Sabtu, 27 Maret 2010

Nuh


oleh Arief Rahman

Sejarah telah membuktikan bahwa manusia merupakan mesin perusak yang efektif dan sangat sempurna. Berapa juta jiwa yang melayang sebab terbunuh atau dibunuh pada era perang dunia di masa lalu, bahkan nyawa itu tak henti terus melayang di akhir jaman ini. Sebabnya hanya satu, tak lain adalah keinginan nafsu rendahan dan keserakahan. Dan di atas segalanya adalah pikiran.

Lantas kita bertanya, mengapa terjadi kekacauan dan kebrutalan umat manusia di masa itu dan juga saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali berbagai kambing hitam akan kita kurbankan dan beragam argumen pun akan dikerahkan. Tetapi lagi-lagi itu tidak menjawab persoalan, bahkan tidak menyentuh permasalahan mendasar.

Kambing hitam yang kita kurbankan dan argumen yang kita kerahkan selama ini hanya membuktikan ketidakbecusan kita mengurusi “rumah” sendiri. Harus kita sadari dengan sepenuhnya bahwa apapun yang terjadi di luar sana, termasuk kekerasan dan tontonan keberingasan yang hewani itu, merupakan proyeksi atau gambaran “rumah” kita sendiri. Kekacauan yang terjadi di luar merupakan kesalahan kita secara kolektif. Masih ada riak kekacauan di dalam diri kita. Dan di atas segalanya, kekacauan itu disebabkan oleh pikiran yang kacau.

The Third Reich merupakan imperium impian bangsa Jerman. Tetapi impian yang dibangun di atas fondasi pikiran yang kacau, pikiran yang hendak menguasai bangsanya sendiri dan bangsa-bangsa lain. Begitu kuatnya pikiran bangsa Jerman kala itu sehingga mewujud dalam realitas yang mempengaruhi tatanan dunia. Mata setiap orang secara kolektif melihat suatu mimpi yang dianggap riil, seperti seutas tali yang dianggap sebagai ular: kejayaan bangsa Jerman meski hanya bilangan tahun saja, peperangan, holocaust dan kekacauan dunia secara kolektif. Ah, betapa dahsyatnya kekuatan pikiran!

Dengan demikian, pikiran seperti bilah pisau. Ia bisa menghantarkan manusia menjadi mesin perusak yang efektif dan sangat sempurna, tetapi ia pun bisa mengilhami manusia untuk mengkriya dan mencipta tatanan dunia yang indah seperti Surga yang tertulis pada kitab-kitab suci.

Untuk membuktikan kebenaran kata-kata itu memang tidak bisa tidak, mesti dibuktikan oleh pengalaman pribadi bukan pengalaman pinjaman ataupun “konon katanya”. Pemahaman dan pengetahuan kita tentang kesadaran harus mewujud dalam hidup sehari-hari lewat pengalaman pribadi yang unik adanya sehingga tidak menjadi “ilmu gatuk” atau sekedar perpustakaan.

Hari ini saya hampir memarahi orang sebab ia telah menabur kata-kata fitnah tentang diri saya. Saya memutuskan untuk menemui orang itu. Saya harus membuktikan bahwa saya tidak seperti yang difitnahkan itu. Tetapi saya memikirkan agar persoalan dengan orang tersebut diselesaikan dengan damai, dengan Kasih seperti seringkali saya tulis dalam tulisan-tulisan saya. Jadi jangan sampai saya hanya bisa membacot dan berceloteh tentang kesadaran tanpa pengalaman nyata.

Terpikir juga oleh saya, mungkin saja saat menemui orang itu, kami akan terlibat perang kata bahkan kekerasan fisik. Saya sudah menyiapkan diri untuk itu. Namun selama perjalanan, saya hanya berdoa agar kedamaianlah yang tercipta. Saya gusar, saya marah terhadap orang itu tapi saya harus menyalurkan kemarahan itu dengan tetap sadar dan pada tempatnya, jangan sampai salah sasaran dan terbawa amarah.

Kami pun bertemu dan bersalaman layaknya orang yang tidak ada masalah. Saya menegur orang itu dan bertanya mengapa tega menyebar fitnah. Tanpa harus marah-marah, dan tanpa harus terjadi body-contact, segera orang itu menyadari kekeliruannya. Ia mengatakan bahwa ia melihat kejujuran pada wajah saya, ia menilai bahwa saya selalu menunaikan tugas dengan baik, bla bla bla. Intinya, orang itu melihat kebaikan dalam diri saya dan berjanji akan memperbaiki nama saya yang telah ia coreng di muka umum. Ia ingin berteman dan bermitra dengan saya. Selesailah perkara. Raut kami yang semula tegang kini tiba-tiba mencair. Kami pun bersalaman kembali, saling bermaafan. Kali ini salaman kami tanpa unek-unek. Salaman dengan penuh kelegaan.

Hal yang ingin saya sampaikan dari petikan kisah nyata di atas adalah bahwa bila manusia bisa menjadi mesin perusak, maka sesungguhnya ia pun punya potensi untuk menjadi Pencipta. Lagi-lagi pemahaman ini harus dirasakan, harus dialami sehingga tidak menjadi “ilmu gatuk” atau ilmu pinjaman yang “konon katanya”.

Kita harus membuktikan bahwa dunia yang kita lihat saat ini adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri yang secara kolektif berkesadaran sama atau hampir sama. Duduklah hening sejenak, mengatur nafas kita yang masuk dan keluar, pejamkan mata, dan biarkan pikiran berkecamuk ramai dan lalu lalang di “layar” mata kita yang tertutup. Jangan gelisah, biarkan pikiran itu berhenti sendiri. Lambat laun pikiran kita yang diproyeksikan dalam “layar” mata kita yang tertutup itu semakin jarang dan menghilang. Dimana realitas dunia kita saat itu?

Dengan tanpa kesadaran di lebih separuh bumi ini banyak orang “bermimpi”, berpikir keras setiap saat bagaimana meraih kedudukan, kekuasaan dan pengaruh. Mimpi kolektif mereka mewujud menjadi dunia kita saat ini. Dunia yang sempurna dengan mafia-mafia hukum, vila-vila dan mall yang tidak memperhatikan ekosistem dan estetika, para penguasa dan agamawan yang korup, maraknya jumlah tempat ibadah namun sunyi dari jiwa yang beribadah, perempuan yang diperkosa di negeri orang, kekerasan atas nama agama dan seterusnya.

Sebaliknya dalam jumlah yang sedikit, mereka yang sadar berjihad mengenali diri pribadi, agar terwujud tatanan dunia yang damai dan tempat yang lebih layak untuk dihuni. Mereka yang sadar berupaya mengurus “rumah” sendiri mewujudkan Surga di bumi. Jika banyak lagi orang yang bangkit kesadarannya, yang bangun dari tidur panjangnya, maka pikiran kolektif mereka akan segera mewujudkan Surga di bumi itu, akan tercipta tatanan dunia yang lebih damai, harmonis, dan indah seperti “rumah” mereka sendiri. Baiti Jannati, rumahku bagaikan Surga bagiku.

Tetapi mungkin tidak diperlukan banyak orang hingga menguasai lebih dari separuh bumi agar bisa menciptakan tatanan dunia baru atau Surga di bumi. Kisah Nuh telah membuktikan bahwa hanya segelintir saja mereka yang sadar, itu pun dijumlahkan dengan beberapa ekor ternak yang ikut “hijrah” dalam perahu, maka terciptalah dunia baru. “Seketika” ada “pemisahan” dimensi dunia yang mengguncangkan. “Saat itu” segelintir orang dan ternak dalam perahu menyaksikan tenggelamnya kediaman mereka, orang-orang yang mereka cintai, segalanya berikut kesadaran lamanya. Demikianlah, wujud dunia lama itu rupanya sudah tidak bisa dipertahankan lagi eksistensinya, sebab telah bangkitnya kesadaran di dalam diri……. Bangkitnya kesadaran, maka berakhirlah mimpi itu. ………



Januari 2010
arief rahman

Eksistensi "Agama Asli Indonesia" dan Perkembangannya dari Masa ke Masa


Oleh: K.P. Sena Adiningrat

*) Disampaikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.

I. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran nilai-nilai agama − kenyataannya jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.

Penjelasan Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya”.

Ada lagi penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalur-kan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2, disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan “… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indo-nesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisiasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama” yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran tidak resmi (termasuik yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi.

Karena itu, agama-agama resmi itu perlu dijaga dengan Pasal 1 Undang-undang ini, dimana “penafsiran yang berbeda” dan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari agama-agama resmi tersebut dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah letak masalah-nya, siapakah yang harus menentukan standarisasi tafsir agama, atau siapakah yang berhak menentukan salah atau benarkah suatu keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi masalahnya pada kriteria penodaan agama dalam undang-undang ini didominasi oleh agama-agama yang diakui pemerintah.

Kembali kepada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya Penjelasan Umum angka 2 juga menyebutkan: “Di antara ajaran-ajaran/peraturan-pe
raturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru ekstrimisme yang membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur dalam agama-agama resmi, bukan kepercayaan tradisional.

Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia justru menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah, inklusif, dan toleran terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang jadi “tolok ukur” justru agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan tradisional yang memang jarang mendefinisikan atau membuat pembakuan keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan eksistensi agama asli Indonesia dan bagaimana perkembangannya dari masa ke masa. Dalam lintas sejarah dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya ramah, bukan dianggap sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai, diadaptasi dan diterima untuk menghiasai mozaik keyakinan asli yang menyangga dan mendasarinya.

II. Definisi Agama (Religion)

Sebelum menguraikan apakah yang disebut “Folk Religion” (agama asli) dan bagaimana perkembangannya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah saya menguraikan dahulu definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang akhirnya diserap dalam bahasa Indonesia.

H. Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta “tidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”. Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”, “karya-karya suci”. Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai karya sastra Jawa kuna, antara lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagainya.

Tidak jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menurut L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama” dalam makna religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama (XXV,2): “Mapanji santara widagdheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusastraan”.

Kata “agama” memang diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Āgama. Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan Majapahit ini sampai sekarang masih diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951.

Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengikat”. Jadi, arti “religio” disini adalah way of life lengkap dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.

Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”. Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan).

Selain kata din, dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim kepada Sang Pencipta (Abraham), yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.

Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang pertama “agama” sebagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama” sebagai “ajaran-aajran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh lembaga keagamaan (the organized religion). Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion) dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religionswisseschaft; Perancis: la science de religion).

Bahwa definisi agama atau religion ini tidak sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah masalah lain. Lebih tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio” dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”, “dhamma” dalam Hindu dan Buddha adalah makna teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap suatu ungkapan yang secara bahasa adalah netral. Padahal soal teologi atau akidah adalah “wilayah” keyakinan, dan soal itu di luar wewenang ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menyalahkan keyakinan suatu agama.

III. Eksistensi “Agama Asli” dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa

Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah berTuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhahan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oeh bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks ke-budayaannya sendiri.

Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:

1. “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu

Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).

Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).

J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Peran-cis pendahulunya, yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan sebagainya, dimana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi. Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI.

Selanjutnya, kekuatan Yang Maha tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah” (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang puncaknya bersaju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan danawa).

Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri (abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. “Agama Asli” Pada Era Hindu-Buddha

Pada masa kejayaan Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan Hindu/Buddha. Namun pengaruh Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut dalam samudera spiritualitas India. Bahkan sering kali spiritualitas asli ditempatkan di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli Indonesia. Beberapa contoh di bawah ini membuktikannya:

2.1. Zaman Kerajaan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddhayatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke bahtera pergi menjemput berkah keba-hagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa). Bahkan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/ Buddha.

2.2. Zaman Kerajaan Sunda

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/Prinsip Ketuhanan yang universal).

2.3. “Agama Asli” Pada Era Kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit

Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence meningkat menjadi relasi “pro-existence” (saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastra sebagai berikut:

Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha), tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu), mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.

Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.

Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.

Siapakah Sri Parwataraja? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini, Sri Parwata Raja adalah istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat kepercayaan asli (karesian). Bahwa Sri Parwata Raja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).

Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusan-tara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.

Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiriah agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya.

2.4. Kerajaan Demak dan Pajang

Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda.

Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan, Bung Karno, dalam pidatanya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama ageming aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.

2.5. Kerajaan Mataram

Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan kolonialisme dan Impe-rialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam Santri. Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama” ini dicatat dalam Serat Cabolek.

Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat ber-kembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelompok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Muta-makin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sinuhun Paku Buwana II tampaknya tidak suka kepada para ulama yang berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan dari tuduhan mengajarkan ajaran sesat. Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya boleh berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak dari soal-soal yang termasuk dalam ”ruang privat” warganega.

Bercermin dari “kaca benggala” sejarah di atas, patut dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas keyakinan seseorang atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar ini akan terus berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam menentukan sesat tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan tersurat dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi, dengan mengatakan bahwa undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur agama. Sama sekali bukan, melainkan jangan sampai negara terlalu jauh mencampuri urusan sesat/ tidaknya sebuah agama atau aliran kepercayaan yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam masyarakat Indonesia.

IV. Mengkritisi unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama

Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari sudut ilmu agama-agama − dan ini jelas di luar kewenangan pemerintah untuk mengu-rusinya − jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci dan pe-wahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik, seperti Hindu dan Buddha.

Agama-agama semitik mengklaim diri sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh agama lain “politheis”, atau minimal “kurang monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme, monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu. Sebaliknya, agama Buddha jelas-jelas terpaksa menerima syarat harus ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”, padahal filosofi ajaran Buddha jelas-jelas bersifat non-theis (bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal God). Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/ Protestan, ada lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih dari satu tafsir terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan dalam pasal 1 “melakukan penafsiran ter-hadap suatu agama yang berlaku di Indonesia?”

Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu agama-agama. Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkembang penafsiran akademis atas agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda dengan Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila seorang teolog Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan memakai ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan Kristen sendiri. Apakah perbedaan penafsiran ini juga melanggar undang-undang penodaan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa dikenakan tuduhan melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang Yang mengubah agama Kristus), yang menafsirkan ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” Kristen.

Begitu juga dengan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasarkan Injil yang Otentik), seharusnya juga bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi penafsiran a la Islam atas teks-teks Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam sendiri. Kalau kita menengok sejarah agama-agama dan penyiaran-nya, pertanyaan bisa semakin panjang. Misalnya, proses “islamisasi” (yang bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang yang cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India.

Jangan-jangan penulis “Babad Cirebon” dapat dikenai delik penodaan agama, karena menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal Kalimasada berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha, “besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”. Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu Jayabaya Kediri, sebagai berikut:

“….enget ring wekasan Yudhisthira sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka Kalimahosada rinegepira. Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab. Artinya: “Akhirnya Yudistira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang mengingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pu-saka Kalimahosada, mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga sen-jata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-kobar”.

Kalau kita lacak lebih jauh lagi, sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt, wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk pe-nyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal kerajaan Hindu, wayang masih berfungsi se-bagai ritual penyembahan”, sekalipun sudah diisi dengan cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih muda).

Apakah memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan agama”? Pada zaman Islam para wali memakai wayang demi dakwah Islam, dan kisah-kisah Hindu di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina dalam agama Hindu, diidentikkan dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan? Begitu juga, dalam sejumlah naskah Jawa-Islam dewa-dewa Hindu diturunkan derajatnya menjadi keturunan Nabi Adam? Bukankah ini memenuhi rumusan delik “… atau membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”?

Memang, bagi orang Muslim dan Kristen, pertunjukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna adalah kegiatan keagamaan. Jadi, apakah menggunakan istilah-istilah Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan ajaran Islam bukan merupakan penodaan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965?

“Dengan kata-kata “kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran dengan agama, mempergu-nakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan sebagainya (Penjelasan Pasal 2).

Perlu dipertanyakan “menggunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya”. Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan “mulahan Injil”. Dari zaman pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci ini dikenal di seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Ero-pa Timur dan Rusia. Kita semua bisa menyaksikan di negera-negara Arab, bagaimana orang Kristen mengajikan Injil sangat mirip dengan umat Islam mengajikan ayat-ayat Al-Qur’an.

Begitu juga pemakaian jilbab sudah dikenal di Code Hamurrabi (abad XIV SM), yang kemudian dilestarikan oleh orang Yahudi, Kristen Timur dan kemudian dilanjutkan oleh Islam. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca Injil dengan dingajikan bisa dituduh membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang hampir sama, karena ketiga agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama.

Khususnya untuk penghayat Kepercayaan dilarang menggunakan istilah “agama” (se-telah istilah yang diambil dari bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh pemerintah), secara historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah agama”? Bukankah kata “agama” telah terlebih dahulu diserap dalam bahasa Jawa kuna, sedangkan kata ini tidak dijumpai baik dalam Injil maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus mempunyai konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk imperialisme doktriner yang menggunakan kekuasaan negara, bahkan tidak sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah.

Sebab faktanya kaum penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang Jawa tidak pernah mengenal nabi atau rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya, memandang bahwa ibu kita sendiri adalah utusan Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu saja konsep “utusan” ini sangat berbeda bila dipahami menurut logika agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur” untuk menilai keyakinan atau pandangan lain yang berbeda. Sebab sekali lagi, dalam konteks ilmu agama-agama, Keper-cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama dalam pengertian yang sebenar-benarnya”.

V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka kami memandang bahwa Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak diperlukan dan harus dicabut, karena telah mendeskriminasi agama dan kepercayaan lain di luar yang diakui oleh Pemerintah. Rumusan delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 sangat sulit dilaksanakan, karena secara faktual bertentangan dengan sejarah agama-agama itu sendiri:

Pertama, kriteria “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia” bertentangan dengan fakta bahwa tidak pernah ada tafsir tunggal dalam satu agama itu sendiri, apalagi antara agama yang satu dengan agama lainnya. Kegiatan saling menaf-sirkan agama dari perspektif agama yang dianut oleh penafsirnya, justru sepanjang sejarah telah terjadi. Lebih-lebih dalam prakteknya selama ini, perbedaan tafsir dengan “versi agama resmi” ini telah menjadi justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas nama kebenaran agama, seperti yang khususnya dialami oleh kaum penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, kriteria “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu” juga bertentangan dengan fakta sejarah agama. Kesamaan istilah atau term-term keagamaan, pola ibadah, dan sebagainya, kadang-kadang muncul karena keserumpunan aga-ma (misalnya: Yahudi, Kristen dan Islam di Timur Tengah; Hindu dan Buddha di India; Konfusius dan Tao di Cina, dan sebagainya), atau beberapa agama dalam perkembangannya tumbuh di suatu tempat yang sama.

Sekali lagi harus ditekankan bahwa pencabutan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak berarti membiarkan terjadi penodaan agama, sebab pasal-pasal KUHP sudah menga-turnya. Pada prinsipnya, usulan pencabutan Undang-undang Penodaan Agama ini salah satunya dilandasi oleh alasan bahwa keberadaan Undang-undang ini telah membuat peme-rintah terlalu jauh mengintervensi keyakinan seseorang, yang seharusnya termasuk “wilayah privat” masing-masing orang dalam tanggungjawab penuh kepada Sang Hyang Tunggal, Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta) dan sesame manusia, dan segenap makhluk ciptaan-Nya.

Jangan Gampang Bilang Sesat


oleh Arief Rahman

Sesat! Sebuah kata yang kini teramat gampang untuk diucapkan. Semacam serapah yang kerap ditudingkan kepada siapa saja yang dianggap menyimpang dalam mendefinisikan ajaran agama. Demikian, kata ini menjadi semakin sakti manakala dirapalkan oleh mereka yang ditokohkan atau difatwakan oleh suatu lembaga agama. Sakti, sebab ia mampu menggerakkan orang untuk melenyapkan yang lain tanpa tedeng aling-aling.



Allah dalam Islam, disebut dengan beragam Nama dalam agama lain. Yahwe, Hyang Widhi, Adi Buddha, Tao dan seterusnya adalah Nama Dia Yang Esa Itu, Tuhan segala agama. Apakah Allah dalam agama Islam lebih Ilahi daripada Allah yang disebut dengan pelbagai Nama dalam agama-agama lain?


Begitulah dalam memandang dunia, otak umat beragama, khususnya umat Islam dewasa ini sangat terpatri dengan dikotomi Ilahi dan non-Ilahi, Islami dan non-Islami. Segala sesuatu yang tidak ada dalam agama (tentunya lain orang lain pemahaman), maka serta merta difatwai non-Ilahi atau non-Islam, haram, sesat, bid’ah. Allah pun menjadi sempit ruang lingkupnya, karena pemahaman sempit semacam ini. Alhasil Allah yang ada di masjid, mushala, surau dan langgar “tampak berbeda” dengan Allah “yang sama” yang berada di gereja, pura, wihara, sinagog, kelenteng dan tempat-tempat ibadah umat lain. Ritual ibadah pun sudah dianggap tujuan, sementara ritual ibadah umat lain dipandang sebagai penyembahan terhadap berhala, thaghut, non-ilahi.


Renungkan, jika orang beranggapan bahwa Allah yang ada di masjid lantas berbeda dengan Allah yang ada di sinagog, lalu dengan dingin tangan dia membakar tempat ibadah itu, dimanakah Tauhid orang itu? Apakah ia beranggapan bahwa si Setan Kafir-lah yang ada di sinagog itu? Apakah ia tidak merasakan kehadiran Allah di tempat-tempat ibadah agama lain? Apakah gereja, sinagog, pura, wihara dan tempat-tempat ibadah lain itu non-Ilahi,non-Islami, alias setani ? Dimanakah keyakinan Tauhid kita bahwa Allah itu Esa, Wajah-Nya di Timur dan di Barat, di mana-mana itu?

Kebiasaan berpikir dualitas, membeda-bedakan ini Ilahi dan itu non-Ilahi, ini Islami dan itu non-Islami adalah akar syirik (menyekutukan Allah). Waspadalah dengan pikiran kita yang liar itu. Salah satu hadis mengatakan “syirik bekerja seperti semut hitam yang merayap di bebatuan di malam yang gulita”, tidak terasa tetapi berbahaya. Sebuah dosa besar dimana Yang Maha Pengampun pun sulit mengampuni.

Cara pandang dualisme mengingkari nilai-nilai agama yang sejatinya mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam surah al-Maidah (5:66) tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru.” Dari ayat ini jelas bahwa ukuran derajat seseorang dengan orang lain adalah “melakoni” ajaran agamanya masing-masing dengan sungguh-sungguh, bukan formalisme agama apa yang dianut. Melakoni ajaran agama berarti mewujudkan kesalehan sosial dalam pelayanan terhadap sesama dengan penuh kasih tanpa embel-embel, tanpa membeda-bedakan, tanpa dualisme.


Sesat! Sebuah kata yang kini teramat gampang untuk diucapkan. Semacam serapah yang kerap ditudingkan kepada siapa saja yang dianggap menyimpang dalam mendefinisikan ajaran agama. Demikian, kata ini menjadi semakin sakti manakala dirapalkan oleh mereka yang ditokohkan atau difatwakan oleh suatu lembaga agama. Sakti, sebab ia mampu menggerakkan orang untuk melenyapkan yang lain tanpa tedeng aling-aling.

Masih segar dalam ingatan, Lia Aminuddin yang divonis bui dua tahun dan perlakuan anarkis kelompok tertentu atas pengikut Ahmadiyah, dan belakangan ini begitu maraknya perusakan tempat ibadah di pelbagai daerah telah memberikan suatu pelajaran penting bagi kita semua. Betapa negara benar-benar tidak berdaya dalam menjamin kebebasan beragama. Negara seolah-olah melakukan pembiaran terhadap membuncahnya kultur takfir (pengkafiran) di dalam masyarakat.Bahkan seakan negara menempatkan dirinya untuk menjadi penilai terhadap keyakinan agama dan sistem kepercayaan tertentu. Menilai keyakinan agama tertentu, bukanlah wewenang negara atau lembaga manapun. Itu tidak sah sama seperti tidak sahnya kita memvonis salahnya selera orang lain.

Dalam soal agama, tugas pemimpin dan kewajiban negara sebagai organisasi in optima forma bukanlah menilai, melainkan memfasilitasi tempat seluas-luas dan seadil-adilnya bagi segala bentuk ekspresi keberagamaan yang berbeda-beda sehingga setiap warga negara dapat melakoni kehidupan keberagamannya dengan tenang dan aman.

Bergulirnya demokrasi di negeri ini, berdampak ramainya lalu lintas ide-ide baru dan pemikiran yang segar. Yang baru dan segar itu tidak saja merambahi sains, tetapi juga ranah agama. Ajaran agama mulai ditafsirkan dan didefinisikan kembali dengan semangat jaman bagi kemaslahatan umat manusia. Kenyataan ini tak bisa ditampik, sebab ia mesti dilihat sebagai buah dari pasar bebas ide yang berkembang di dalam masyarakat.

Nanti kita akan melihat bahwa bertahan atau tidaknya sebuah produk tafsiran baru atau redefinisi ajaran agama sebagai hasil pengerahan akal budi, kesadaran, dan pencerahan pada gilirannya akan sangat bergantung pada seberapa besar manfaatnya dalam memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan kemampuannya dalam menjawab tantangan jaman.

Artinya, tanpa harus dilarang-larang, sistem perdagangan ide dalam kerangka pasar agama itu sendirilah yang akan menentukan apakah mereka akan bertahan atau justru akan punah. Kesadaran seperti itu sangat penting bagi kita agar sikap toleran dan ruang ekspresi pelbagai corak keberagamaan tetap terjamin. Kemudian berkembang menjadi sikap apresiatif terhadap keyakinan agama dan kepercayaan yang berbeda. Maka sepanjang keyakinan agama dan kepercayaan tersebut tidak menimbulkan penganutnya berperilaku tidak terpuji dan kriminal yang mengacaukan tatanan sosial, tidak ada yang perlu diresahkan, melainkan mesti dirayakan.

Tidak dipungkiri, tafsiran atas agama yang beragam ini secara teologis acapkali mencuatkan perdebatan. Tapi, persoalan teologis bukanlah urusan negara. Pun pengalaman spiritual seseorang atau sekumpulan orang-orang tertentu yang melahirkan tafsir baru atas agama tidak bisa dinilai sebagai kegiatan melecehkan, menghina, dan menodai agama. Dalam aras ini, setiap individu memiliki keunikan tersendiri yang khas, dan alangkah anehnya jika kekhasan ini dipaksa diseragamkan mengikuti selera lembaga tertentu, lebih parah lagi jika dianggap sesat hanya karena tidak selaras dengan pemahaman mainstream.

Keadaan yang tidak sehat ini harus segera dibenahi. Mestinya Negara yang berlandaskan Pancasila ini tidak berpihak pada paham agama dan kepercayaan tertentu, ia bisa tetap menjaga netralitas dan menjamin terbukanya ruang berekspresi bagi tiap-tiap warga negara, dari segala agama dan aliran. Falsafah bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika menyadarkan kita bahwa apa yang kelihatannya berbeda ini, sesungguhnya satu dan sama. Tan hana dharma mangrwa, tidak ada dualitas dalam Kebenaran.


Sangat disayangkan, cara berpikir dualitas yang senantiasa membedakan ini Ilahi dan itu non-Ilahi, yang membeda-bedakan Tuhan agama yang satu dengan lainnya telah merasuki beberapa petinggi dan tokoh lembaga agama di negeri ini. Jika seorang rakyat jelata berwawasan cupet seperti itu, mungkin akibatnya tidak terlampau signifikan. Mungkin hanya merugikan dirinya sendiri. Tetapi jika seorang petinggi negara sudah dualisme dalam cara pandangnya, maka yang celaka bukan saja dia sendiri, bahkan segenap rakyat yang dipimpinnya.


Sebagai penutup, berikut ini saya sajikan sepenggal contoh dalam hidup sehari-hari tentang beberapa petinggi negara, tokoh agama dan warga masyarakat kita yang terperangkap cara pandang dualitas itu, sebuah “delusi” yang tidak mereka sadari. Saya kembalikan kepada pembaca untuk mencermati dan menemukan dimana letak kekacauan cara pandang mereka. Saya berharap, semoga cara pandang demikian tidak menulari kita segenap anak-anak bangsa yang di dadanya masih memiliki cinta terhadap Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya.

(1) Ketika memberikan pendapatnya soal Ahmadiyah, Fulan, seorang petinggi negara kita mengatakan,"Jika menghendaki menjadi bagian dari komunitas Muslim, sebaiknya mengakui nabinya adalah Muhammad dan bukan Mirza Ghulam Ahmad. Jika Mirza tetap menjadi nabi mereka, Ahmadiyah bisa mendeklarasikan keluar dari Islam. Jika keluar dari Islam, maka umat Islam harus mendukung keberadaan mereka. Umat yang lain yang BERBEDA TUHAN dengan umat Islam kan tidak ada masalah."

(2) Fulan, seorang tokoh agama yang terkenal, memandang bahwa demokrasi sebagai kafir, tidak Islami, tidak sesuai dengan sunnah Nabi. (Catatan saya: paradoksnya yang menggelikan adalah di negeri yang demokratis seperti Indonesia ini justru dia bisa mendirikan organisasinya dengan bebas yang tak pernah bisa ia dapatkan di “negeri impian yang menganut Allah-krasi yang konon islami” itu)

(3) Fulan, tokoh agama yang sama beranggapan bahwa masalah kepemimpinan bukan soal duniawi, tetapi masalah keagamaan. Di sisi lain ia mengatakan sistem pendidikan ala madrasah yang mengenal kelas-kelas itu tidak bisa dikatakan bertentangan dengan sunnah Nabi, sebab sistem itu menyangkut urusan duniawi, bukan masalah ibadah.

(4) Pada suatu kesempatan, gerombolan radikal menunjukkan arogansinya dengan bersepeda motor keliling kota tanpa mengenakan helm. Para Fulan menantang aparat keamanan atas nama hak manusia atau agama mereka, dengan mengatakan “kopiah kami ialah identitas keagamaan kami”.

(5) Dalam sebuah seminar, Fulan, seorang cendekiawan ternama menolak terminologi hukum karma ketika seorang pembicara lain mengaitkannya dengan problem bangsa ini. Fulan membantah “Itu adalah Hukum menurut Teologi Hindu dan Buddhis, tidak bersifat universal. Janganlah dikaitkan dengan perkara non Hindu dan non Buddhis!”

(6) Fulan, pejabat daerah menolak memberikan izin pembangunan Gereja dan Pura walau mereka telah mengumpulkan tanda tangan sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, komunitas masyarakat Hindu tak bisa membangun Pura di kota tertentu walau mereka sudah memenuhi kuota jumlah tanda tangan yang dibutuhkan. (Catatan saya: berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dua Menteri yang dikeluarkan pada 21 Maret 2006 silam, kelompok agama yang hendak membangun tempat ibadah wajib membubuhkan minimal 90 tanda tangan dari umatnya dan 60 tanda tangan dukungan pembangunan dari pemeluk agama yang berbeda di lingkungan tersebut, serta menyertakan surat persetujuan dari kantor urusan agama setempat)

Bandingkan contoh di atas dengan lakon nyata berikut ini yang bisa menjadi sumber inspiratif bagi kita untuk beringsut dari cara pandang dualisme menuju Tauhid dalam pengertian yang sesungguhnya.

(1) Dalam Tarikh Ibn Khaldun dijelaskan, ‘Umar ibn Khathtab datang ke Syam guna mengikat perjanjian damai dengan penduduk Ramalla. Umar datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan yang (sebagian) berbunyi: “Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Umar ibn Khaththab kepada penduduk Ailea (Baytul Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.”

Umar ibn Khaththab masuk Baytul Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah), berhenti di plazanya. Waktu sembahyang datang, ia katakan pada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak: “Sembahyanglah di tempat Anda.” Umar menolak, lalu sembahyang di anak tangga yang ada pada gerbang Gereja, sendirian. Umar yang hidup pada masa Rasullullah, melakukan lompatan-lompatan intelektual yang melampaui zamannya. Dan banyak contoh kasus di mana Umar menimbulkan kontroversi pada masanya.

(2) Saking intensifnya mengikuti dialog lintas iman, K.H.Abdul Muhaimin, Pengasuh PP Nurul Ummahat, Kota Gede, Yogyakarta ini kerap shalat di Katedral. “Kalau saya nginep di Katedral, shalatnya yo di Katedral,” kata mantan aktivis GP Ansor ini. “Di Yogya sudah tahu semua, kalau waktu shalat, saya akan shalat. Ju’ilat al-ardhu masjidan. Bumi seluruhnya dijadikan sebagai tempat shalat,” katanya mengutip sabda Nabi Saw. “Tapi saya tidak shalat di altar gereja,” jelas Anggota Dewan Kebudayaan DIY ini.

Pandangan-pandangan keagamaan yang memberikan ruang kepada toleransi dan apresiasi tampaknya semakin penting disosialisasikan. Hambatan teologis seyogianya bisa diatasi dalam upaya silaturahim antar umat beragama. Dalam surah Ali Imran (Q.S. 3:64), Al-Qur’an jelas-jelas menganjurkan kita mencari titik temu (kalimat-un sawa’). Bukan membesar-besarkan perbedaan yang ada. Selaras dengan ini, Begawan Naradha, seorang resi yang hidup ribuan tahun yang lalu menganjurkan agar orang harus “cuek” (indifferent) terhadap perbedaan yang ada, sehingga melampaui dualitas. Itulah Tauhid yang sesungguhnya.[]

arief rahman
Februari 2010

Perempuan penghuni neraka terbanyak?


Oleh Sri Rahayu Arman

Kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan. Begitulah sebagian orang memahami salah satu riwayat hadis. Betulkah pemahaman itu?

******

Rina masih terbengong. Ia tak habis pikir setelah mendengar ceramah agama dari seorang ustad di sebuah majelis taklim yang menyingung bahwa nanti, di hari kiamat, kebanyakan penghuni neraka itu adalah para perempuan. ”Masak sih penghuni neraka yang terbanyak dari umat manusia nanti dari jenis kaumku? Apakah memang perempuan banyak berbuat dosa? Atau karena saya berjenis kelamin perempuan,” gumamnya dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ah...tidak mungkin.” Ia mencoba menjawab keresahannya itu sendiri sambil mengacak-ngacak deretan buku agama di rak-rak buku.

Barangkali, Anda juga pernah merasakan keresahan seperti Rina, ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya atas ungkapan itu. Keresahan adalah sebuah tanda bahwa dalam diri kita menginginkan pemenuhan terhadap apa yang diresahkan. Nah, jika Anda selalu resah dengan apa yang terhampar dalam layar kehidapan Anda, dan Anda tidak berhenti pada titik resah itu, tapi selalu mencari dan mencari, Anda akan menemukan pemahaman agama yang tidak hanya “katanya Pak ini atau si Anu.” Tapi, pemahaman agama yang berdasar pada pengetahuan dari pengalaman diri.
Lalu, menurut Anda, adilkah jika seorang perempuan yang sudah menjalankan perintah Allah dengan sungguh-sungguh, tapi karena kebetulan jenis kelamin perempuan kemudian ia masuk neraka? Aha! Coba tanya hati nuranimu. Pastilah itu tidak mungkin.

Sebab secara prinsip dalam Islam, seseorang masuk neraka atau surga bukanlah karena jenis kelaminnya, bukan juga karena nasab keturunannya atau karena suku bangsanya. Seseorang masuk surga atau neraka adalah karena amal perbuatannya. Siapa pun yang berbuat buruk akan memperoleh balasan yang buruk, dan siapa pun yang berbuat baik akan memperoleh balasan yang baik. Bahkan secara tegas dalam surat An-Nahl disebutkan, “Barangsiapa yang beramal saleh, laki-laki atau perempuan, sedangkan dia beriman, maka ia akan Kami berikan kehidupan (surga) yang baik, dan akan Kami berikan balasan dengan yang lebih baik dari yang mereka lakukan” (QS. An-Nahl, 19: 97).

Lalu bagaimana memahami teks hadis yang menyatakan bahwa perempuan adalah penghuni terbanyak di neraka?


kita tidak perlu melakukan penelitian soal akurasi sanad, karena sudah dilakukan para ulama hadis terdahulu. Dan teks hadis ini memang diriwayatkan Imam Bukhari, seseorang yang memiliki kredibilitas tertinggi dalam periwayatan hadis. Hanya saja, kita seringkali membaca teks hadis tidak secara utuh, dengan membaca semua redaksi dan dalam berbagai riwayat yang ada, apalagi mengaitkan dengan konteks dan sebab kemunculan teks tersebut (asbab al-wurud).


Kita hanya mengambil kesimpulan secara sederhana, bahkan dilandasi perasaan kebencian untuk menyudutkan perempuan. Jika kita merujuk pada kitab Jâmi’ al-Ushûl (jilid VII, hal. 87-95, no. hadis: 4236-4246), karya Ibn al-Atsir (w. 606H), salah satu kitab yang secara lengkap mengoleksi seluruh hadis dari kitab-kitab utama (kutub as-sittah), di situ disebutkan berbagai redaksi dan riwayat yang saling melengkapi satu sama lain.
Bahwa ungkapan ‘perempuan sebagai penghuni terbanyak di neraka’, terkait dengan khutbah hari raya di hadapan umat Islam, lalu secara khusus di hadapan para perempuan yang ditemui Nabi Saw, anjuran Nabi Saw terhadap sedekah, dan kegiatan derma yang saat itu justru lebih banyak dilakukan para perempuan.


Redaksi yang agak singkat menyatakan, bahwa Nabi Saw berkhutbah pada suatu hari raya, dan berkata, “Bersedekahlah, bersedekahlah, dan yang paling banyak sedekah adalah para perempuan. (hal. 92). Redaksi lain, “Bahwa Nabi Saw berkhutbah, kemudian mendatangi perempuan guna menasihati dan mengingatkan mereka, serta menganjurkan para perempuan itu untuk bersedekah, lalu mereka menyerahkan hiasan yang mereka kenakan kepada Bilal sebagai sedekah” (hal. 91).
Redaksi yang agak lengkap menyebutkan, bahwa Nabi Saw berkhutbah, kemudian menemui para perempuan, memberikan nasihat dan peringatan, seraya berkata, “Bersedekahlah kalian (wahai para perempuan), karena kebanyakan di antara
kamu adalah penghuni neraka,” kemudian ada seorang perempuan separoh baya, yang kemerah-merahan, berdiri dan bertanya, “Mengapa ya Rasulullah (kami menjadi penghuni terbanyak di neraka)? Nabi menjawab, “Karena kamu sering mengadu (yang bukan-bukan) dan mengingkari (tidak berterima kasih atas pemberian) keluarga.”


Kemudian para perempuan itu menyedekahkan perhiasan mereka, diletakkan di baju Bilal. Ada kalung, gelang, dan ada cincin (hal. 88). Bahkan dalam riwayat Imam Bukhari (hadis no. 1462) disebutkan, ada seorang perempuan bernama Zainab yang setelah mendengar khutbah itu langsung mendatangi Nabi Saw dan bermaksud menyedekahkan seluruh perhiasannya. Tetapi Nabi Saw menyarankan untuk menyedekahkan kepada suaminya saja. Karena sekalipun ia berkecukupan, ternyata suaminya masih dalam kekurangan atau tepatnya miskin. Ia akhirnya memberikan perhiasannya untuk keperluan suami dan anak-anaknya.


Jika seluruh redaksi hadis ini dicermati, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Pertama, sebenarnya Nabi Saw tidak sedang memberikan statemen bahwa perempuan merupakan penghuni terbanyak di neraka. Tetapi sedang memberikan dorongan agar para pendengar khutbah banyak yang bersedia bersedekah.


Buktinya, justru yang terbanyak bersedekah adalah para
perempuan. Bahkan dalam redaksi hadis itu, tidak menyebutkan satu orang pun laki-laki yang bersedekah setelah mendengar khutbah Nabi Saw. Kedua, dalam dialog yang terjadi antara Nabi Saw dan salah seorang perempuan, diungkapkan secara tegas oleh Nabi Saw bahwa seorang perempuan ketika masuk neraka juga bukan karena ia perempuan, tetapi karena ia melakukan kejahatan moral: suka mengadu yang bukan-bukan dan melakukan pengingkaran atas pemberian orang lain, terutama dari keluarga atau suami.


Karena itu, sungguh tidak adil jika memunculkan ungkapan tersebut di atas sepotong saja dan tidak utuh. Sehingga, menimbulkan pemahaman yang bisa merendahkan perempuan. Adalah sesuatu yang berdosa, jika ungkapan itu justru dimunculkan dengan penuh kesombongan dan pendiskreditan terhadap perempuan. Camkan suatu teks hadis yang berasal dari sabda Nabi Saw, “Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya memiliki kesombongan, sekecil biji sekalipun,” (Riwayat Imam Muslim, Jâmi’ al-Ushûl, XI/245, no. hadis 8180).


Dr. Hamim Ilyas, pakar hadis dari UIN Sunan Kalijaga, pernah menyatakan bahwa teks hadis ini diungkapkan Nabi Saw di hadapan para perempuan yang berada di jalanan. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memang lebih berbuat hal-hal yang tidak menyenangkan. Terhadap merekalah ungkapan: “Aku melihat, kalian adalah penghuni terbanyak di neraka.” (Lihat Buku Perempuan Tertindas, hal. 34-49).Apapun makna dari ungkapan teks hadis di atas, yang pasti seorang perempuan masuk neraka atau masuk surga bukan karena ia perempuan, melainkan, karena amal perbuatan yang dilakukan. Ini prinsip yang banyak kita temukan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan teks-teks hadis. Wallahu a'lam

Wanita dicipta dari tulang rusuk Pria, Mitos atau Realita?


oleh Sri Rahayu Arman

Untuk apa perempuan diciptakan? “Untuk menyenangkan laki-laki,”kata teman pria saya dengan nada canda, “Karena, lanjutnya, perempuan itu kan diciptakan dari tulang rusuk saya.”

Barangkali, teman saya atau mungkin orang lain yang berpandangan seperti itu, omongannya bukan asal ceplos lho! Pandangan seperti itu didasari oleh sebuah hadis, sahih pula. Hadis yang dapat dinilai dipertanggungjawabkan kebenarannya.


حَدِيْثٌ أَبِيْ هُرَيْرَةْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلي الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ كَالضِّلَعِ اِذَ دَهَبَتَ تًقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَإِِنْ تَرَكْتَهَا استَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَاجٌ ( رواه البخار ومسلم )

“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi, jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.”(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).


Sepintas, saya langsung yakin atas kebenaran hadits ini. Barangkali juga Anda. hadis itu dinilai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi, coba cermati lebih dalam; betulkah asal-usul penciptaan perempuan itu dari tulang rusuk laki-laki? Benarkah Islam membeda-bedakan asal-usul kejadian manusia, sehingga perempuan dianggap sebagai mahkluk nomor dua (sekadar pendamping)? Lalu, bagaimana sebenarnya Alquran memandang asal-usul kejadian manusia?


Alquran sama sekali tidak pernah menyebutkan, soal tulang rusuk itu. Dengan gamlang, ia menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama-sama dicipta dari sumber yang satu (nafsu wahidah).

Coba simak, firman Allah berikut ini;

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ( النسـاء : 1 )

Artinya; “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari “diri” yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah pada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Q.s an-Nisa’;1).


Kata nafs wahidah dalam ayat ini secara umum bermakna satu diri. Sebagian ulama ada yang memaknainya sebagai diri adam, oleh karena itu, laki-laki. Sehingga, banyak orang yang mengatakan bahwa Adam itu sebagai manusia pertama dicipta tanpa ayah dan ibu. Dibuat di surga sana. Lalu, diciptakan istrinya dari tulang rusuknya untuk menemaninya. Padahal, kalau kita telaah, kata nafs itu sendiri bersifat umum, sama sekali tidak menunjuk arti laki-laki maupun perempuan.


Menurut Amina Wadud, pakar tafsir modern, tidak terdapat kejelasan bahwa nafs—jika ditilik dari akar katanya sebenarnya berbentuk muanas(feminin)—adalah lelaki (Adam) dan zawj-nya—jika ditilik dari akar katanya sebenarnya berbentuk mudzakar (maskulin)—adalah perempuan Hawa. Bahkan, tandas Amina Wadud, Allah tidak pernah berencana untuk memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki. Untuk itu, Alquran tidak pernah menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia itu dari "nafs manusia". Alquran hanya menyebutkan bahwa manusia itu dicipta dari satu diri, nafs wahidah.

Lalu, siapakah nafs wahidah itu?


Dalam Alquran, nafs dan jamaknya, anfus dan nufus, diartikan sebagai "jiwa" (soul) "pribadi"(person), diri,"(self),"hidup"(life), "hati" (heart) atau "pikiran"(mind), disamping dipakai untuk beberapa arti lainnya. Sementara kata nafsu dalam Q.s An-nisa'; 1, Al-an'am;98, dan Al-a'raf;189 itu bermakna jiwa (soul). Kata nafs dalam filsafat dan tasawuf Islam telah berkembang menjadi konsep bahwa ia adalah suatu subtansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa, dirtikan "diri" atau batin manusia. Dengan perkataan lain, jiwa adalah roh yang telah mempribadi, setelah masuk ke dalam tubuh (yang akan menjadi) manusia.


Jiwa itulah yang kemudian menjadi benih kemanusian yang ditempatkan Tuhan dalam raga manusia Adam. Yang berupa adam lelaki dan adam perempuan. Adam lelaki dikenal dalam kitab-kitab suci sebagai Adam. Sedangkan dalam Alquran Adam perempuan hanya disebut Nyonya Adam, atau istrinya. Dalam Bibel disebut "Eva" atau Hawa. Jelas dalam Alquran tak ada pernyataan "istrinya yang bernama Hawa itu berasal dari diri Adam." Juga tak ada ayat yang menyebut bahwa istri Adam berasal dari tulang rusuk Adam.


Penafsiran seperti itu hanyalah sebuah mitos yang ada pada kitab sebelum Alquran. Cerita-cerita itu ternyata banyak dipengaruhi oleh kisah-kisah israilliyat, riwayat-riwayat yang bersumber dari kitab Taurat (kitab suci agama Yahudi), dan Injil dalam perjanjian lama (kejadian 11; 21) Bahkan, Fatima Mernissi, seorang ilmuan perempuan terkemuka pun, meragukan perawi hadis itu, Abu Hurairah, meski kualitas hadis itu dinyatakan hadis sahih. Pasalnya, Abu Hurairah mempunyai latar belakang yang anti pati terhadap perempuan.


Jelaslah, hadis itu bertentangan dengan pandangan Quran. Oleh karena itu, untuk memahami hadis itu, sebagian ulama ada yang mengartikan secara majazi atau metafor. Artinya, hendaklah laki-laki atau suami bertindak bijakasana, sebaik mungkin, bersikap ma’ruf, dan penuh kesabaran terhadap perempuan. Karena, mereka menganggap bahwa ada karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki. Dan jika itu tidak disadari akan dapat menghantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Maka, hadis diatas, tidak tepat jika di artikan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian dijadikan penjelas untuk menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 1. Sebab, secara harfiah dalam hadis tersebut tidak ada kata “Hawa” dan “Adam”.
*****


Lalu siapakah Adam itu? Secara bahasa, adam itu berasal dari bahasa Ibrani. Ia berasal dari kata adamus yang berarti tanah. Kata, Annimarie schimmel, seorang sufi Jerman, ia adalah simbol atau protitipe manusia yang berkesadaran. Ia bisa laki-laki dan perempuan. Nah, kalau begitu, bagaimana proses asal muasal kejadian manusia pertama di bumi ini?


Alquran memang tidak secara gamlang menjelaskan proses penciptaan manusia pertama. Alquran hanya menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepada Ruh ciptaan-Nya.

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ ( ص: 71-72)

Artinya; "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiaanya dan Kutiupkan kepadanya Roh (ciptaan)Ku; maka hendaklan kamu bersujud kepadanya.(Q,s.Shad;71-72).

Dalam proses penciptaannya, Quran hanya menggambarkannya bahwa manusia diciptakan tanah dengan "kedua tangan-Nya".

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ ( ص : 75 )

Artinya; "Allah berfirman; "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataulah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?" (Q.s Shaad;75).


Tapi, Anda jangan membanyangkan bahwa Tuhan menciptakan Adam dengan mengeplek-ngeplek tanah dengan kedua tangan-Nya. Karena, Tuhan bukan itu bukan orang, lho! Dia tak bisa dilihat dengan kasat mata. Menurut Ahmad Chodjim, dalam buku Membangun Surga, Tuhan menciptakan manusia pertama di dunia ini perlu milyaran tahun. Setelah menjadi manusia pertama pun masih perlu waktu jutaan tahun agar menjadi manusia Adam. Untuk itu, Adam sebenarnya bukan manusia penghuni pertama di bumi ini.

Lho kok bisa? Coba kita perhatikan ayat Qu'ran yang berkaitan dengan Adam!


Dalam Quran, kata adam disebut dua kali dalam surat Al’Araf;11 dan Ali Imran;33. Kata adam dalam surat Al’araf bermakna panggilan seluruh manusia, bersifat umum. Sementara, dalam surat Ali imran, kata adam bermakna sebagai nama diri, bersifat khusus. Dari segi penurunan, surat Al’araf lebih dulu turunnya dari surat Ali imran. Ini menujukkan bahwa sebutan Adam pertama kali itu digunakan untuk penyebutan umat manusia seluruhnya. Setelah itu, baru adam sebagai nama diri. “Adam , Nuh, keluarga Imron telah dipilih Tuhan sebagai manusia unggul dimasanya masing-masing. (Qs. 3;33) ” Artinya di masa adam itu sudah banyak orang.


Selain itu, kita juga bisa teliti ayat ketika Tuhan hendak menunjuk Adam sebagai wakil-Nya di bumi ini. Tuhan meminta para malaikat dan iblis menghadap-Nya. Lalu, Tuhan berfirman,“ Hai kalian semua, ketahuilah bahwa Aku akan menempatkan wakil-Ku di bumi. Para malaikat terkejut. Karena yang menjadi wakil-Nya ternyata manusia. Bukan mereka yang biasa menyucikan dan memuji-Nya. Malaikat pun protes, mengapa manusia yang senang melakukan kerusakan di bumi, saling menumpahkan darah, kok diangkat sebagai wakil-Nya.


Kisah itu bisa kita lihat pada Q.s. Albaqarah;30. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat;” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata; “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman; Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui.


Nah, jika saat itu Adam sebagai satu-satunya manusia tidak mungkin malaikat berkata bahwa manusia itu senang melakukan kerusakan di bumi. Juga tidak mungkin malaikat akan berkata bahwa manusia itu saling menumpahkan darah. Seperti saat ini, manusia suka merusak lingkungan hidupnya.Manusia saling berperang.Membunuh sesamanya. Lalu, dari mana malaikat itu tahu? Pasti bukan meramal. Protes mereka pasti berdasarkan fakta, bahwa saat itu sudah ada kehidupan manusia yang suka melakukan kerusakan. Tapi, malaikat tidak tahu jika ada manusia yang layak menjadi wakil Tuhan. Malaikat melakukan generalisai. Menganggap semua manusia itu sama. Nyatanya ada satu orang yang layak dipilih sebagai Khalifah-Nya. Orang inilah yang kelak disebut “Adam”. Manusia yang beradab dan berbudaya. Manusia yang dipilih Tuhan sebagai khalifah pertama(P)



Khatib Perempuan


oleh Sri Rahayu Arman

"ENAM ’L’ (laki-laki lagi, laki-laki lagi)," gerutu Gifta (24) tak kuasa menahan jemu setiap kali menyimak ceramah. "Kenapa khatib-shalat Jumat ataupun shalat tarawih-selalu laki-laki? Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?"

GERUTUAN Gifta cukup beralasan. Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tak satu pun perempuan menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka. Ia naik mimbar Masjid Claremont Main Road di Cape Town di Afrika Selatan. Namun, Wadud menuai kritik bertubi-tubi tak
hanya dari kalangan pria Muslim, melainkan juga dari kaumnya sendiri-para Muslimah-di sana. Bahkan, lembaga yang berpengaruh di Cape Town, Dewan Syariah Islam, dan para pendukungnya mengancam hukuman mati kepada siapa pun yang punya ideologi di belakangnya atas kejadian bersejarah itu (Esack: 2004).

Sebagai Muslimah kritis, Gifta tak tinggal diam. Ia membuka-buka literatur Islam di perpustakaannya. Ia pun dikejutkan sebait kalimat yang dibacanya berulang-ulang: "Salah satu syarat menjadi khatib adalah laki-laki." Seketika itu otaknya dijejali pertanyaan: mengapa khatib hanya dibatasi bagi laki-laki dan tidak ada kesempatan bagi perempuan? Begitu diskriminatifkah Islam sehingga untuk menjadi khatib harus berjenis kelamin laki-laki? Ataukah hal ini sekadar konstruksi fuqaha (ahli hukum Islam) yang hampir semuanya laki-laki?

Kegelisahan Gifta sangat penting ditelaah lebih jauh. Lebih dari sekadar ada diskriminasi fikih terhadap nilai ibadah laki-laki dan perempuan, hal ini memicu kita membongkar sejarah domestifikasi atau subordinasi perempuan dalam masyarakat Islam.

Secara umum, khatib adalah orang yang menyampaikan ajaran agama atau khotbah sebelum shalat Jumat atau kegiatan keagamaan lain. Untuk itu, seorang khatib harus memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang baik. Dan kini yang memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang cukup tak hanya laki-laki. Terbukti, kini mubalig perempuan telah bermunculan.
Sayangnya, mereka tetap tidak bisa menjadi khatib maupun iman shalat di masjid. Mereka hanya bisa menjadi khatib atau imam di rumah atau pelbagai majelis taklim di kalangan perempuan sendiri.

Jelaslah, perempuan tidak boleh berkhotbah di masjid bukanlah karena ketidakmampuan mereka. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi alasan pembatasan khatib hanya bagi laki- laki.

Pertama, berawal dari ketidaksunahan perempuan melakukan shalat berjemaah di masjid. Pandangan itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Daud, "Janganlah kamu melarang perempuan-perempuan kamu sekalian untuk datang ke masjid, tetapi rumah lebih baik baginya." Juga dituturkan dalam riwayat lain, "shalat seorang perempuan di ruang tidur lebih baik daripada ia shalat di ruang rumahnya. Jika seorang perempuan, di serambi rumahnya lebih baik daripada ia shalat di masjid" (di riwayatkan Al-Bayhaqi. Lihat As-Sunnah al-Kubra, Juz III, hlm 132).

Hadis inilah yang kemudian digunakan ulama fikih sebagai pembenaran bagi ketidakutamaan, bahkan kemakruhan, perempuan shalat berjemaah di masjid dengan alasan untuk menghindari fitnah. Karena itu, perempuan lebih disarankan shalat berjemaah di rumah sebab shalat berjemaah di masjid merupakan simbol kebebasan kaum perempuan untuk berserikat dan
beraktivitas saat itu. Untuk itu, pembatasan agar perempuan shalat berjemaah di rumah saja sama dengan mencegah perempuan melakukan sosialisasi dan aktualisasi diri. Nah, kita bisa bayangkan! Jika shalat berjemaah di masjid saja dimakruhkan, bagaimana jika ia menjadi seorang khatib, orang yang memberi ceramah? Jelas, mustahil.

Kalau kita cermati hadis di atas, itu bisa juga ditafsirkan sebagai pilihan. Karena situasi kultural masyarakat Arab saat itu belum benar-benar aman bagi perempuan untuk keluar rumah, tetap di rumah menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka. Hadis riwayat Abu Daud di atas sama sekali tidak mengindikasikan ketidakbolehan perempuan shalat berjemaah atau beraktivitas di masjid.

KEDUA, adanya anggapan bahwa perempuan itu kurang berakal dan beragama. Anggapan itu bermula dari penafsiran hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah: "Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak." Para perempuan bertanya, "Mengapa wahai Rasul?" Nabi SAW menjawab, "Kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu." "Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama, wahai Rasul?" Nabi SAW menjawab, "Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah dari kesaksian laki-laki?" "Ya," jawab mereka. "Itulah yang dimaksud sempit akal; bukankah ketika sedang haid wanita tidak shalat dan tidak puasa?" "Ya," jawab mereka. "Itulah yang dimaksud kurang agama." (HR Imam Bukhari).

Memahami hadis ini, kebanyakan orang berkesimpulan sederhana. Karena sempit akal dan kurang agama itulah perempuan dilarang menjadi pemimpin, imam shalat, dan khatib. Padahal, jelas-jelas isi hadis ini tidak sesuai dengan prinsip dasar Al Quran, yakni kesetaraan (masâwah). Untuk itulah hadis ini perlu di telaah ulang. Menurut profesor hukum Islam terkemuka, Khaled M Abou El Fadl, kurangnya agama pada hadis ini bukan berarti wanita secara alamiah kurang cerdas dan kualitas agamanya lemah. Namun, yang kurang itu taklifnya atau pembebanan tugas ibadahnya. Pembebanan tugas ibadah bagi perempuan memang lebih sedikit daripada laki-laki.
Ketika sedang haid, nifas, dan hamil, misalnya, wanita Muslimah diberi keringanan tidak salat dan diizinkan tidak berpuasa (tetapi harus menggantinya dengan puasa juga).

Maka, jelaslah "kurang agama" dalam hadis itu sama sekali tak menyiratkan "kurangnya kualitas iman" wanita Muslimah, melainkan "ringannya beberapa tugas agama tertentu" bagi mereka. Dan "keringanan" atau "kekurangan" itu diabsahkan agama, tanpa mengurangi mutu iman dan ibadah mereka.

Sejarah Islam membuktikan, bahkan sampai sekarang, banyak perempuan memiliki kualitas olah pikir cemerlang. Begitu pula dengan kualitas keimanannya yang mendalam. Siti Aisyah, misalnya, adalah wanita yang meriwayatkan lebih dari 10.000 hadis Nabi. Rabiah Adawiyah adalah pelopor mazhab cinta sufi. Bahkan, menurut Al-Jahiz, ulama klasik, para fukaha belakangan seperti Al-Sakhawi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Suyuthi itu belajar kepada sejumlah guru perempuan (Khaled: 2004).

Ketiga, adanya anggapan suara perempuan itu aurat, pengundang hawa nafsu. Sebagaimana hadis yang dituturkan Abd Allah ibn Umar, "Perempuan adalah aurat sehingga apa pun yang berbau perempuan adalah jerat setan." Oleh karena itu, dengan berkhotbah, perempuan seakan telah membuka auratnya di muka publik dan bisa mengakibatkan munculnya hawa nafsu bagi
yang mendengarkan. Jadi, perempuan dilarang menjadi khatib karena suara perempuan dianggap mengundang hawa nafsu.

Kalau kita telusuri lebih jauh, anggapan itu sebenarnya pengaruh dari budaya pra-Islam yang menganggap diri perempuan pada dasarnya diciptakan sebagai penggoda. Untuk itu, pandangan seperti itu harus diteliti ulang. Muhammad al-Ghazali, tokoh Islam Al-Azhar, mengatakan, "Tidak seorang pun di antara ahli fikih yang mengatakan suara perempuan aurat. Jika ada, pendapat itu hanya isu bohong semata."

Lebih dari itu, memandang suara perempuan sebagai pengundang hasrat berahi kaum lelaki jelas-jelas merendahkan martabat kaum lelaki sendiri. Betapa lemahnya kualitas moral seseorang bila ia tergoda hanya karena mendengar suara, apalagi berupa nasihat keagamaan.

DENGAN demikian, ketiga alasan itu sebenarnya tidak lagi memadai untuk menolak perempuan berkhotbah. Dalil-dalil di atas harus dipahami secara kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi budaya saat dalil itu dikemukakan, sebab prinsip utama dalam Islam adalah musawah, hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, tidak mengenal pembatasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan ibadah.

Kala situasi sekarang berbeda dengan dulu, keamanan telah sepenuhnya dijamin, dai-dai perempuan pun bermunculan, masihkah kita tidak mau memberi kesempatan bagi perempuan untuk berkhotbah atau memimpin shalat di masjid?

Barangkali di antara kita belum ada yang berani tampil seperti Prof Amina Wadud. Namun, setidaknya kita berani bertanya dalam diri kita: apa yang sebenarnya kita takutkan dan apa yang kita pertahanankan jika perempuan bicara di masjid? Apakah ada yang akan merasa bakal kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin agama dalam masyarakat? Ataukah rasa maskulinitas kita sedang terancam? Wallahualam.

Artikel ini pernah di muat di rubrik Swara Kompas pada hari Senin, 25 Oktober 2004.

Jilbab: antara Kesucian dan Resistensi


Oleh Sri Rahayu Arman

Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan.


Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.

Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).

Menurut penelitian Stern (1939a: 108), “Nabi Muhammad tak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat (1967: 71), “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an (lihat misalnya Marsot 1978: 261-276; Dengler 1978: 229-244; El Guindi 1983: 79-89). Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah Mesopotamia/Mediterania. (Fadwa el-Guindi: 1996). Al-Zarkasyi juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat (al-Zarkasyi: 1970).

Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula Alquran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.” (Mustafa Hashem Sherif: 157).
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.s al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59). Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat Q.s al-Nur: 31, khusus untuk membersihkan nama Aisyah.


Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.s al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.


Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka.” (Sharma 1978: 223-4).

Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi. Bagi perempuan bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari sutera. Sementara perempuan dari status ekonomi yang lebih rendah cenderung memakai sitara. Makhlouf menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah simbol] alat komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi bebas wanita sebagai seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi diri dan femininitas” (Makhlouf 1979: 31-32).
Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas. Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang dirancang untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya memasukkan pengalaman hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi prinsip estetik yang otonom (Cudjoe dan Harlow: 2000).

Di Aljazair, misalnya, jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol hukum Islam —perkara-perkara pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka— memberangus adat setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka sendiri. Para pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang posisi-posisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di bawahnya. Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan mencabut akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan melepaskan— untuk mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya dengan alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya tradisional Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia sosial moral itu berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan penjaga harga diri dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral. Maka, menyerang wanita Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun figuratif akar budaya mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair (El Guindi: 1996).


Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.

Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).

Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.

Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab (Lily Munir, 2002). Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya[]

Artikel ini pernah dimuat di www. Islamlib. Com pada 19/01/2003