yang darinya kita mentheorimakan suatu kebenaran empiris.

Pertanyaan2  ontologis yg diajukan si serdadu seperti diatas TIDAK masuk dalam ranah agama atau spiritualitas. Dari manakah adanya kehidupan ini, apa yang terjadi sebelum big bang, adakah jiwa atau tidak, bukan domain dari agama.
Biarkan para saintis dengan jernih mencari jawaban2 dari pertanyaan ontologis semacam ini. Fakta bahwa cerita2 agama tentang penciptaan alam semesta, penciptaan manusia telah terbukti gugur, seharusnya membawa kita pada pemahaman bahwa pertanyaan semacam itu bukanlah domain agama / spiritualitas.

Sedangkan tujuan dalam hidup ini (purpose in life) adalah pengalaman subyektif dan unik dari si individu yang mana ia harus putuskan dan tempuh dalam meniti momen2 hidup ini. Dari perjalanan hidup inilah dia mengambil makna hidup.
Tujuan hidup dan makna hidup itu sendiri tidak pernah ada yang menentukan, anda sendiri yang menentukan hidup anda mau dibawa kemana. Anda mau jadi apa, berkarir di bidang apa, mau jadi manusia dgn tabiat apa, andalah yang menentukan berdasarkan modal dan kapabilitas anda.

Dahulu agama memonopoli kehidupan manusia karena para rohaniwan berpikir umat terlalu bodoh untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik, mana yang berarti dan tidak berarti, dan sebagai hukum bersama yang mengikat suatu komunitas maka lahirlah agama-agama hukum.

Kita mesti pahami ini dalam perjalanan peradaban manusia. Dan sejalan dengan dialektika masyarakat yang makin terdidik, manusia  mulai mempertanyakan otoritas dari institusi dan dogma2 agama dan mencari realitas kebenaran yang lebih utuh, jernih dan bebas dari segala motivasi politik dan agama.

Tidak ada agama, dogma dan kitab yang jatuh dari langit, semua hasil dari pemikiran manusia dalam upaya mencari jawaban tentang purpose of life & purpose in life. Tentu saja pemikiran manusia ini dibentuk oleh lengkungan kebathinan, kultur, worldview yang terkait dengan ruang dan waktu saat itu. Begitu pemikiran ini dikonsepkan dalam bahasa, maka jadilah sebuah isme  atau ideology.

Apakah tujuan dari alam semesta ini? Bahkan para saintis saja tidak tahu, apalagi rohaniwan.
Tetapi apakah anda merasa layak menghabiskan energy untuk mencari jawaban semacam itu sementara dalam keseharian hidup anda, ada masalah2 praktis yang perlu disikapi secara dewasa.

Dalam note2 terdahulu, saya selalu tuliskan bahwa :

Hidup ini bernilai / bermakna (pemahaman subyektif) bukan karena mempercayai dogma ini dan itu, namun dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan nilai2 kemanusiaan dalam jangkauan praksis yang terdekat.

Apakah jangkauan praksis yang terdekat yang kita bisa ikut ambil bagian?
Ambilah sikap dan tindakan nyata untuk meruntuhkan raksasa-raksasa penghancur kemanusiaan, yakni:  kemiskinan, korupsi, pembodohan massal dari kekuasaan dan otoritas keagamaan, pemaksaan syariat islam di negara kita, tindakan kekerasan oleh mereka yang menjadi candu agama dsb.

Kepada para pembaca nasrani , ada satu hal lagi yang anda bisa lakukan:

Dari pada anda memberikan perpuluhan kepada gereja, yang nyata2 tujuannya hanya untuk memperkaya si pendeta agar bisa menyekolahkan anaknya ke luar negri, dan membangun tembok2 pembeda di antara manusia lebih baik anda berikan pada orang / lembaga kemanusiaan yang lebih membutuhkan, tanpa melihat latar belakang agama dan etnis.

Demikianlah perenungan dari saya, sebagai Doktor lulusan universitas Australia terkenal dalam Kajian Islam Mutokhir alias Advance Islam Study, akhirul kata saya himbau:

Mari ummah manusia, jalanilah hidup ini dengan penuh semangat, sukacita, dan integritas yang luhur, seraya gigih menolak segala bentuk pembodohan yang membuat manusia terkotak2 oleh dogma agama yang sudah lancung, cacat logika, dan basi. Mari kita wujudkan kemanusiaan universal yang mengedepankan kelembutan, rasionalitas dan kesetaraan. Seru sekalian alam.   

Tuhan itu ada sebanyak mereka yang memikirkannya

Sumber  Tuhan 
Seorang Nasrani menulis su-rel pada saya dengan nada kesal :

Bung Lutfi, kalau anda memang seorang doctor dalam kajian islam yang bla..bla.. bla.. , please deh seharusnya anda stick to your own business, jangan sok tahu ttg agama orang lain. Bukti bahwa bangsa Israel tetap ada sampai sekarang berarti memang Tuhan menyertai mereka seperti yang tertulis dalam Alkitab.



Saya jawab saja:
Ahhhh... saya tahu apa yang ada dibenak anda dan orang-orang sejenis anda. Kalian kecewa pada saya. Titik. Banyak orang non-muslim minta di add-friend karena merasa senang melihat islam ditelanjangi, padahal waktu mereka baca tulisan saya, ternyata yg ditelanjangi itu bukan hanya islam, tapi Kristen dan yahudi juga.

Untuk diketahui oleh anda, saya tidak anti agama manapun. Dan saya tidak membenci siapapun. Saya hanya tidak suka ketidakjujuran dan irrasionalitas. Saya hanya ingin kita jujur dengan intelektualitas kita. Kita menempatkan mitos sebagai mitos, pesan moral sebagai pesan moral.

Bahwa saya katakan kejadian dari adam sampai musa atau sampai yosua itu mitos alias sahibul ngibul hikayat, sebenarnya sudah lama dikibar-kibarkan oleh para ahli kalam di agama anda. Anda saja yang kekeh dengan romantisme agama sendiri.

Tidak kurang dari seorang teolog protestan yang bernama Rudolph Bultmann, yang gigih memperjuangkan bahwa menjadi seorang beriman, dalam hal ini Kristen, tidak berarti musti menelan mentah2 tentang adanya surga dan neraka, kelahiran dari perawan, kebangkitan dan kenaikan ke surga. Semua itu cuman bingkai cerita.

Bultmann bilang bahwa tugas teologi itu bukan membeo apa yang dikatakan orang terdahulu ttg cerita2 di sekitar api unggun yang dilakukan oleh nenek moyang iman di padang gurun sana. Tugas teologia adalah memisahkan susu dari buih, yang artinya membedah cerita2 tersebut dan mencari tahu apa pesan inti dari cerita2 tersebut, bukannya membabi buta mempercayai adanya adam – hawa, kejatuhan dalam dosa, dibelahnya laut teberau, yusuf ditelan ikan besar, yesus naik ke surga dsb.

Kalau seorang yang rasional, demi mengikuti agamanya musti tetep mempercayai kejadian2 itu sebagai historis berarti, berarti dia harus menyalibkan intelektualitasnya untuk kesekian kalinya. Begitulah kata Bultmann. Kalau di islam saya bilang demi dogma kita harus menyunat intelektualitas kita untuk kesekian kalinya….sampai bonggol-bonggolnya.

Coba saya tanya anda, apa keuntungannya bagi anda kalau yesus itu lahir dari perawan mariam? Apa keuntungannya kalau yesus membuat mukjizat dari 5 roti dan 2 ikan menjadi berlipat2 sampai bisa mengenyangkan 5000 laki2 saja, belum termasuk perempuan dan anak2?

Apakah dengan percaya hal2 demikian memberi perbedaan bagi dunia ini?

Ingat bahwa kelaparan dan kemiskinan di afrika juga terjadi di daerah2 yang mayoritasnya Kristen, dan tidak pernah ada mujizat penambahan roti di sana. Yang mati, ya mati saja.

Percaya bahwa bani Israel pernah diselamatkan dari mesir dan allah menulahkan kematian pada anak sulung di mesir, tidak menghapus fakta bahwa jutaan bangsa yahudi dibunuh oleh Hitler dalam kejadian Holocaust. Kemanakah yehowah tuhan bangsa Israel sang pengirim tulah?

Tuhan yang membangkitkan yesus, ternyata tidak membangkitkan satu juta orang Kristen ortodoks Armenia yang digenoside oleh tentara islam Turki.

Bukan karena percaya ini dan itu yang membuat hidup ini bernilai, mas, tapi bagaimana menjalani hidup ini dengan mengisinya lewat hal2 positif untuk diri kita, keluarga, sesama dan semesta alam, disitulah hidup kita ini bernilai.

Percaya yesus pernah begini dan begitu atau Muhammad pernah begini dan begitu, tidak memberi nilai apa2 bagi manusia selain menambah keegoan saja.

Teologi Cerita , Mitos kontra Mitos

Ketika anda, dan semua pembaca SK yang budiman, membaca dan memahamai kitab ‘suci’ , saya ingin anda sekalian diterangi pemahaman ini; bahwa bible itu, dan semua kitab suci termasuk alquran, bukan catatan jurnalistik yang menceritakan suatu kejadian secara obyektif,cepat, tajam, dan terpercaya – langsung dari TKP. Namun pandangan sepihak dari pihak-pihak tertentu yang tengah mencoba mengkomunikasikan kepercayaannya lewat cerita2 tertentu dalam perspektif tertentu.

Cerita-cerita tsb dibuat sedemikian rupa sebagai bingkai untuk memuat isi dan pesan2 dari keyakinanan mereka. Tujuan mereka bukanlah agar si pembaca mempercayai bingkai ceritanya, melainkan pesan terdalam dari suatu paham menurut versi mereka sendiri. Coba anda perhatikan kata2 yang sy garis bawahi.

Sama seperti kapsul yang diisi obat. Kapsul itu sendiri bisa diganti-ganti warnanya, bentuknya dan bahan pembuatannya, yang membuat kapsul itu bernilai adalah isi di dalam kapsul itu.

Nah kapsul itu adalah cerita2, dan isi kapsul itu adalah pesan 2 tertentu dari si pembuat kapsul.

Metoda inilah yang dalam kalamullah Kristen disebut teologi cerita. Kenapa lewat cerita?

Lha emang lewat apaan lagi kalau bukan cerita? Apa anda pikir orang jaman dulu tahu tentang metodologi penulisan berstandar akademis? Apa mereka musti pake risalah, bibligraphi, refleksi teologis, riset2 rumit buat orang2 yang kurang terdidik? Please deh be realistic.

Lewat cerita2 yang bisa ditambah dan dikurangi, dibentuk ulang dan direinterpretasi, mereka memasukan pesan2 kemanusian dan harapan2 kepada generasi sejaman dan generasi2 mendatang.

Kebathinan manusia yang resah dan selalu mencari, merasa terasing dalam alam semesta yang tak bertuan, merasa terancam dan ketakutan, merindukan kelepasan dan pembebasan dari masalah2 ekonomi, politik adalah tema2 umum yang kita dapati dalam cerita2 itu.
Coba anda benar2 perhatikan bahwa cerita2 tentang yesus sebenarnya diambil dari cerita2 kitab terdahulu dimana manusia yesus itu dijadikan sama dengan pengalaman kemanusiaan para tokoh iman bangsa yahudi.

  • - Adam tidak berayah – yesus bukan anak biologis dari yusuf, tapi dari ruh kudus.
  • - Kelahiran bayi Musa berada di bawah ancaman firaun – begitu pula dgn kelahiran yesus.
  • - Bangsa israil di bawa ke mesir sebelum dikembalikan ke kanaan – begitu pula yesus dilarikan ke mesir sebelum kembali ke galilea.
  • - Semuil dibawa ke baitullah dan tuhan mulai berbicara kepadanya ketika masih berumur 12 tahun – begitu pula yesus dibawa kebaitulah dan berdebat dgn para ahli2 torat ketika berumur 12 tahun.
  • - Nabi elias membangkitkan anak seorang janda yang mati – begitu pula yesus membangkitkan anak jendral rumawi yang mati.
  • - Nabi elias menyembuhkan seorang yang kusta – begitu pula yesus menyembuhkan orang kusta.
  • - Musa menurunkan roti dan daging burung puyuh dari langit – yesus membuat membuat muzizat roti dan ikan untuk 5000 orang.
  • - Musa mengeluarkan air dari batu – Yesus melakukan mujizat air anggur dari air biasa.
  • - Musa membelah laut – Yesus berjalan di atas air.
  • - Musa dan elia ketika mati diangkat ke surga – begitu pula yesus naik ke surga.

Dan yang terakhir ini ditiru dalam cerita2 islam sebagai isra dan miraj. Eksodusnya bani Israel adalah hijrahnya nabi Muhammad dan kaumnya, tafakurnya di gua hira adalah kisah parallel dari cerita bertemunya musa dengan tuhan di padang gurun. Semua kisah ini tidak akan anda pahami sampai anda keluar dari cangkang (eksoteris) dan masuk menuju esensinya (esitoris).

Can’t you see the point? Apa anda pikir Yesus benar2 melakukan ini dan itu? Tidak.

Kehidupan kebatinan manusia yesus itu dijadikan bingkai cerita dimana mitos2 lama ditumbangkan oleh mitos2 baru.
Inti dari kisah2 tersebut bukan percaya pada kejadian ini dan itu sebagai kejadian factual, namun sebagai bahan2 perenungan dimana si perenung dibawa pada suatu keyakinan bahwa ada jawaban dari setiap kegundahan bathin manusia, ada suatu jawaban dibalik segala kepelikan dan penderitaan manusia. Bahwa orang baik diharapkan akan mampu melewati semua permasalahan hidup, lengkap dengan kegagalan dan kemenangannya. Dalam yesus bentukan cerita2 itu, anda, saya dan seluruh manusia ikut ambil bagian. Itulah pesan inti mistis dari kisah kehidupan yesus.

Ada banyak hal yang luar biasa dari manusia historis yesus, yang bisa kita tiru.
  • - Dalam kungkungan budaya yahudi yang patriakal Yesus malah memilih maryam jadi sokoguru di padepokannya. Kelak, atas pengaruh petrus, yakobus dan paulus yang male chauvinistik, maryam malah dikerdilkan perannya, distigmatisasi sebagai pelacur yang bertobat. Sehingga nama maryam Magdalena sukar untuk dipulihkan lagi dan kepemimpinan gereja berada dalam genggaman laki-laki. Ini bener2 keterlaluan.
  • -Dulu di baitullah sulaiman, orang buta dan orang pincang tidak boleh masuk. Justru oleh yesus orang buta dan orang pincang di bawa ke baitullah untuk disembuhkan (terlepas dari benar atau tidaknya mereka jadi sembuh). Inilah pemberontakan yesus terhadap institusi dan dogma agama yang tidak manusiawi.

Dan masih banyak perjuangan yesus yang luar biasa yang bs kita ambil semangatnya dalam komunitas kita sehari2 terlepas dari kekurangan dan kelebihan manusia yesus sbg seorang yahudi galilea abad 1 masehi.

Namun manusia yesus yang berkarisma luar biasa itu dikerdilkan oleh orang2 seperti anda sendiri. Anda senang yesus itu disalib terus menerus untuk bisa dikenang dan dipuja. Diisap-isap kayak candu tiap hari hanya untuk mempertebal dinding romantisme agama anda sendiri. Entar kalau anda ketemu orang yang jujur kayak saya, neurosis deh anda jadinya, sambil bilang ‘back to bible. Back to bible’. Padahal intinya – gua gak mau tau, gua takut apa yang gua dulu percayai sebenarnya nggak terbukti benar.

Seharusnya ‘ yesus ’ itu dibebaskan berkreasi dalam pikiran anda, untuk memberi nilai luhur atas kemanusiaan dalam jangkauan praksis kehidupan anda sehari-hari.

Keselamatan itu tidak datang dari mempercayai ini dan itu, tapi mengambil bagian dalam sebuah kegerakan untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan.

Pasti anda tahu bahwa isa pernah mengatakan, ‘anak manusia adalah tuhan atas hari sabbat’. Itu artinya manusia itu tuhan, gusti, master atas aturan2 agama. Agama dibuat oleh manusia dan untuk manusia (kalau anda mau mempercayainya agama tsb loh), bukan sebaliknya manusia jadi budak untuk agamanya.

Karena dogma agamalah kita menjadi buruk sangka terhadap orang lain. Kegerakan agama2 di Indonesia hanya mempertebal dinding2 pemisah yang menciptakan bipolar yang ekstrim:

               -  Mayoritas vs. minoritas, Mukmin vs. kafir, Saya vs. kamu,Kami vs. kalian, Kita vs mereka.

Padahal dalam note saya yang lalu saya sdh jelaskan, sumber dari agama yahudi, Kristen dan islam itu ternyata mitos yang dibuat oleh bangsa-bangsa kanaan. Kenapa tidak ada nabi2 yang sadar bahwa cerita2 itu ternyata hanya mitos? Bukankah katanya nabi2 ini memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, yang hubungannya dengan tuhan begitu dekat? Kenapa tuhan atau jibril tidak pernah bilang bahwa cerita2 itu palsu?

Jawabanya karena tuhan, jibril, dsb hanyalah agen mitologis dari suatu kesadaran intuitif manusia itu sendiri yang dibentuk oleh worldview suatu budaya tertentu. Dan yang namanya kesadaran - juga berada dalam kawasan intelektualitas ketika kita mencoba untuk mengkomunikasikannya. Spectrum dialektika anda dan saya berbeda, sehingga apa yang bagi saya mudah untuk diterima oleh akal budi, mungkin bagi anda masih sukar. Ya tidak apa-apa, semua orang sedang dalam tahap berkesadaran yang berkelanjutan, on going process.

Atau sederhananya gini saja…

- Kenapa ada ribuan sekte dalam agama Kristen dan mereka tidak sepakat satu dan lain hal?
- Kenapa sunni dan syiah tidak pernah akur?

Seharusnya kalau memang ada tuhan yang satu, kita berharap tuhan itu bersabda kepada setiap orang begini dan begitu, bahwa yang benar ini dan itu, sehingga tuntaslah kebenaran itu dan manusia tidak perlu berdebat. Kenapa hal ini tidak pernah terjadi?
Jawabannya : karena tuhan itu cuman konsep, suatu idea ttg yang benar dan salah, abstraksi dari rasa takut dan pengharapan akan rasa aman dan keterjaminan. Dan wadah dimana idea itu dipelihara , yaitu agama hanyalah ideology. Dus , yang namanya ideology, anda bisa menambahkan, mengurangkan, menafsirkan ulang seturut dengan kapasitas berpikir anda, berdasarkan dialektika material yang mengelilingi anda. Itulah kenapa agama itu banyak.

Ada yg bilang tuhan itu tidak ada, ada yang bilang tuhan itu cuman satu, sendirian kayak lone ranger, ada yang bilang tuhan itu tiga pribadi dan satu hakekat. Ah itu semua lucu. Gak logis. Buat saya yang bener:
Tuhan itu ada sebanyak mereka yang memikirkannya,
Mengertikah anda, mas?

Oh ya, saya bukan pro Israel, saya bukan pro palestina,

Saya pro pada kehidupan dan pro pada perdamaian.

Dengan menelanjangi sumber ketiga agama besar ini, saya ingin kita di Indonesia, tidak terbawa-bawa secara emosi mendukung ataupun membenci suatu kaum. Karena ternyata klaim2 semangat ‘persaudaraan’ dalam keagamaan itu begitu rapuh,irrasional, dan hanya berdiri di atas mitos alias sahibul ngibul hikayat.

Satu nyawa orang yahudi sama berharganya dengan satu nyawa orang palestina, orang sudan, orang rusia, amerika dsb.
Akhirul kata, sebagai hadiah untuk anda, saya ingin kembali pada topic ‘kesadaran’.

Kalau tuhan itu masuk dalam kawasan kesadaran,dan kesadaran itu ketika dikomunikasikan membutuhkan intelektualitas, jadi bagaimana kesadaran itu bisa dijelaskan?

Kesadaran itu tidak perlu dijelaskan, cukup anda rasakan dalam diam dalam hening.

Dalam keheningan -rasakan dan hayati bahwa kita semua sama, segala bentuk kehidupan, berasal dari sumber yang sama, telanjang dari semua label pembeda yang dibebankan kepada kita sejak lahir, entah itu ras, agama, status social, dsb.

Dalam keheningan ini rasakan masuk dan keluarnya nafas, sadari betapa berartinya momen kini dan disini.

Sadari bahwa anda itu tuhan atas hari sabath, tuhan atas segala aturan agama.

Jika yesus yang adalah manusia biasa itu tuhan, maka semua manusia, termasuk anda dan saya dan para pembaca fb lainnya, berpotensi menjadi tuhan.

Dalam kesadaran yang sedemikian- suatu saat - maka terrealisasilah ‘tidak ada anda, tidak ada saya, tidak ada yesus, tidak ada tuhan, tidak ada diri lain lagi selain kesadaran yang tak berbatas. Kesadaran yg hanya bisa dirasa. Dirasa oleh siapa? Oleh sang kesadaran itu sendiri. Seru sekalian alam.

Mengapa Babi itu Haram? Suatu Tinjauan Kritis Historis


Seorang  ibu rumah tangga di Medan berkirim sur-el kepada saya, demikian bunyinya;
Yth, DR. Lutfi,
Pak Lutfi saya senang sekali membaca tulisan2 dari bapak. Sangat mencerahkan. Saya ada sedikit pertanyaan, pak. Mohon dijawab dengan jelas dan sederhana:
Kenapa babi itu dianggap haram dalam agama Islam?
Saya seorang muslim yang menikah dengan seorang nasrani, tidak ada ganjalan yang berarti bagi saya kecuali ketika saya diundang makan bersama dalam keluarga suami saya. Saya jadi takut kalau-kalau yang kemakan oleh saya itu ternyata mengandung daging babi.
Demikian surat dari saya. Mohon maaf jika merepotkan.
Wassalam.


Sekalian saya jawab saja dalam note ini  untuk ibu RP dan para pembaca yang dimuliakan:

Tidak, saya tidak merasa direpotkan. Malahan senang sekali berbagi pencerahan dengan sesama  manusia. Saya sendiri salut kepada ibu RP ini berani memperjuangkan cinta untuk menikah dengan seorang ‘kafir’.    Dan saya jamin baik kepada ibu RP dan para pembaca bahwa jawaban dari saya belum pernah anda dapatkan dari para ahli kalam manapun dalam khasanah islam. Teori ini orsinil dari saya.
 Masalah kenapa babi diharamkan dalam Islam selalu mengundang kebingungan, kenapa allah swt nampaknya begitu emoh dengan mahluk ciptaannya sendiri yang bernama babi. Dan tanpa alasan yang jelas kenapa islam begitu alergi dengan babi. Bahkan dengan mudahnya umat  Islam membabi-babikan pihak lain yang bersebrangan keyakinannya dengan kita. Seakan-akan babi itu an sich / pada dirinya sendiri adalah kutukan.

Jikalau Islam mengharamkan minuman keras, itu jelas alasannya. Minuman keras, bila diteguk secara berlebihan, membuat si peminum kehilangan control dan dapat melakukan apa saja yang berbahaya di luar kesadaran si pelaku. Begitu pula dengan larangan judi, itu jelas bikin orang malas, tidak mau kerja keras.

Tapi kalau dengan babi, apanya yang salah dengan babi? Kita mencari-cari alasan bahwa babi mengandung cacing pita, dan kadar kolestrol yang tinggi. Tahukah anda bahwa kadar kolestrol yang tinggi tidak dikandung dalam jeroan babi, tapi dari telur puyuh? Dan masalah penyakit dalam babi, toh sama saja dengan penyakit yang ada dalam sapi, unggas dsb yg dianggap halal untuk dimakan.
Ada pemikir2 islam yang enteng saja menjawabnya,” Allah swt melarang kita makan babi bukan karena daging babi itu ada apa-apanya, tapi karena ia sayang kepada kita.”

Ah, itu kan alasan yang mengada-ada dari ketidaktahuan saja. Kalau sesuatu itu dilarang, kita berasumsi karena sesuatu itu berdampak buruk atau mengandung keburukan dalam dirinya sendiri. Maka dari itu babi / daging babi layak diperiksa secara medis.
Analisa medis atas daging babi menyarankan bahwa daging babi sama saja seperti halnya daging lain, sama-sama ada kebaikan dan keburukannya. Apakah daging babi membawa prilaku buruk pada pemakannya? Tidak. Sama sekali tidak ada. Makan babi atau pun tidak makan babi – manusia yah sama saja ada yang agresif ada yang lembut, ada yang malas ada juga yang pekerja keras, seperti orang cina. Daging babi sama sekali tidak mempengaruhi sifat manusia.
Jadi apa yang membuat islam mengharamkan daging babi? Inilah jawabannya.

Islam is Judaism-minded in Law and Half Christian Form in rites.

Agama islam adalah agama yang dibentuk dari cara berpikir yahudi dan ritual nasrani. Begitu sedikit orang yang tahu bahwa islam mengambil ritual shalat dari Kristen ortodoks suriah, hal ini dikarenakan wajah nasrani yang kita lihat pada umumnya bukanlah nasrani dimana umat islam awal bersentuhan, tapi nasrani katolik roma dan protestan. Dan sebenarnya, Siriah adalah rahim dimana teks-teks islam awal ditulis pada abad ke-9 M, 200 tahun setelah apa yang kita kira jaman kelahiran Muhammad. 1 00 azma allah swt itu diambil abis dari nasroni siriah. Dari gaya bahasa dan bentuk penulisan aramik-suryani inilah kisah-kisah dalam alquran dan hadist nabi ditulis. Maka dari itu orang arab sendiri kesulitan memahaminya dan berdalih alquran itu adalah ‘firman yang tak terselami oleh otak’. Lha iyalah lha wong itu bukan orsinil arab.

Dan sebenarnya Kristen ortodoks suriah ini melakuan ritualnya mengambil bentuk dari ibadah yahudi yaitu shemma. Kata shalat kemungkinan berasal dari kata ‘sela’, yang dalam bahasa ibrani berarti sujud. Orang yahudi sujud menghadap yerusalem 7 kali dalam sehari. Dan ini ditiru oleh orang Kristen suriah yang nantinya ditiru lagi oleh islam dan diaku- aku sebagai hasil tawar menawar nabi kita dengan tuhan, karena allah meminta umatnya shalat 1000 kali sehari, maka Muhammad menawar sampai hanya 5 x sehari saja. Bisakah anda merasakan kejanggalan mitos ini? Mosok ada tuhan yang gila hormat sampai musti dipuji2 manusia 1000 kali dalam sehari dan mau  tawar menawar dengan manusia?

The bottom line adalah akar dari islam itu adalah agama yahudi. Kita mengambil tauhid mereka, kita mengambil cerita2 mereka dan mendamprat mereka sesuka hati karena mereka tidak mengakui kenabian Muhammad. Lha iya lah islam mengajar yahudi itu ibarat anak itik yang baru bisa berenang petantang – petenteng di depan ikan hiu. Yahudi jauh lebih memahami apa itu kenabian, apa itu sasta dalam kitab-kitab dsb. Dan cara berpikir yahudi itu sudah lebih mapan ribuan tahun dari pada islam. Jadi bagaimana mungkin mereka mau tunduk terhadap islam dalam tauhidnya? Terhadap arogansi Kristen yang bombastis itu saja yang mengaku ada tuhan jadi manusia mereka tidak mau menyerah koq? “Tuhanmu itu cuman seorang nabi dari ratusan nabi dalam agama kami”, demikian kata orang yahudi kepada orang nasrani.

Dari agama yahudi inilah kepercayaan tentang haram dan halal itu berasal.
 
Pada mulanya adalah mitos.

Menurut taurat  bangsa israil berasal dari trah nabi Ibrahim dari tanah Sumeria yang kemudian berkelana ke daerah Kanaan. Lalu Ibrahim menetap di kanaan dan mempunyai anak Iskak, yang menjadi leluhur bangsa israil  dan ismail yang menjadi leluhur bangsa moab dan midian, bangsa yang kita sebut yordania saat ini.  Dari Iskak maka lahirlah yakub dan cucunya yang berjumlah 12 orang yang salah satunya Yusuf dijual ke orang mesir, yang nantinya menjadi perdana mentri di mesir. Pada suatu masa tanah kanaan ini dilanda kekeringan sehingga yaqub dan anak cucunya minta perlindungan ke mesir.  Dan di saat itulah Yusuf  diberi ijin oleh firaun untuk menampung kaum duafa ibrani ini sebagai balas jasa firaun kepada Yusuf yang telah menjadi penasihat logistic mesir di masa paceklik. 300 tahun kemudian seorang firaun baru muncul dan menjadikan bani israil ini sebagai budak-budaknya untuk membangun piramid2  di Giza. Dan dari sinilah muncul Musa as, saudara angkat dari firaun yang sebenarnya adalah seorang dari bani israil. Ia memberontak terhadap firaun dan memintanya membebaskan saudara-saudaranya dari perbudakan menuju tanah terjanji di kanaan itu.
Dan musa inilah yang mengajarkan bani israil tentang apa yang baik dan buruk, halal dan haram yang tertulis dalam kitab torat.
Begitulah cerita itu dipercaya oleh ketiga agama besar yang katanya dituntun oleh tuhan yang sama. Anehnya allah  swt / Yahweh / tuhan / abbaitu sendiri, beserta jibril sang kacung, tidak sadar bahwa cerita itu sendiri adalah kebohongan belaka.  Kenapa baik awloh, jibril, para nabi yahudi, yesus dan Muhammad tidak sadar akan kebohongan cerita itu sampai-sampai para sarjana yahudi sendiri menjungkir balikan kepercayaan semu ini?  Jawaban saya sederhana. Karena tuhan dan agama itu cuman konsep doang. Halal – haram itu cuman konsep doang. Tidak ada musa as, tidak ada Ibrahim as, dan tidak ada adam as. Semua itu tokoh fiktif. Yang ada adalah Lutfi as yang buah pikirannya sedang anda baca.

Cerita sebenar-benarnya
Berdasarkan kajian ilmiah antar disipliner yang melibatkan ahli teologi nasrani (kalamulah), socio-antropolog, ahli kepurbakalaan, banyak situs2 digali di Israel sejak pertengahan abad 19 sampai sekarang. Dan banyak kesimpulan mengejutkan didapatkan.

Kesimpulan umum menyatakan bahwa :
Bangsa Israel dan kerajaannya di kanaan adalah bangsa asli daerah tersebut. Bukan pendatang dari sumeria yang seperti dalam kisah Ibrahim. Dan tidak pernah ada kejadian eksodus, dimana musa as membawa bani israil dari mesir setelah sebelumnya Yahweh atau awlohnya orang ibrani ini menulahi firaun dengan tulah2 bombastis yang diakhiri dengan terbelahnya laut teberau. Semua itu kibulan belaka.

Buktinya? Temuan2 arkeologi menyatakan bahwa kerajaan mesir terbentang dari hulu sungai Nil (yang sekarang Sudan) sampai ke Suriah. Jadi kanaan atau daerah Israel itu adalah provinsi jajahan dari Mesir. Dan tidak pernah ada satu artefak pun di mesir yang menceritakan tentang tulah2 luar biasa, eksodus bani Israel, dan terbelahnya laut teberau.

Bagaimana mungkin ada yang disebut eksodus dari mesir ke kanaan, lha wong kanaan itu wilayah protektorat mesir sendiri? Memang benar bangsa kanaan ini membebaskan wilayahnya dari penjajahan mesir – tapi jelas tidak ada eksodus, karena dari awalnya mereka, bangsa yang disebut bangsa Israel ini, memang penduduk asli daerah itu. Sama pribuminya dengan bangsa2 midian, moab, beduin, dsb.
Jadi dari mana cerita itu dikarang-karang?

Dalam buku The Bibel Unearthed, adalah para sarjana Yahudi sendiri spt Flinkenstein dan Liebermann yang dengan meyakinkan berkesimpulan bahwa bangsa israil adalah bangsa yang lahir dari itikad politik para raja-raja kecil di sekitar kanaan yang bersatu untuk menjadi suatu bangsa berkerajaan yang nantinya disebut kerajaan Israel. Mengapa raja-raja kecil ini beritikad untuk bersatu? Alasannya karena secara demografis letak kanaan ini sangat potensial, ia menjadi jembatan ekonomi, politik dan peradaban antara dua kerajaan besar, mesir dan sumeria. Begitu pula karena letaknya dipinggir laut mediterania menjadikan daerah kanaan ini subur karena mendapatkan angin munson. Karena itulah maka bangsa-bangsa besar di sebelah seperti bangsa midian dan filistin sering menyerang dan menjarah hasil pertanian bangsa kanaan. Untuk itulah bangsa2 kanaan ini, yang mungkin berjumlah 12 kerajaan kecil (city state) bersatu. Kita bisa berasumsi angka 12 karena angka ini menjadi symbol dari 12 suku dari bani israil.

Baik pada jaman dahulu maupun jaman sekarang, spirit  perjuangan itu mendapatkan komunikasi politik yang efektif dalam bentuk agama. Jika pemimpin mau berkuasa, kuasailah agamanya - maka rakyatpun akan menurut.  Maka dari itu diciptakan cerita2 kepahlawanan tentang asal-usul leluhur mereka yang berasal dari Sumeria, bangsa dengan peradaban tertinggi saat itu, dan bahwa leluhur mereka pun pernah menetap di Mesir, bangsa dengan peradaban tertinggi di sebelah selatan.  Serta pemimpin mereka , Musa, adalah pangeran yang berpengetahuan tinggi. Dan lewat agitasi politik ini maka terbentuklah semangat kebathinan bersama dalam wujud agama – hukum. Yang diantaranya mengurus tentang apa yang patut disembah, apa yang patut dimakan dsb. Karena kepatuhan kepada agama, adalah kepatuhan kepada pemimpin. Bagi suatu bangsa yang baru muncul, semangat seperti itu sangatlah dibutuhkan. Dan agitasi ini tidak terjadi dalam satu generasi melainkan lewat ratusan tahun. Cerita2 tentang  leluhur Israel yang fiktif ini mencapai bentuk yang solid pada jaman pemerintahan raja  Yosiah kira-kira 600-500 SM, kelak sekitar 200 tahun kemudian adalah ezra / uzair yang membukukan cerita2 tersebut dipadukan dengan kisah2 dari babel ttg penciptaan, adam, nuh dan banjir besarnya.

Jadi jangan pernah bermimpi tentang adanya tuhan yang berfirman di langit kepada para nabi, “demikianlah firman tuhan bla…bla…bla…” semua tulisan kitab itu, termasuk alquran, adalah produk budaya, buatan akal manusia yang tidak pernah lepas dari ruang dan waktu, budaya dan cara berpikir orang pada jaman tersebut. Dari terang pemahaman ini, apakah perlu memutlakan  kitab2 agama ini jadi penuntun absolute manusia? Ambil ruh nya berupa penghormatan pada nilai2 kemanusiaan, bukan bentuknya.
 
Elevated Options (pilihan2 yang bertingkat)

Kedua belas bangsa kecil itu, yang berasal dari agama dan budaya yang berbeda2,  mestilah dibangun kesadaran akan bersatu bangsa, bersatu agama dan bersatu pikiran. Mereka diarahkan mulai dari perkara-perkara real sampai pada perkara abstrak, mulai dari perkara apa yang boleh dimakan dan diminum sampai keyakinan tentang ketuhanan yang monotheistic.
Maka diaturlah laku masyarakat sampai ke hal-hal kecil, begitulah syariat mereka berlaku.

Kembali kepada masalah babi, sebenarnya yang diharamkan oleh bangsa yang baru bersatu ini bukanlah babi saja, namun semua jenis hewan berkaki empat yang kakinya berjari-jari mirip manusia. Jenis itulah yang tidak boleh dimakan. Jadi tidak hanya babi saja, melainkan, kucing, anjing,tikus, marmot,  singa dsb. dan seandainya mereka tahu bahwa di belahan dunia nun jauh di sana ada kangguru dan capibara, jenis hewan inipun haram. Hanya hewan berkuku belah yang boleh dimakan, seperti sapi,kambing, onta dll.
Kenapa spesifik kepada babi orang yahudi begitu benci? Jawabannya

Pertama, karena tanah mereka yang begitu terbatas maka pertanian adalah penting, maka semua hama haruslah dibasmi, termasuk babi.

Kedua, karena cara hidup babi yang kotor dan suka berkubang di lumpur bisa dijadikan analogi ttg cara hidup kaum gentile / kafir yang tak bertuhan, pemalas, sia-sia dan najis.

Ketiga, karena kontur tanah mereka yang berbukit2 tidak memungkinkan bagi kawanan babi untuk hidup. Babi hanya bisa ditemukan di daerah utara, dimana daerahnya lebih hijau, yaitu daerah sekitar Samaria, Lebanon dan suriah atau di daerah selatan di tanah mesir yang kaya raya. Jadi apabila penduduk kanaan ingin memakan babi, mereka harus mengimpornya dari negeri2 di utara, atau dari selatan yaitu  mesir. Dan prilaku hedonis macam ini yang dilarang oleh negara yang baru lahir itu sebagai sebuah bentuk ketergantungan.
Tapi yang lebih mendasari haram halalnya adalah karena pengaruh psikologis.

Karena penduduknya kanaan ini masih primitive  dan belum dewasa  dalam berdialektika, maka opsi yang ada bagi mereka hanyalah A dan B, haram dan halal, terang dan gelap, bani israil versus kafir.
Demi kemurnian ras mereka, bani srail tidak boleh memberikan anak-anak perempuan mereka untuk dikawini laki2 dari kaum di sekitar mereka. Namun kaum laki2 israil boleh mengawini perempuan2 dari bangsa2 lain. Nah, bukankah ini namanya politik infiltrasi lewat perkawinan? Dan ini yang dipegang teguh oleh islam karena selalu terobsesi dengan kemurnian ‘iman’. Itulah opsi A dan B yang hanya tersedia.

Namun kelak, ketika bangsa Yahudi ini lebih dewasa dan identitas kebangsaan sudah terbatinkan dalam benak mereka, maka opsi menjadi lebih bervariasi ada  A, B, C, dan D. contoh: ketika bani israil ditawan oleh bangsa Persia, bani israil mencari perlindungan dengan membikin plot agar seorang putri mereka yang cantik bernama Ester dijadikan gundik seorang raja Persia. Dan Lewat gundik raja inilah bangsa Yahudi terpelihara dari percobaan genosida oleh seorang pejabat Persia yang membenci kaum yahudi. Manuver semacam ini pastilah akan dikutuk oleh leluhur mereka yang hanya berpikir sederhana saja yaitu A dan B.

Inilah yang saya maksud dengan elevated options atau pilihan bertingkat itu. Suatu prinsip yang abstrak dijadikan suatu hukum real dan mengikat sebagai cara untuk menginternalisasikan prinsip abstrak itu dalam laku hidup sehari-hari. Kelak ketika kesadaran suatu bangsa ini maju, maka opsi yang baru diperkenalkan dan dialektika semakin kompleks.

Suatu saat, seorang yahudi saleh di abad 1 masehi, yang tidak pernah makan makanan haram semacam babi dsb, mendapat ilham bahwa haram dan halal itu hanya konsep bikinan manusia. Semua ciptaan tuhan tidak ada yang haram dalam dirinya sendiri. Yahudi saleh yang saya maksud adalah petrus, murid dari nabi isa. Lewat petrus cs. inilah pengajaran gurunya disampaikan ke bangsa-bangsa diluar yahudi, karena tidak ada bangsa yang kafir,  begitu pula tidak ada binatang yang haram. Perlawanan terhadap halal-haram ini dilakukan dalam gerakan anti-sunat. Manusia itu sudah sempurna dari sononya, sunat tidak menambah kesempurnaan manusia. Kalau bersunat ini memang menambah kesempurnaan, kenapa kita tidak terlahir dengan kulit khatan yang sudah terpotong? Inilah pemberontakan Kristen terhadap yudaisme, agama sumber dimana mereka pernah disapih.
 
Islam, suatu agama yang lahir sungsang  

Ketika islam lahir, ia hanya begitu saja mengambil syariat2 yahudi tanpa memahami filosofis dibalik itu. Agama yahudi yang telah merentang massa ribuan tahun dan begitu pula agama Kristen yang telah berusia setengah millennium membuat mereka memiliki spectrum dalam berkhasanah. Namun tidak demikian dengan islam yang lahir sungsang dan dipioniri oleh kawanan2 padang gurun yang kasar dan berpikir praktis. Mereka hanya mengambil syariat dalam bentuk, bukan dalam semangat dan filosofi.  Dan yang sial adalah kita yang hidup dalam dunia modern tapi harus berlaku seperti orang bodoh terhadap para kambing bandot arab yang merasa sok tahu dan sok benar.
Bukan hanya tentang halal dan haram, tentang sunat pun kita,  agama islam, mencontek begitu saja tanpa mengerti hakekat dibalik sunat itu yang adalah janji allah terhadap bani israil. Kita hanya mencari-cari alasan bahwa dipotongnya kulup kita akan membawa faedah kesehatan dsb. Padahal penjelasan medis yang obyektif tidak membuktikan hal tersebut.

Dengan pemahaman elevated options ini kita seharusnya sadar bahwa agama adalah bikinan manusia.  Pilihan bertingkat ini adalah bentuk psikologis perjalanan kesadaran si manusia itu sendiri, mulai dari pemikiran yang real-kongkrit A vs B, haram vs halal, kemudian terus berdialeka menjadi C, D, E dan F. dan akhirnya mulai menyadari bawa A, B, C, D, E, dan F dsb hanyalah konsep pendekatan manusia akan realitas hidup. Bukan hidup itu sendiri. Kebermaknaan hidup ini tidak terletak pada A, B, dan C, dsb, tapi pada pemahaman bahwa kita, manusia, ternyata bisa berubah seiring dengan berubahnya materi2 yang menyertai kita, spt budaya, tingkat pendidikan, kompleksitas hidup dsb. Kita adalah mahluk yang terus berubah dan bergerak. Tidak pernah statis. Dan itu yang perlu disyukuri.

Tuhan tidak pernah mau tahu apa yang manusia makan dan minum sepanjang kita mendapatkannya dengan cara2 beradab. Selama milyaran tahun bumi ini tidak pernah mengenal konsep tuhan. Binatang lahir dan mati, makan dan dimakan, tidak ada yang sok-sok tahu mengajarkan tentang apa yang halal dan haram sampai ada suatu saat trah kera besar yang baru melek pengetahuan , yang kita namai homo sapiens-sapiens, dan berdomisili di timur tengah merasa sok tahu bercerita tentang adanya tuhan yang sendirian, tidak beranak dan tidak beribu, yang mengajari kita tentang halal dan haram.

Saya tandaskan lagi tidak ada yang haram. Begitu pula tidak ada yang halal. Artinya semua itu diserahkan pada kita untuk menilai, apakah itu bermanfaat, apakah itu merugikan, apakah itu sesuai dengan nilai2 masyarakat dan hati nurani kita.

Saya tidak pernah memakai haram dan halal, tapi tidak berarti semua binatang layak dimakan. Saya tidak makan tikus, kecoa, kucing, anjing, paus, sirip ikan hiu, monyet, biawak, kelelawar, dsb. Karena berbagai pertimbangan, baik itu kesehatan, higienitas, dan ekologi. Sangat mungkin bahwa waktu Australia dan Amerika saya tanpa sadar makan makanan yang mengandung babi. Alhamudilah . enak. Dan itu tdk mengubah apapun dari diri saya.

Untuk ibu RP. Kalau anda takut salah makan, ya ambil saya yang jelas2 bentuknya, misalnya ayam atau ikan. Toh saudara2 nasrani dari suami andapun pasti bukan orang gila yang suka menipu orang lain mengatakan ini bukan babi padahal babi. Saya tahu orang batak tidak akan seculas itu.

Yang haram itu adalah sifat membabibuta:
-membabi buta mempercayai sesuatu tanpa bukti empiris.
-membabi buta mengkafir-kafirkan orang lain hanya karena tidak berbagai keyakinan yang sama dengan kita.
-membabi buta membenci kaum lain hanya karena sentimen yang ditanamkan dalam kitab2 buatan manusia yang penuh dengan bias dan kepentingan politik.
-membabibuta menegakan hukum syariah yang jelas2 sudah ketinggalan jaman dan tidak sepadan dengan HAM internasional.

Dengan menyadari bahwa adam as. sampai musa as. itu cuman tokoh2 fiktif buatan kaum kanaan yang nantinya disebut bangsa israel, seharusnya kita sadar bahwa baik bangsa Israel, yordania, arab, turki, mesir, adalah bersaudara. Dan memang semua manusia adalah bersaudara, berasal dari trah kera besar yang sama yang tinggal di savannah Afrika Timur jutaan tahun yang lalu. Tidak ada yang disebut bangsa pilihan tuhan, tidak ada yang disebut tanah perjanjian, setiap manusia mempunyai hak hidup yang sama untuk tumbuh dan beraktualisasi tanpa perlu dikungkung oleh agama yang nyata2 membedakan manusia jadi kutub2 ekstrim yahudi vs gentile (yudaisme), umat yang ditebus vs umat yang tidak ditebus (Kristen), mukmin vs. kafir (islam).

Demikianlah renungan dari saya, seorang Doktor lulusan universitas terkenal di Australia dalam Kajian Islam Mutokhir alias Advanced Islam Study.  

Marilah ummah yang saya cintai, jangan terbelenggu dengan konsep haram dan halal, tapi jangan pula jadi orang rakus yang suka dnafsu lidah dan perut, jadilah manusia yang sederhana dalam masalah makanan tapi kritis dan tajam dalam berpikir, seru sekalian alam.

Senin, 13 September 2010

Islam without veil

Imported from The Jakarta Post : Islam without veil

Islam without veil

Al Makin, Yogyakarta | Tue, 07/27/2010 9:36 AM | Opinion

Since the recent controversy surrounding the French government’s ban on total face coverings (burqa or niqab), the head scarf issue has once again attracted the world’s attention.

Indeed, only very few Muslim women cover their face completely, which is a reflection of the attitude preached by Sayed al Tantawi, an imam of Al-Azhar in Cairo, who boldly stated that total face coverings are not in accordance with Islamic teachings.

It is therefore not surprising that the education ministry in Syria, a Muslim majority country, has also issued a ban on niqab in all state and private universities.

Looking at classical Islamic literature, one will discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion among Muslim jurists, historians, philosophers, theologians nor any other thinkers.

There are much more important issues to discuss than paying attention to whether women’s heads should be covered or left bare.

The headscarf issue, which has served a symbol of new Islamic revivalism, is new.

The Koran itself never explicitly mentions that women should cover their hair.  Nor is there clear guidance on what parts of women’s bodies should be covered with what kind of cloth.
Covering women’s heads with only their faces showing, is part of more recent Islamic conservatism, which has recently penetrated almost all aspects of Indonesian Muslims’ lives.
Indonesian women, however, have proven themselves to be creative in making the veil into more of a fashion statement that a symbol of conservatism.

Girls in campuses and malls have combined the article with modern trends. Ironically, some headscarf clad women can be found wearing trendy outfits accentuating the female form.
Those who are in favor of wearing hijab head scarves justify their ideology, which they consider as a religious duty, by exploiting the interpretation of verses 33:59 and 24:31 of the Koran.

The remainder of the argument rests on unclear Prophetic traditions in the Hadith, whose meanings are then violated. The contexts are forgotten and their main messages are abandoned. The focus of attention is paid to whether there is a piece of cloth covering a woman’s head. They are selective in choosing the part of the tradition that supports their argument.

We may question why they are so concerned with two verses out of more than 6,000 verses in 114 chapters of the Koran. Six years ago in Ciputat, Tangerang, Banten, in a conversation my colleague, Prof. Abdullah Saeed, a professor of Islamic Studies at the University of Melbourne, Australia, wondered that Muslims did not pay enough attention to the prohibition of lying which occurs in almost every chapter of the Koran.

Paradoxically, the unclear message of wearing head scarves in only two verses of the whole Scripture becomes a heated subject of debate among Muslims.

Of course, wearing a headscarf is neither a theme of philosophical nor of theological discussion. It can perhaps be inserted in Islamic law, although its place is marginal. Head scarves are certainly items of modern fashion that have become prevalent in Muslim communities.

“Looking at classical Islamic literature, one will discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion among Muslim jurists, nor any other thinkers.”

It is of course a product of culture. Studies show that many women have their own various reasons to wear a headscarf — be they religious, personal, or fashionable. Additionally, wearing a headscarf is obligated by certain institutions, supported by parents, or friends.
On the other hand, covering head is also an old tradition, older than Islam itself. Images of women covering their heads have been found connected to Egyptian, Sumerian, Greek and Byzantine cultures.

Many classical works show that important female figures, such as the Virgin Mary, covered their heads with cloth. Note that men also wore headscarves — a fashion which is less popular now, except in the Arab countries.

Indonesian thinkers, i.e. Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, whom we should be proud of, warned us that we should distinguish between the spirit of Islam and Arab culture, the context in which Islam was born. Sukarno, when he was young, once condemned the segregation of men and women in public forums.

In understanding Islam, Sukarno often called upon Indonesians to take the fire (the spirit), not the ashes (unessential elements).

Without doubt, the headscarf issue is not the fire. It is a part of recent revivalism whose advocates adopted the headscarf as a symbol and “identity”, indicating their unpreparedness in facing the challenge of globalization. They are worried of being lost in the wilds of the global market and feel the need to distinguish themselves.

Since the 1990s in Indonesia, the veil has dominated the public and at times buried our “identity”. In campuses, streets, supermarket, vehicles, the hijab has become a trend.

Fewer people wear traditional ethnic clothes even in ceremonies. We often see weddings with grooms and brides who preferred “religious dresses” to traditional ethnic garb.

In fact, to wear veil, or not to wear veil, does not indicate the quality of our piety. It is purely fashion. Traditionally, Indonesian Islam was never hidden behind a veil.


The writer is a lecturer at the State Islamic University Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

To veil or not to veil

Imported from The Jakarta Post


To veil or not to veil, Islamic women face tough choices

Dina Indrasafitri, The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 08/26/2010 9:40 AM | National
A | A | A |
When Wina decided to shed her jilbab, the headscarf symbolizing, for most people, a woman’s commitment to Islam, her husband commented, “It’s up to you, but it’s degrading.”

She said some of her colleagues at work started gossiping and were cynical toward her following her decision to remove the scarf after three years wearing it.

Wina, a thirty something Jakarta resident, had been one of the subjects in the book “Psychology of Fashion”: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab (Psychology of Fashion: The Phenomenon of Women Removing Their Jilbab), launched Tuesday in Jakarta.

The author, Juneman, a psychologist from the University of Persada Indonesia, interviewed three other women who also decided to shed their headscarves.

The choice was often met with shock and criticism — some soft and others openly harsh — from their friends and family.

Intan, a citizen from West Java, said she had a long argument with her mother after deciding to take off her veil and said her mother accused her of being “wishy-washy”.

In the book, Intan recalled her mother’s words: “See? I told you so. You didn’t have to [wear a jilbab] now you’re embarrassed, right?”

The book revealed that social institutions and peer groups often play a large part in influencing a woman’s decision to wear the Islamic head-scarf. And they are quick to react to women’s decision to remove it regardless of the fact that such a decision is a private one.

“I often get comments on my Facebook page, saying that I would look prettier in a jilbab ,” said Tia — not her real name — who attended the book launch.

The woman in her thirties said that despite similar nudges from friends and colleagues, she would still put off donning a scarf.

Four of the women in the book said they were encouraged to wear the head scarf by institutions such as religious organizations and schools, and by male figures.

Intan in particular recalled her public junior high school teacher teaching students that women who refused to wear the jilbab were bound to hell.

The women interviewed in the book shared their various reasons behind their decision to remove their jilbabs. Tari from West Java was disillusioned by the election process for the head of the women’s division of her campus’ religious group. She said rumor was rife that candidates had to wear the very conservative hijab, which covers more than just the head and shoulders.

“This is not right. How come a woman’s worth is judged by the size of her jilbab,” she said.

Lanni from East Java said that one of her reasons was having her heart broken by the man who encouraged her to wear a jilbab. While for Intan, studying Hindu and Buddhist philosophy during college had been one of the antecedents.

Juneman said the reason to shed the jilbab fell into two categories: the feeling that one is not “enlightened” or pious enough to wear one, or, on the contrary, feeling that they are already enlightened thus felt that the attire was unnecessary.

Three of the women said they felt more comfortable after taking off their jilbabs, and two said they may return to wearing the headscarf again in the future.

All of the four women had finished undergraduate degrees and were living in major cities when Juneman conducted the book’s research in 2007. When he first announced he needed subjects for the research over the Internet, more than 10 women expressed their interest over the one month waiting period.

“The nature of this research [qualitative], is not a representative one,” Juneman said.

Siti Musdah Mulia of the Conference For Religion and Peace said that it was only after the 1980s
that jilbabs became a major phenomenon in Indonesia, and the movement had grown more significantly in public schools rather than religious ones.

“For pesantren [Islamic boarding school] students, the headscarf was just considered as part of the uniform, there were no talks of hell for those not wearing jilbabs there,”
she said.

Siti added that there were other changing habits regarding how people viewed religion. For example, in the past there were no unwritten rules that lectures should pause during the call to prayer.

She illustrated less rigid methods of wearing jilbab that she encountered during her student days at a university in Cairo.

“Some female students only put on their scarves in class,” Siti said.

Some regions, which won autonomy since the fall of Soeharto’s centralist government, have imposed Islamic dress codes on women.

In some regions, such as several parts of Aceh, failure to adhere to these codes can lead to punishment under sharia law.